Share

Kesaksian dari sang Anak

***

Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman.

Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda.

Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda.

Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam.

Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut.

Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas dari sinar matahari sampai menembus sweaterku. Baru saja aku berjalan beberapa meter, wajah dan seluruh tubuhku sudah banjir keringat.

Letak rumah Luqman berada di jalanan utama Ibukota Jakarta. Untuk sampai ke sana, aku perlu menaiki dua bus dan satu kereta MRT. Hitung-hitungan sudah kulakukan agar uang yang kubawa tidak kurang.

Aku melintasi beberapa pos jaga polisi, mereka hanya tersenyum ketika aku meliriknya pelan dari balik kaca mata. Mereka sama sekali tidak menyadari identitasku yang sebenarnya.

Cukup lama aku berada di perjalanan, pada akhirnya aku sampai di daerah sekitar rumah Luqman. Sama halnya dengan apa yang aku duga, halaman depan rumah Luqman sudah diberi garis polisi, beberapa anggota kepolisian berjaga di tempat itu.

Aku mendengar sedikit percakapan “rahasia” dari arah samping kananku, mereka berbicara dengan lirih melalui sebuah talky walkie yang tersambung dengan seseorang di tempat lain.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya seorang pria, dari nama bajunya, ia dikenal dengan nama Supriyadi.

“Aku hanya warga di sekitar sini.”

“Baiklah, jangan pergi melewati garis polisi,” titah Supriyadi, ia berjalan menjauhiku dan pergi menemui seorang rekannya yang berjaga di tempat lain.

Pembunuhan yang terjadi dua hari yang lalu membuat bekas darah dari Luqman masih membekas di lantai halaman rumahnya, noda darah yang cukup banyak dan berceceran di mana-mana.

Dari apa yang kulihat, kuduga kalau Luqman dibunuh dengan cara dibredeli dengan senjata api, diseret dari dalam rumah dan mereka menyiksa pria itu di tempat ini hingga tewas.

Apa sebenarnya yang mereka inginkan dari Luqman?, batinku setelah melihat kekejaman yang mereka buat.

Dari arah samping kanan, terdengar suara sapaan seorang pemuda yang mengejutkanku. Ia berjalan dengan langkah besar seraya memapah seorang anak kecil yang berada dalam pegangannya.

“Revan, kapan kamu datang kemari? Bukankah kamu sedang ada urusan bisnis di Singapura?” tanya pemuda yang kukenali dengan nama Lucas tersebut.

Gadis kecil yang bersamanya tak lain adalah adik Lucas, Alisha. Gadis itu sebenarnya lama bermukim di Yogyakarta. Namun, karena kematian ayahnya ia memutuskan untuk tinggal di Jakarta untuk sementara.

“Aku turut berduka cita atas kepergian ayahmu,” ucapku dengan pelan, Lucas berterima kasih dan mengajakku untuk masuk ke rumahnya.

Sudah sejak enam bulan yang lalu aku menginjakan kaki di rumah tersebut. Arsitektur dan ornament rumah yang terlihat minimalis dan modern, membuat pandanganku melihat ke isi ruangan terasa luas.

“Di mana Nyonya Sanjaya?” tanyaku, wanita yang aku maksud adalah istri dari Luqman, aku biasanya menyebutnya begitu karena sikap seganku padanya.

“Oh Ibu, dia sedang ada di lantai atas. Sejak kematian Ayah, ia tidak ingin keluar dari kamarnya,” ucap Lucas.

Aku bisa merasakan perasaan sedih dan kehilangan berat yang ditunjukan melalui wajah Lucas. Pria itu mencoba tegar dan kuat karena tidak ada lagi orang yang bisa menguatkan mental orang di rumah ini selain dirinya.

“Kamu adalah orang kuat. Aku yakin, kamu yang akan mengembalikan keceriaan di rumah ini lagi.” Aku berjalan mendekati Lucas dan menyemangati pria itu, ia hanya tersenyum sambil kembali mengajakku masuk lebih dalam.

Berbeda dengan keadaan di luar halaman, noda darah yang berada di dalam rumah sudah dihilangkan sejak kematian Luqman. Ini mungkin saja terjadi, mengingat para penghuni rumah pasti tidak nyaman dengan noda darah tersebut.

“Lucas, aku ingin tahu detail tentang kejadian itu.”

Ia berbalik dan menatapku dengan sayu, tak lama, ia menyuruh adik kecilnya untuk pergi ke lantai atas dan menunggu di kamarnya. Alisha hanya mengangguk polos dan segera menaiki anak tangga.

“Apa yang kamu ingin ketahui? Kupikir berita sudah menjelaskan secara gamblang tentang kejadian itu,” ucap Lucas, datar.

“Ada sesuatu yang harus kuketahui, ini berkaitan tentang sebuah organisasi,” kataku mencoba meyakinkan Lucas. Namun, tak mudah meyakinkan orang yang tengah berduka.

“Organisasi?”

“Kau tahu, aku punya dendam yang sama dengan pelaku pembunuh Luqman, karena ayahmu sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri,” jawabku, membuat kedua mata Lucas membelalak kaget.

Lucas tersenyum mendengar ucapan yang sangat menenangkan dariku, “Terima kasih.”

Ia mempersilakanku duduk di atas sofa, selagi menunggu minuman disajikan, aku buka ponsel milikku dan melihat satu pesan masuk dari Reno, isi pesan mengatakan kalau ia akan datang menjemput jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

“Silakan.” Lucas meletakan gelas minuman kepadaku dan aku langsung menerimanya dengan senang hati, tubuh yang berkeringat ini seketika lenyap ketika kesegaran minuman dingin itu membasahi kerongkonganku.

“Sebelum ayahku dibunuh, ia sempat menerima tamu dari komisi dewannya. Aku tidak mendengar perbincangan mereka karena kupikir itu perbincangan biasa anggota dewan.”

Lucas mulai menjelaskan apa yang didengar sebelum kejadian pembunuhan terjadi, ia tidak melewatkan satu hal pun yang ia tahu kepadaku.

“Dan setelah selesai pertemuan. Aku mendengar lagi kalau Ayah sempat beradu argumen dengan salah satu pria, ia adalah Budi Santoso,” sambung Lucas.

Aku hanya menyimak di setiap perkataan yang terlontar dari Lucas. Beberapa nama yang aku dapatkan darinya segera kuhubungkan satu sama lain, butuh kemampuan khusus untuk mengetahui track record dari orang-orang ini. Namun, aku tidak khawatir mengingat banyak anggotaku yang memiliki kemampuan tersebut.

Budi Santoso, apa aku harus mulai dari dia terlebih dahulu?, batinku memperhatikan nama pria itu di secarik kertas yang aku pegang.

“Setelah itu, pada malam hari, beberapa orang berpakaian hitam dengan penutup wajah mendobrak pintu kamar tidur orang tuaku dan menyeret Ayah ke lantai dasar, mereka menusuk tubuh, meninju dan—”

“Sudah, jangan dilanjut.”

Aku menghentikan ucapan Lucas karena kupikir itu sangat berat untuk diceritakan olehnya, pria itu segera mengangguk dan kini suasana di antara aku dengannya hening.

Waktu menunjukan pukul 12 siang, kupikir anggota kepolisian yang berada di depan rumah pergi beristirahat. Namun, dugaan itu tak sepenuhnya tepat.

Aku pergi keluar setelah berpamitan dengan Lucas. Kulihat seorang wanita tengah berjongkok dekat dengan noda darah di lantai halaman rumah Luqman. Rambut panjang yang diikat model pony tail, wajah yang sangat kukenal dengan segaram detektif yang begitu memukau.

“Tiara?”

Wanita itu, kekasihku sontak memandang ke depan ketika suara sapaan memanggilnya. Ia kaget bukan main karena melihat keberadaanku di tempat tersebut.

“Revan? Sedang apa kamu di sini?”

Rafaiir

Loh? Kok ada Tiara di TKP? Lalu bagaimana sikap wanita itu ketika tahu Revan keluar dari rumah Luqman? Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa tambahkan ke pustaka baca kalian dan comment di kolom komentar. Author pengen tahu pendapat kalian kaya gimana baca ceritaku:)

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status