Share

Kontrak Dalam Cinta
Kontrak Dalam Cinta
Penulis: Rainey Alta

Jadilah Istriku

"Dasar pria brengsek!" gerutu Lyra, lirih nyaris tanpa suara. 

Ia terus memegangi kepala yang serasa hampir pecah, perutnya juga bergejolak hebat. Entah dari gelas siapa ia minum semalam. Seumur hidup, wanita berparas ayu itu tak sekali pun mengkonsumsi alkohol. Ia takut melakukan hal bodoh dalam keadaan mabuk, sehingga citranya akan tercoreng. Namun, tadi malam adalah pengecualian. Tanpa sengaja dirinya hilang kendali dan berakhir di tempat yang aneh. 

Sebuah kamar dengan nuansa putih, bahkan seprai yang dipasang pun berwarna putih polos. Pendingin udara juga disetel agar menciptakan suhu rendah, terlalu rendah malahan. Lyra dapat merasakan dingin yang mengelus setiap jengkal pori-porinya. Masih setengah sadar saat dirinya menarik selimut hingga ke leher. Ia terpejam lagi, membayangkan hal indah seperti dalam dunia dongeng. Di mana para peri terbang sambil tertawa riang. Itu jauh lebih baik jika dibanding dengan berusaha memikirkan hal rumit, seperti bagaimana bisa ia bisa sampai di sebuah kamar, karena memang tak mengingat apa pun, selain pertunangan pria yang telah berjanji akan menikahinya.

Namun, tiba-tiba teringat akan seesuatu. Axe, mantan kekasih Lyra, menunjukkan wajah bersinar saat upacara bertukar cincin. Ia menatap lekat sosok wanita asing bergaun biru yang akan menjadi tunangan hati. Mereka menjadi yang paling bahagia di pesta bernuansa laut. Tanpa ingat jika seorang tamu merasa sesak tiap detiknya. Lyra hanya bisa menyaksikan momen tersebut sambil menahan amarah dan kecewa yang berdesir dalam nadi. Ia mati-matian memaksakan bibir agar tetap tersenyum. Namun, itu hanyalah ingatan sekilas yang terasa semu dan mengoyak kalbu.  

"Sudah bangun?" tanya seorang pria asing yang membuatnya tersentak. 

"Hah, siapa kamu?!" Buru-buru Lyra duduk. 

Pria tersebut tak menanggapi, hanya mengusap-usap rambut basahhya dengan sebuah handuk. Ia juga dengan santai memungut baju yang berserakan di lantai sambil bertelanjang dada, tak memperdulikan jika ada seorang wanita yang melihatnya sampai melotot dengan mulut sedikit menganga. Ya, Lyra memang sering melihat pria seksi yang membiarkan bagian atas tubuhnya terekspos kamera, tetapi ini berbeda karena mereka tak sedang melakukan pemotretan untuk iklan produk.

"Kalau sudah puas lihat-lihat, pakai bajumu!" Ia melempar kardigan biru laut yang sepanjang lutut ke arah wanita tersebut. 

Lyra makin terguncang. Ia langsung melirik turun, memeriksa tubuh mungilnya yang hanya terbalut lingarie saja. Buru-buru dirinya memakai kardigan yang ada di tepi ranjang. Ingin rasanya menuntun penjelasan, tapi mual mengalahkan rasa ingin tahu. Alhasil, wanita itu berlari menuju toilet yang ada di dalam kamar. Sayangnya belum sampai di wastafel, ia terlanjur memuntahkan makan malam. 

"Iyuh ... jangan berharap aku akan membersihkan benda menjijikkan itu, menyebalkan sekali." Pria itu terus menggerutu. "Kenapa kau masih di sana? Cepat bersihkan dirimu!"

Kalimat yang super pedas. Lyra masih tak habis pikir. Ia tergopoh memasuki toilet dan segera mengunci pintu. Setelah beberapa saat, wanita berambut hitam itu memaksakan diri untuk mengecek keadaan. Dia bahkan sempoyongan kala berjalan. Saat dikira sang pria telah pergi, rupanya salah. Pria itu menanti dengan elok di sudut ruangan sambil membaca koran yang baru saja diberikan oleh staf hotel. Sedikit lega, Lyra pun kembali masuk ke kamar mandi.

Butuh waktu sedikit lama bagi wanita tersebut untuk membersihkan diri. Ia membiarkan tubuh letihnya diguyur shower untuk beberapa menit. Ketika membuka pintu lagi, ia melihat seorang pelayan keluar sambil menenteng ember dan alat pel. Rupanya lantai telah bersih kembali. Tak ada aroma menjijikan lagi dari sana, justru berganti harum. Ia lantas mendekati pria asing itu. 

Ditemani secangkir kopi hitam, terlalu santai untuk seseorang yang terbangun di kamar yang sama dengan wanita yang tak dikenal. Pria itu bahkan tak melirik saat Lyra datang. Wanita yang hanya mengenakan jubah mandi itu mulai berasumsi jika kejadian semalam tak meninggalkan makna apa pun bagi sang pria yang telah memakai jas hitam. Namun, itu bukanlah sesuatu yang membuatnya terheran, ia telah banyak menjumpai yang lebih parah. Bagaima pun, Lyra merupakan wanita dewasa yang paham jika hubungan tak semua hubungan intim dilandasi oleh cinta, Meski begitu, ia agak menyayangkan hal terseebut.

"Siapa namamu?" tanya Lyra, lalu duduk di kursi depan.

"Apa itu penting?"

Ia mengerutkan kening. "Setidaknya aku berhak tahu nama ayah dari anak yang mungkin saja kukandung, 'kan? Jangan-jangan kamu berencana kabur dan tidak mau bertanggung jawab?"

Pria itu tertawa terbahak-bahak, ia meletakkan koran pada meja bulat yang menjadi sekat bagi mereka. "Kau pikir aku akan meniduri wanita menyedihkan sepertimu? Dengar, Nona, kau sama sekali bukan tipeku. Dan seandainya kau adalah wanita terakhir di dunia, kondisimu semalam justru membuat gairahku surut seperti laut yang sudah dikuras."

Tentu jawaban tersebut membuat wajah Lyra merah padam. Malu bercampur tak tahu membuat pikirannya berkecambuk. Padahal seumur hidup, entah berapa lusin pria yang menawaran uang, hati, termasuk tubuh mereka demi mendapat secuil perhatiannya. Akan tetapi, mitra bicaranya ini justru menanggapi dengan kasual seperti manusia tak berdosa saja. Sungguh kesal, geram membuat Lyra ingin melempar sandal bulu yang dikenakan ke wajah arogan di depan.

"Ayo, keluar. Kau pasti lapar, bukan?" Tiba-tiba pria itu menawarkan sebuah ajakan.

Lyra tak menyahut. Ia tampak menatap tajam, hampir tak berkedip seolah burung pemakan bangkai yang siap menerkam apa pun. Saat itulah, sang pria berhenti berpikir remeh dan mulai serius.

"Oke-oke." Pria itu mengulurkan tangan. "Aku Alvindra, ayah dari anak yang mungkin akan kau kandung."

Berharap lawakannya dapat memecah hening, pria itu malah terasa terbakar dengan pelototan Lyra. Belum pernah ada orang seberani itu, ia sampai dibuat geleng-geleng kepala. Padahal normalnya, para wanita akan bersikap lemah lembut. Menutupi sifat liar mereka agar Alvindra penasaran. Setelah ada sedikit saja celah yang terbuka, mereka menjelma bagai singa betina yang siap berburu mangsa.

"Jadi, mau sarapan, tidak?" tawar Alvindra sekali lagi. Ia tak berniat menambah riwayat permusuhan. 

"Bagaimana kamu menculikku? Aku sedang berada di pesta, mustahil kalau kamu tak dicurigai. Apa Axe yang menyuruhmu?" Lyra masih siaga, ia enggan percaya begitu saja.

"Axe, siapa?" Ia menyesap kopi. 

Agak sedikit terkejut. Wanita tersebut awalnya yakin jika sang mantan ingin hidupnya hancur sedemikian rupa, hingga menyuruh seorang lelaki menodainya. Namun, pemikiran itu berusaha ditepis. "Lupakan saja. Cepat pesan makanan, aku lapar."

Entah mengapa, Alvindra langsung menurut dengan mencari ponsel di antara selimut kusut. Ia lantas menelepon sang sekertaris yang menunggu di ruangan sebelah, agar dibawakan hidangan. Padahal dirinya dapat dengan mudah memesan sendiri melalui pelayanan kamar, tetapi pria berkulit putih itu lebih senang untuk menyulitkan sang asisten. Ia memang tak pernah membiarkan para pekerjanya tenang di jam kerja, walau sesaat.

Benar saja, tak perlu menunggu lama, seorang pelayan datang membawa banyak makanan. Alvindra dan Lyra pun manyantap hidangan tanpa bicara sepatah kata pun. Mereka sibuk memotong steak tenderloin dengan saus madu. Rasa mual dan sakit kepala Lyra juga mulai reda. Hangover yang dialami wanita sebatang kara tersebut tak terlalu parah. Sebab, ia hanya meminum segelas khamar saja. Andai sedikit lebih banyak, pasti cerita akan berbeda.

Lyra makan dengan sangat anggun. Menyembunyikan kalut dengan raut wajah yang dibuat datar.  Ia tak lagi peduli, bagaimana dirinya bisa berada di hotel ini. Ia juga tak ingin mencari tahu kejadian yang semalam terjadi. Baginya sudah cukup memikirkan Axe, pria tersebut pasti tengah berbahagia bersama wanita lain. Oleh karena itu, Lyra pantas melupakannya. Mungkin babak baru dalam hidup telah dimulai. Ia berusaha berpikiran positif agar hatinya tak bertambah sakit.

Sayang, daripada berusaha untuk lebih saling mengenal, Lyra malah berpikir tentang cara agar bisa berpisah dengan Alvindra. Cara yang lembut lalu saling menghilang seolah tak pernah ada yang terjadi. Ia berharap jika dukanya akan sedikit pudar, ketika ingatan cinta satu malam yang muncul dan menimbun habis kenangan manis bersama sang mantan kekasih. Meski begitu, ia agak gelisah memikirkan bagimana jika dirinya benar hamil. Tak pernah dirinya berandai menjadi seorang ibu.

"Hei, itu punyaku!" bentak Alvindra saat mendapati Lyra meminum kopi di meja. 

"Memangnya kenapa? Kita sudah berbagi kasur, apa minum dari gelasmu akan memberi lebih banyak dosa?" tanya Lyra dengan alis yang terangkat sebelah.

"Tapi bukankah harusnya kau jijik minum dari gelas orang asing?"

"Pasti begitu, tapi bukankah semalam bibir kita juga sudah saling berkenalan dan jadi teman akrab?" Wanita itu membuat kesimpulan semaunya. "Sudah. tutup saja mulutmu itu, kepalaku sakit!"

"Galak sekali, seperti mak lampir," sahut pria beralis tebal. 

"Apa kau bilang?!" Nyaris menggubrak meja.

"Ti--tidak apa-apa, kau cuma galak seperti induk singa yang kelaparan." 

Cemooh itu tiada mendapat balasan. Vindra pun berdiri di dekat Lyra. Ia mengamati wanita bernetra sendu itu hampir menitihkan air mata, membuatnya sedikit syok. Belum pernah dirinya mendapati sorot mata setersiksa itu. Namun, selepas air mata menetes, Lyra segera mengusapkan lengannya. Biarpun begitu, matanya yang lain justru deras menangis hingga membanjiri tebing pipinya yang sedikit memerah. 

"Apa kau sefrustasi itu?" Vindra berusaha membangun komunikasi. "Kau bahkan naik ke panggung dan menjambak rambut mempelai pria."

Lyra tertawa kecil, menyeka lagi air matanya. "Jadi aku melakukan itu, ya? Baguslah, setidaknya aku balas dendam."

Vindra menyahut dengan nada lebih tinggi, "Bukan seperti itu caranya balas dendam!"

"Apa?" Lyra mendongak karena sedikit kaget. 

"Pria yang membuatmu mempermalukan diri sendiri, tak pantas hanya menerima jambakan. Semua orang mengasihanimu. Kau duduk di lantai sambil berteriak seperti orang gila. Dan sekarang kau puas hanya dengan membuatnya merasakan sedikit rasa sakit? Tidakkah kau perlu balas dendam dengan lebih kejam?"

Lyra menimpali, "Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Axe memang mengkhianatiku, tapi aku masih sangat mencintainya. Aku juga tak memiliki siapa pun untuk mendukungku. Dia terlalu kuat untuk kuhancurkan seorang diri."

Alvindra lantas tersenyum simpul. Ia berjongkok di hadapan Lyra yang sedang menangis tersedu sambil menjawab, "Jadilah istriku. Aku akan melindungimu dan membuat mantan kekasihmu tak bisa menjalankan hidup dengan tenang. Aku bersumpah, dia akan menyesal sambil berlutut di kakimu, Manisku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status