"Dasar pria brengsek!" gerutu Lyra, lirih nyaris tanpa suara.
Ia terus memegangi kepala yang serasa hampir pecah, perutnya juga bergejolak hebat. Entah dari gelas siapa ia minum semalam. Seumur hidup, wanita berparas ayu itu tak sekali pun mengkonsumsi alkohol. Ia takut melakukan hal bodoh dalam keadaan mabuk, sehingga citranya akan tercoreng. Namun, tadi malam adalah pengecualian. Tanpa sengaja dirinya hilang kendali dan berakhir di tempat yang aneh.
Sebuah kamar dengan nuansa putih, bahkan seprai yang dipasang pun berwarna putih polos. Pendingin udara juga disetel agar menciptakan suhu rendah, terlalu rendah malahan. Lyra dapat merasakan dingin yang mengelus setiap jengkal pori-porinya. Masih setengah sadar saat dirinya menarik selimut hingga ke leher. Ia terpejam lagi, membayangkan hal indah seperti dalam dunia dongeng. Di mana para peri terbang sambil tertawa riang. Itu jauh lebih baik jika dibanding dengan berusaha memikirkan hal rumit, seperti bagaimana bisa ia bisa sampai di sebuah kamar, karena memang tak mengingat apa pun, selain pertunangan pria yang telah berjanji akan menikahinya.
Namun, tiba-tiba teringat akan seesuatu. Axe, mantan kekasih Lyra, menunjukkan wajah bersinar saat upacara bertukar cincin. Ia menatap lekat sosok wanita asing bergaun biru yang akan menjadi tunangan hati. Mereka menjadi yang paling bahagia di pesta bernuansa laut. Tanpa ingat jika seorang tamu merasa sesak tiap detiknya. Lyra hanya bisa menyaksikan momen tersebut sambil menahan amarah dan kecewa yang berdesir dalam nadi. Ia mati-matian memaksakan bibir agar tetap tersenyum. Namun, itu hanyalah ingatan sekilas yang terasa semu dan mengoyak kalbu.
"Sudah bangun?" tanya seorang pria asing yang membuatnya tersentak.
"Hah, siapa kamu?!" Buru-buru Lyra duduk.
Pria tersebut tak menanggapi, hanya mengusap-usap rambut basahhya dengan sebuah handuk. Ia juga dengan santai memungut baju yang berserakan di lantai sambil bertelanjang dada, tak memperdulikan jika ada seorang wanita yang melihatnya sampai melotot dengan mulut sedikit menganga. Ya, Lyra memang sering melihat pria seksi yang membiarkan bagian atas tubuhnya terekspos kamera, tetapi ini berbeda karena mereka tak sedang melakukan pemotretan untuk iklan produk.
"Kalau sudah puas lihat-lihat, pakai bajumu!" Ia melempar kardigan biru laut yang sepanjang lutut ke arah wanita tersebut.
Lyra makin terguncang. Ia langsung melirik turun, memeriksa tubuh mungilnya yang hanya terbalut lingarie saja. Buru-buru dirinya memakai kardigan yang ada di tepi ranjang. Ingin rasanya menuntun penjelasan, tapi mual mengalahkan rasa ingin tahu. Alhasil, wanita itu berlari menuju toilet yang ada di dalam kamar. Sayangnya belum sampai di wastafel, ia terlanjur memuntahkan makan malam.
"Iyuh ... jangan berharap aku akan membersihkan benda menjijikkan itu, menyebalkan sekali." Pria itu terus menggerutu. "Kenapa kau masih di sana? Cepat bersihkan dirimu!"
Kalimat yang super pedas. Lyra masih tak habis pikir. Ia tergopoh memasuki toilet dan segera mengunci pintu. Setelah beberapa saat, wanita berambut hitam itu memaksakan diri untuk mengecek keadaan. Dia bahkan sempoyongan kala berjalan. Saat dikira sang pria telah pergi, rupanya salah. Pria itu menanti dengan elok di sudut ruangan sambil membaca koran yang baru saja diberikan oleh staf hotel. Sedikit lega, Lyra pun kembali masuk ke kamar mandi.
Butuh waktu sedikit lama bagi wanita tersebut untuk membersihkan diri. Ia membiarkan tubuh letihnya diguyur shower untuk beberapa menit. Ketika membuka pintu lagi, ia melihat seorang pelayan keluar sambil menenteng ember dan alat pel. Rupanya lantai telah bersih kembali. Tak ada aroma menjijikan lagi dari sana, justru berganti harum. Ia lantas mendekati pria asing itu.
Ditemani secangkir kopi hitam, terlalu santai untuk seseorang yang terbangun di kamar yang sama dengan wanita yang tak dikenal. Pria itu bahkan tak melirik saat Lyra datang. Wanita yang hanya mengenakan jubah mandi itu mulai berasumsi jika kejadian semalam tak meninggalkan makna apa pun bagi sang pria yang telah memakai jas hitam. Namun, itu bukanlah sesuatu yang membuatnya terheran, ia telah banyak menjumpai yang lebih parah. Bagaima pun, Lyra merupakan wanita dewasa yang paham jika hubungan tak semua hubungan intim dilandasi oleh cinta, Meski begitu, ia agak menyayangkan hal terseebut.
"Siapa namamu?" tanya Lyra, lalu duduk di kursi depan.
"Apa itu penting?"
Ia mengerutkan kening. "Setidaknya aku berhak tahu nama ayah dari anak yang mungkin saja kukandung, 'kan? Jangan-jangan kamu berencana kabur dan tidak mau bertanggung jawab?"
Pria itu tertawa terbahak-bahak, ia meletakkan koran pada meja bulat yang menjadi sekat bagi mereka. "Kau pikir aku akan meniduri wanita menyedihkan sepertimu? Dengar, Nona, kau sama sekali bukan tipeku. Dan seandainya kau adalah wanita terakhir di dunia, kondisimu semalam justru membuat gairahku surut seperti laut yang sudah dikuras."
Tentu jawaban tersebut membuat wajah Lyra merah padam. Malu bercampur tak tahu membuat pikirannya berkecambuk. Padahal seumur hidup, entah berapa lusin pria yang menawaran uang, hati, termasuk tubuh mereka demi mendapat secuil perhatiannya. Akan tetapi, mitra bicaranya ini justru menanggapi dengan kasual seperti manusia tak berdosa saja. Sungguh kesal, geram membuat Lyra ingin melempar sandal bulu yang dikenakan ke wajah arogan di depan.
"Ayo, keluar. Kau pasti lapar, bukan?" Tiba-tiba pria itu menawarkan sebuah ajakan.
Lyra tak menyahut. Ia tampak menatap tajam, hampir tak berkedip seolah burung pemakan bangkai yang siap menerkam apa pun. Saat itulah, sang pria berhenti berpikir remeh dan mulai serius.
"Oke-oke." Pria itu mengulurkan tangan. "Aku Alvindra, ayah dari anak yang mungkin akan kau kandung."
Berharap lawakannya dapat memecah hening, pria itu malah terasa terbakar dengan pelototan Lyra. Belum pernah ada orang seberani itu, ia sampai dibuat geleng-geleng kepala. Padahal normalnya, para wanita akan bersikap lemah lembut. Menutupi sifat liar mereka agar Alvindra penasaran. Setelah ada sedikit saja celah yang terbuka, mereka menjelma bagai singa betina yang siap berburu mangsa.
"Jadi, mau sarapan, tidak?" tawar Alvindra sekali lagi. Ia tak berniat menambah riwayat permusuhan.
"Bagaimana kamu menculikku? Aku sedang berada di pesta, mustahil kalau kamu tak dicurigai. Apa Axe yang menyuruhmu?" Lyra masih siaga, ia enggan percaya begitu saja.
"Axe, siapa?" Ia menyesap kopi.
Agak sedikit terkejut. Wanita tersebut awalnya yakin jika sang mantan ingin hidupnya hancur sedemikian rupa, hingga menyuruh seorang lelaki menodainya. Namun, pemikiran itu berusaha ditepis. "Lupakan saja. Cepat pesan makanan, aku lapar."
Entah mengapa, Alvindra langsung menurut dengan mencari ponsel di antara selimut kusut. Ia lantas menelepon sang sekertaris yang menunggu di ruangan sebelah, agar dibawakan hidangan. Padahal dirinya dapat dengan mudah memesan sendiri melalui pelayanan kamar, tetapi pria berkulit putih itu lebih senang untuk menyulitkan sang asisten. Ia memang tak pernah membiarkan para pekerjanya tenang di jam kerja, walau sesaat.
Benar saja, tak perlu menunggu lama, seorang pelayan datang membawa banyak makanan. Alvindra dan Lyra pun manyantap hidangan tanpa bicara sepatah kata pun. Mereka sibuk memotong steak tenderloin dengan saus madu. Rasa mual dan sakit kepala Lyra juga mulai reda. Hangover yang dialami wanita sebatang kara tersebut tak terlalu parah. Sebab, ia hanya meminum segelas khamar saja. Andai sedikit lebih banyak, pasti cerita akan berbeda.
Lyra makan dengan sangat anggun. Menyembunyikan kalut dengan raut wajah yang dibuat datar. Ia tak lagi peduli, bagaimana dirinya bisa berada di hotel ini. Ia juga tak ingin mencari tahu kejadian yang semalam terjadi. Baginya sudah cukup memikirkan Axe, pria tersebut pasti tengah berbahagia bersama wanita lain. Oleh karena itu, Lyra pantas melupakannya. Mungkin babak baru dalam hidup telah dimulai. Ia berusaha berpikiran positif agar hatinya tak bertambah sakit.
Sayang, daripada berusaha untuk lebih saling mengenal, Lyra malah berpikir tentang cara agar bisa berpisah dengan Alvindra. Cara yang lembut lalu saling menghilang seolah tak pernah ada yang terjadi. Ia berharap jika dukanya akan sedikit pudar, ketika ingatan cinta satu malam yang muncul dan menimbun habis kenangan manis bersama sang mantan kekasih. Meski begitu, ia agak gelisah memikirkan bagimana jika dirinya benar hamil. Tak pernah dirinya berandai menjadi seorang ibu.
"Hei, itu punyaku!" bentak Alvindra saat mendapati Lyra meminum kopi di meja.
"Memangnya kenapa? Kita sudah berbagi kasur, apa minum dari gelasmu akan memberi lebih banyak dosa?" tanya Lyra dengan alis yang terangkat sebelah.
"Tapi bukankah harusnya kau jijik minum dari gelas orang asing?"
"Pasti begitu, tapi bukankah semalam bibir kita juga sudah saling berkenalan dan jadi teman akrab?" Wanita itu membuat kesimpulan semaunya. "Sudah. tutup saja mulutmu itu, kepalaku sakit!"
"Galak sekali, seperti mak lampir," sahut pria beralis tebal.
"Apa kau bilang?!" Nyaris menggubrak meja.
"Ti--tidak apa-apa, kau cuma galak seperti induk singa yang kelaparan."
Cemooh itu tiada mendapat balasan. Vindra pun berdiri di dekat Lyra. Ia mengamati wanita bernetra sendu itu hampir menitihkan air mata, membuatnya sedikit syok. Belum pernah dirinya mendapati sorot mata setersiksa itu. Namun, selepas air mata menetes, Lyra segera mengusapkan lengannya. Biarpun begitu, matanya yang lain justru deras menangis hingga membanjiri tebing pipinya yang sedikit memerah.
"Apa kau sefrustasi itu?" Vindra berusaha membangun komunikasi. "Kau bahkan naik ke panggung dan menjambak rambut mempelai pria."
Lyra tertawa kecil, menyeka lagi air matanya. "Jadi aku melakukan itu, ya? Baguslah, setidaknya aku balas dendam."
Vindra menyahut dengan nada lebih tinggi, "Bukan seperti itu caranya balas dendam!"
"Apa?" Lyra mendongak karena sedikit kaget.
"Pria yang membuatmu mempermalukan diri sendiri, tak pantas hanya menerima jambakan. Semua orang mengasihanimu. Kau duduk di lantai sambil berteriak seperti orang gila. Dan sekarang kau puas hanya dengan membuatnya merasakan sedikit rasa sakit? Tidakkah kau perlu balas dendam dengan lebih kejam?"
Lyra menimpali, "Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Axe memang mengkhianatiku, tapi aku masih sangat mencintainya. Aku juga tak memiliki siapa pun untuk mendukungku. Dia terlalu kuat untuk kuhancurkan seorang diri."
Alvindra lantas tersenyum simpul. Ia berjongkok di hadapan Lyra yang sedang menangis tersedu sambil menjawab, "Jadilah istriku. Aku akan melindungimu dan membuat mantan kekasihmu tak bisa menjalankan hidup dengan tenang. Aku bersumpah, dia akan menyesal sambil berlutut di kakimu, Manisku."
Itu adalah lamaran yang amat mendadak, membuat Lyra yang rambutnya setengah acak-acakkan pun tersentak. Ditatapnya lagi Vindra dengan penuh seksama, tak tampak gurauan di raut garang tersebut. Justru penuh kepercayaan diri, seolah mustahil pinangannya diolak. Namun, Lyra harus cepat bertindak. Sekarang bukan masa yang tepat untuk sekadar kebingungan. Ia pun menarik napas dalam, lalu memberi tanggapan. "Apa yang kau dapat dengan menikahiku? Orag sepertimu pasti tidak mengambil langkah yang tidak memberi manfaat, bukan?" tanya sang wanita dengan lantang. "Kukira hanya wajah dan tubuhmu yang cantik. Ternyata kau menggunakan otakmu dengan baik." Vindra tersenyum. "Jangan pikirkan aku, fokuslah untuk bahagia. Jadi apa jawabanmu?" "Aku bersedia menikah, tapi apa profesimu? Kamu tentu harus menafkahiku nanti. Aku mana sudi menikahi gembel yang pura-pura kaya," ceteluk Lyra dengan penuh kejujuran. "Bisa saja biaya sewa hotel ini kamu limpahkan padaku dan kabur," imbuhnya. Vindra tersen
"Ayo, jangan bengong begitu." Vindra buru-buru menarik tangan Lyra.Wanita itu pun bangkit, ia berpamitan pada rekannya yang kebingungan. Namun, ia belum sempat mengakatan apa-apa. Calon suaminya sudah tak sabar lagi, mereka pun beranjak dari restoran tersebut."Tinggalkan mobil jelekmu di sini, kau naik mobilku saja." Kalimat tersebut terdengar angkuh, membuat yang mendengar merasa tak nyaman."Maaf, Tuan, tapi mobil jelekku itu dibeli dengan uang. Memangnya kamu akan menyumbang kendaraan baru yang lebih bagus?""Ide bagus, kita sekalian saja beli mobil. Berikan kuncinya pada supirku, biar dia yang memungut barang bekasmu."Lagi-lagi mulut Lyra menganga. Ia berhenti sejenak, berpikir mengapa bisa ada orang yang sesombong itu di dunia? Akan tetapi, fakta yang lebih membuat miris adalah or
"Apa-apaan anak ini?!" gumam Diana dalam hati. Ia mereguk pelan air putih, lalu sesekali melirik Lyra. Meski telah berusaha untuk tak acuh, pesona model tersebut memang tak tertolak. Namun, ini hanya berlaku bagi anggota lain di sana. Ibunda Romi mulai memotong chicken grill dan menguyahnya dengan rasa terpaksa. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa Vindra membawa seorang wanita asing ke pertemuan penting ini. Dirinya cemas pada sang putra tiri yang mau menjalin hubungan serius, sementara Romi lebih senang berganti-ganti pacar seolah mereka adalah barang yang bisa ditukar kapan pun. Tentu saja ini membuat jantung wanita beranak satu itu berdebar. "Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya paman Vindra. Pria itu pun tersenyum. "Pertanyaan yang bagus, Paman. Aku memang telah siap untuk meminangnya di jauh hari, tapi gadisku ini terlalu khawatir. Tempatnya bekerja melarangnya terlibat dengan skandal apa pun, karena itulah baru sekarang kami terlihat bersama.""Memang apa pekerjaan Lyra?""
Alvindra berlari bak seorang atletis. Tanpa peduli jika handuk yang membalut bagian bawah tubuhnya hampir terlepas. Rumah itu terlalu sepi, dalam benaknya bertanya, mungkinkah ada pencuri? Dua penjaga di gerbang depan memang baru saja meminta izin untuk pulang, sementara penjaga lain malah ditugaskan di gerbang belakang. Jadilah pria tersebut kalang kabut saat mendengar teriakan nyaring dari sang model. "Hentikan, tolong hentikan. Kamu menakutkan," kata Lyra dengan suara bergetar. Mendengar hal itu, Vindra makin risau. Ia berusaha memutar gagang pintu, tetapi gagal. Lanjut dirinya pun segera mendobrak pintu yang dikunci. Satu kali gagal, ia mencoba lagi dan kini ....Aaa!!! Wanita berpiyama motif daun mapple itu kembali berteriak. "A--apa-apaan kamu?!"Tuan rumah pun segera bangkit usai tersungkur, rasa sakit tak dipedulikan sama sekali. Kemudian, ia menatap wanita yang duduk di lantai. Rupanya kucing peliharaannya masuk ke kamar Lyra dan membuatnya terkejut. Setelah mendengar sang
Netra Lyra masih terbelalak. Ia langsung meraih lengan Vindra, lalu mendekapnya. Ia terguncang, tapi berusaha mengembalikan kontrol diri. Disekanya rambut dengan angkuh, ia tersenyum dan memilih untuk menyapa sang mantan kekasih. Biarpun hampir pingsan karena gugup, model kesayangan J.D Entertainment itu ingin menunjukkan sosok kuat pada orang-orang yang telah mengkhianatinya dengan sangat buruk. "Kebetulan sekali, Axe. Sepertinya kalian akan segera menikah, selamat untuk kalian. Sepertinya aku orang bertama yang mengucapkan selamat," tuturnya dengan nada bergetar. Vindra yang biasanya tak peka pun merangkul pundak calon istrinya. Ia ingin memberi dukungan. Sekaligus menunjukkan jika wanita tersebut masih bernapas, meski Axe yang tak tahu malu itu meninggalkannya. "Ayo, Sayang. Giliran kita mendaftar." Setelah memberi ajakan, Vindra langsung beranjak."Apa kau akan menikah, Ra?" tanya Axe."Benar, ada apa? Mau memberiku selamat juga?" Lyra berbalik. "Mustahil. Aku bahkan tak mengen
Lyra gagal mengontrol emosinya. Ia lantas menampar wajah pria yang telah berani mengatainya sebagai wanita jalang. Mau bagaimana pun juga, sebutan itu sungguh tak bermoral. Putri Burhan merasa perlu untuk membela harga dirinya sendiri. Tak peduli jika harus melakukan hal yang kasar sekalipun. "Pergi saja, aku tak mau melihatmu wajahmu lagi!" teriaknya sambil melotot. "Ra ...."Nanar Axe menatap lantai, ia tak percaya jika mendapat pengusiran. Ditambah, ini kali pertama Lyra memperlakukannya demikian. Ia tak membalas tamparan tersebut, tapi malah menggenggam tangan pemilik rumah dengan tatapan memelas. "Maafkan aku, Ra. Aku tak berniat untuk berkata begitu. Aku hanya ....""Pergi!" ulangnya. "Pergilah saja, Axe. Anggap kita tak pernah mengenal."Lyra pun masuk, membiarkan sang tamu tak diundang berdiri di teras. Pria berjaket jins itu lantas pergi, seperti yang diminta. Di sisi lain, Lyra kehilangan tenaga. Ia sampai terduduk di lantai sambil memegangi kenop pintu. Perasaannya campur
Hari pernikahan pun tiba. Lyra harus bangun jam empat subuh untuk mempersiapkan diri. Berulang kali menguap saat berendam di bak air hangat yang bertabur aneka kelompak bunga. Netranya bahkan terpejam, membiarkan para pelayan memijat kulit putihnya dengan lulur mandi. Ia tak menunjukkan ketertarikan di momen yang normalnya terjadi seumur hidup sekali. Baginya ini hanyalah acara formal yang mengatarkan ke gerbang impian. Hingga selesai pun, ekspresinya masih datar. Sang model berdiri di depan cermin yang setinggi dirinya, menatap bayang rupawan bergaun putih nan panjang. Selanjutnya, tim make up profesional mulai memoles wajah putri Burhan. Bulu mata palsu turut dilekatkan, menambah kesan lentik. Sayang sekali, ia tak takjub sekalipun semua yang ada di ruangan tersebut berdecak kagum. Setelah selesai, Lyra kembali memastikan jika riasan itu sudah sesuai seleranya. Ia pun beranjak. Seorang ajudan memegangi tangannya, kala bidadari dunia itu berusaha mengenakan heels berhiaskan permata
Segera Lyra memalingkan wajah. Suaminya pun kembali tersenyum melihat ekspresi tersipu itu. Meski telah melewati malam bersama, sang menantu keluarga Grason belum terbiasa dengan sentuhan yang diberikan. Ia memang tak menyukai semua itu, lebih tepatnya belum. Bahkan ketika bersama Axe pun, nyaris tak ada kontak fisik berlebihan di antara keduanya. Sontak suana menjadi teramat canggung. Beruntung gawai Vindra bergetar. Pria beralis tebal itu langsung menjauh untuk menerima panggilan. Lyra pun menghela napas, lalu lanjut membaca kontrak setebal dua belas halaman. Ia teramat teliti. Dipastikan jika tak ada hal yang merugikan, barulah ia memberi tanda tangan. Setelah itu, dirinya mengecek ponsel. [Ra, kau pasti belum membuka hadiahku, 'kan?] tanya Meta melalui pesan singkat. Penerima pesan lantas tersenyum. [Belum. Memang apa isinya?][Bukalah! Kau pasti akan mentukainya, itu adalah barang kesukaanmu.]Putri Burhan merasa penasaran. Ia menatap puluhan kado yang berjejer di sudut kamar d