Share

Hukuman

***

Pertemuan dengan eksekutif selesai. Aku mencatat banyak perubahan yang terjadi dan menyepakatinya, salah satu perubahan tersebut adalah penggabungan beberapa saham agar nilainya tetap stabil.

Kurapikan kembali berkas yang tadi digunakan dan memberikan semuanya kepada Violet. Wanita itu dengan senang hati menerima berkas tersebut dan membawanya ke ruang kerja dirinya.

Terbesit dalam pikiranku tentang wanita yang kuhukum siang tadi. Ia kusuruh untuk menunggu di ruanganku, semoga saja dia terus merenungi kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.

“Bagaimana kabar anak dari Tuan Lee? Apa dia mengeluh sesuatu?” tanyaku kepad Reno.

“Tidak, Tuan. Terakhir kuperiksa, dia tengah terdiam sambil terus menundukan kepalanya. Sepertinya dia begitu bersalah atas apa yang ia lakukan," ucap Reno yang masih berada di sampingku.

“Iya, ini belum seberapa jika aku berniat menghukum wanita itu lebih jauh. Baiklah, aku akan pergi menemuinya,” tuturku.

Segera tubuh ini bangkit dari atas kursi empuk di ruang tersebut dan berjalan melewati banyak kursi kosong bekas eksekutif menuju luar ruangan. Keadaan di luar jauh lebih sibuk dari yang kuduga, lantai 30 Hotel Viscara berubah menjadi area perkantoran dengan banyak berkas yang didistribuskan.

“Lalu bagaimana dengan anggota kita, Tuan Revan? Bagaimana cara kita mengetahui pelaku pembunuhan itu siapa?” tanya Reno.

Aku kembali terpikirkan hal tersebut, anggota Cincin Hitam berjumlah jutaan dan sangat tak masuk akal jika aku harus menginterogasi satu persatu. Kupikirkan cara terbaik untuk mengungkapnya tanpa harus mengumpulkan mereka semua.

“Pembunuhan terjadi di depan rumahnya, itu terbilang sangat spesifik. Orang luar tak mungkin tahu kalau rumah itu adalah rumah Lukman.”

Aku berjalan sambil memegangi dagu dan berpikir keras, pembunuhan ini dilakukan secara rapi dan terperinci, sehingga tidak memunculkan jejak apa pun yang bisa kugunakan sebagai bukti.

“Pelakunya adalah orang Jakarta atau orang yang pernah berpergian rutin ke Jakarta,” ungkap Reno, ia begitu sigap menyimpulkan ucapanku yang baru terlontar beberapa detik saja.

“Aku penasaran. Tersangka yang mengenakan cincin hitam tersebut, siapa dia sebenarnya?” tanyaku sambil membuka pintu ruang pribadiku, terlihat seorang wanita yang tampak tertidur pulas di atas sofa.

Aku diam mematung menatap wanita tersebut. Ketiga kali, ketiga kalinya dia melakukan penghinaan terhadapku dengan enak-enakan tidur di atas sofa. Sungguh aku berpikir apa saja yang wanita ini pelajari?

Kutarik kursi dari balik meja dan duduk di depannya, kulihat matanya yang sembab dan terpejam, sepertinya dia terus menangis ketika berada di ruang ini.

Tapi setelah kulihat lebih jauh wajah wanita itu. Ia tipikal wanita yang cantik, kulitnya bening seputih salju dan tumbuh bulu-bulu halus kecil di tangannya. Rambut panjang sepunggung dengan highlight berwarna abu sontak memberikan kesan kalau ia adalah wanita kelas atas.

Jika dia tidak kasar, mungkin dia akan menjadi wanita yang sempurna, batinku ketika melihat pesona wanita tersebut yang sedang tidur dengan wajah tetap anggun.

Ponsel di sampingnya bergetar dan layarnya menyala. Kuraih benda itu dan melihat sebuah pesan masuk, kontak bernama Ayah itu mengirimi pesan kepada wanita yang tengah terlelap di depanku tersebut.

“Tidak apa-apa, Gisele. Ayah yang akan menanggung semuanya.”

Itulah isi pesan yang terkirim kepada wanita bernama Gisele tersebut. Ia pasti menangis karena tidak tega harus mengabari ayahnya yang sakit terkait kejadian siang tadi. Aku hanya terdiam seraya meletakan ponsel itu kembali.

“Reno … keluarlah dari ruangan ini,” perintahku.

Kuangkat tubuh ini dan berjalan menuju belakang meja kerjaku. Letak Hotel yang berada di daerah perkotaan membuatku mudah untuk menikmati pemandangan Ibukota Jakarta.

Reno sudah keluar dari ruangan tersebut. Aku masih membiarkan wanita itu tertidur dan enggan untuk membangunkannya.

Waktu terus bergulir hingga malam hari. Ketika seluruh anggota sudah pulang, di lantai tersebut hanya menyisakan aku dan Gisele saja. Wanita itu ternyata seseorang yang bisa tidur cukup lama.

Aku tidak bisa membiarkannya tidur semalaman di atas sofa, bisa masuk angin dia di pagi hari nanti. Segera kuangkat tubuh Gisele yang terbilang ringan menuju kamar khusus yang sering kugunakan untuk beristirahat.

Kasur dengan ukuran super king size pasti akan membuatnya nyaman jika tubuhnya meronta-ronta di malam hari. Aku juga akan tidur di kamar tersebut tapi tidak satu ranjang dengan Gisele.

Ketika selesai menyelimuti wanita tersebut, ponselku berdering cukup keras. Aku segera melangkah keluar dan mengangkat panggilan tersebut.

“Halo … Sayang. Apa kamu sudah pulang dari perjalanan bisnismu?” tanya seorang wanita yang begitu kurindukan beberapa hari terakhir, Tiara.

“Halo … aku masih berada di Singapura, mungkin besok aku akan pulang. Ada apa?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa, aku hanya sedikit kesepian karena tidak ada kamu di sini,” ucap Tiara, suaranya sedikit mendesah entah karena dia sedang terangsang atau memang kelelahan bekerja.

“Aku akan datang besok, kita lepaskan kerinduan yang terpendam selama ini,” godaku, membuat Tiara tertawa kencang.

Ketika tengah asik berbincang dengan Tiara, pintu di belakangku berderit dan dengan refleks kuputar balikan tubuh ini, memandang Gisele yang terbangun dengan mata yang sedikit teler karena mengantuk.

“Aku ada urusan, nanti kutelepon balik.”

Kumatikan panggilan tersebut dan langsung menanyakan keadaan wanita tersebut. Ia kembali menundukan kepala dan menangis dengan kencang, Gisele langsung memeluk dan mendekapku dengan erat.

“Ada apa?” tanyaku singkat.

“Kumohon … jangan hukum ayahku,” ungkap Giselse.

Ia masih membenamkan wajahnya di depan dadaku, tangannya ia rangkul untuk memeluk dan mencengkeram punggungku. Bisa kurasakan kehangatan, wangi dan halusnya tubuh Gisele malam itu.

“Bagaimana pun juga aku harus menghukummu,” tegasku.

Segera kulepaskan pelukan tubuh Gisele dan memegang kedua pipi wanita tersebut, wajahnya masih menangis dan matanya memandangku dengan tatapan dan ekspresi sayu.

“Aku akan melakukan apa yang kau inginkan, meskipun harus merelakan tubuhku. Tapi jangan hukum ayahku … kumohon,” pinta Gisele.

Ia berjongkok di depanku dan kedua tangannya mencengkeram pinggangku dengan erat, wajahnya tertunduk dan lagi-lagi ia menangis.

“Baiklah, aku terima tawaranmu.” Kulepaskan setiap pakaian dan celana yang melekat ditubuhku, hanya menyisakan boxer saja.

Sesuai dengan apa yang ia tawarkan. Aku menunjukan tubuh atletis dan benda paling berharga kepada Gisele. Bisa kulihat pandangan wanita itu tidak lepas dari tonjolan besar di tempat paling sensitifku.

“Jika kamu tidak mau, aku bisa memikirkan hukuman lain yang cocok untukmu. Aku punya banyak ide untuk hukumanmu, dan kamu tertarik mendengarnya satu persatu?” tanyaku, kupandang langit kamar seraya sesekali melirik tajam kearah Gisele yang terdiam terpaku.

“A-Aku akan melakukannya….” Gisele dengan wajah yang malu-malu mulai melepaskan satu persatu kancing kemejanya dan menarik rasleting di roknya. Kini aku bisa melihat keindahan tubuh Gisele dibalik bikini ketat miliknya.

Kudorong tubuh Gisele hingga terjatuh dan telentang di atas kasur. Sungguh pemandangan yang menggoda iman bagi siapa pun pria yang melihatnya.

Sudah beberapa hari aku tidak berhubungan badan. Jadi akan kuputuskan malam ini, di kasur ini. Dia akan mengingat seberapa besar dan kuatnya diriku.

“Tolong lakukan dengan pelan….” Gisele memalingkan wajahnya dari tatapanku, ia terus menutupi dua buah bukit yang menjadi keindahan besar dirinya.

Aku sudah berada di atas Gisele, menindih wanita itu dengan keras membuat Gisele sempat melenguh panjang. Tak seperti dugaanku, dia ternyata memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi di area-area tertentu.

“Tunggu! Itu terlalu besar, tak akan muat di dalamku,” ucap Gisele, ia mencoba mendorong tubuhku yang kekar, tapi usahanya sia-sia ketika aku berhasil mendaratkan bendaku di dalam tubuhnya.

Sangat terasa kehangatan yang diberikan oleh Gisele, belum pernah kurasakan hal seperti ini sebelumnya. Ia begitu manis ketika menahan sesak seraya mencengkeram sprei kasur dengan keras.

“Apa perlu kuhentikan?”

“Tidak! Lanjutkan ... tolong,” pinta Gisele, suaranya begitu merdu membuat hasratku kembali naik untuk bersenang-senang semalaman dengannya.

Cukup lama kami bersenang-senang malam itu, hingga waktu menunjukan pukul 1 malam. Gisele sudah tertidur, sedangkan aku pergi ke balkon luar kamar tersebut dan menikmati udara malam seraya menyesap sebatang rokok.

“Apa yang telah kulakukan?” gumamku.

Aku dengan sengaja telah mengkhianati perasaan Tiara yang ia percayakan padaku, aku bermain dengan wanita lain, beralasan karena aku menghukumnya. Hukuman macam apa itu?

Udara malam semakin menyengat masuk ke setiap pori-pori, pilihan burukku hanya mengenakan jubah tidur tanpa mengenakan apa-apa di dalamnya.

Aku masih menikmati rokok yang kuhisap dengan perlahan, hingga kedua mata ini terfokus kepada rentetan mobil polisi yang parkir di depan hotel.

Mereka masuk dengan mengenakan pakaian dan senjata lengkap. Gawat! Sepertinya ada yang membocorkan markas besar Cincin Hitam di sini.

Segera kubangunkan Gisele dan mengatakan hal yang terjadi, wanita itu tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Ia segera mengenakan pakaiannya kembali dan berjalan bersamaku menuju lantai bawah menggunakan tangga darurat.

Kubawa juga revolver yang tersimpan di ruanganku, hal ini akan kugunakan jika sewaktu-waktu terjadi baku tembak antara aku dengan polisi.

Untungnya aku berada di lantai 30, sehingga polisi cukup lama untuk sampai ke tempat ini, segera kuajak wanita itu turun dan masuk ke lantai 27.

Kubuka salah satu kamar hotel dan melihat dua orang tengah bersenang-senang, tentu saja mereka terkejut dan langsung menutup tubuh mereka masing-masing.

“Apa yang kalian lakukan, sialan?!” bentak pria tua bertubuh gendut seraya membelitkan jubah mandi menutupi dirinya.

“Diamlah atau kepalamu berlubang!” ancamku, kutodong revolver itu kepadanya dan ia terdiam layaknya seekor anak anjing.

“Kami hanya membutuhkan teleponmu. Panggil layanan kamar!” ancamku, pria itu segera meraih telepon tersebut dan memberikannya kepadaku.

“Halo, anda tersambung dengan layanan hotel Viscara. Apa ada yang bisa kubantu?”  tanya seorang wanita.

“Bawakan satu seragam staf pria dan satu seragam resepsionis kemari, lantai 27 kamar 401!” tegasku.

Wanita itu hanya terdiam ketika mendengar perintahku. Segera ia mulai bertanya maksud dari permintaanku.

“Cepatlah lakukan, ini aku Revan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status