Share

Kontrak Dimulai

"Ayo, jangan bengong begitu." Vindra buru-buru menarik tangan Lyra. 


Wanita itu pun bangkit, ia berpamitan pada rekannya yang kebingungan. Namun, ia belum sempat mengakatan apa-apa. Calon suaminya sudah tak sabar lagi, mereka pun beranjak dari restoran tersebut. 


"Tinggalkan mobil jelekmu di sini, kau naik mobilku saja." Kalimat tersebut terdengar angkuh, membuat yang mendengar merasa tak nyaman. 


"Maaf, Tuan, tapi mobil jelekku itu dibeli dengan uang. Memangnya kamu akan menyumbang kendaraan baru yang lebih bagus?"


"Ide bagus, kita sekalian saja beli mobil. Berikan kuncinya pada supirku, biar dia yang memungut barang bekasmu."


Lagi-lagi mulut Lyra menganga. Ia berhenti sejenak, berpikir mengapa bisa ada orang yang sesombong itu di dunia? Akan tetapi, fakta yang lebih membuat miris adalah orang tersebut akan menjadi suaminya dengan segera. 


Belum lagi mereka menginjak parkiran, seorang pria tua berseragam datang menghampiri. Ia meminta kunci mobil Lyra, tentu saja wanita itu menolak. Mana mungkin hasil jerih payahnya diberikan ke orang lain. Terlebih mobil tersebut didapat setelah melakukan kredit. Namun, begitu mendapat penjelasan jika kata-kata Vindra hanyalah gurauan, ia pun dengan senang hati memberikan. 


Keduanya pun lanjut mencari mobil putih milik sang pria. Begitu ketemu, mereka segera masuk. Lyra masih belum tahu ke mana ia akan dibawa, merasa bodoh karena mau mengikuti orang asing begitu saja. Ia bahkan tak mengucapkan sepatah aksara, terlalu lelah untuk mendengar bualan dari mitra bicara yang memiliki keangkuhan setinggi langit. 


Setelah berputar-putar selama tiga puluh menit, mereka berhenti di sebuah are tertutup. Tembok setinggi dua meter terlihat mengelilingi tanah yang memiliki luas berhektar-hektar. Lyra semakin yakin jika dirinya diculik, ia bahkan memikirkan hal liar seperti perdagangan manusia. 


Jalanan yang dilalui memang beraspal, tak ada suasana mencekam, biarpun sepi tanpa pengemudi lain. Tak lama berselang, netranya menangkap bangunan mahamegah yang atapnya bersinar terkena cahaya senja. Di sekeliling bangunan tersebut terdapat taman dan air mancur dengan patung Dewi Hera yang seolah menjaga harta luar biasa itu. 


"Turunlah," pinta Vindra kala si putih berhenti di samping air mancur. 


"Ini rumahmu?"


"Tentu saja. Memang aku terlihat seperti gelandangan yang tak punya rumah? Jangan mengada-ngada dan segera ikuti aku." Pria itu melepas sabuk pengaman dan segera berjalan masuk. 


Sementara itu, Lyra mengekor. Ia menatap sekeliling, lalu merasa takjub. Rumah itu lebih indah daripada hotel bintang lima ataupun perumahan terelit yang pernah disambanginya saat melakukan pemotretan. Benar-benar memukau! 


"Selamat datang, Tuan." Para pelayan terlihat membungkuk di hadapan majikan. 


"Apa perlu saya bawakan teh hangat?" Salah satunya membantu Vindra melepas jas yang dikenakan. 


Pria beralis tebal itu pun menjawab, "Tak perlu. Antar saja Nona Lyra ke kamarnya. Bantu dia bersiap. Aku tak punya banyak waktu."


"Baiklah, Tuan." Ia sangat patuh juga hanya menatap lantai. "Mari ikuti saya."


Wanita berdress hitam itu pun mengikuti. Ia memijaki anak tangga dengan penuh teliti. Kekayaan Vindra jauh melampaui semua ekspektasi. Kini wanita itu tersenyum, ia berpikir jika balas dendamnya pasti akan terpenuhi dengan sempurna. Ia telah menemukan angsa emas yang akan membawanya menuju kemenangan. 


"Saya akan tunggu di luar sini, silakan ganti baju Anda." Ayuk, sang pelayan menunggu di samping pintu. 


"Baiklah," ucapnya lalu masuk. 


Kamar bercat biru dengan sentuhan perabot perak. Lyra merasa seolah memasuki istana. Ranjangnya juga sangat luas, model top itu pun duduk sejenak untuk memeriksa seberapa empuk. Namun, hampir saja ia terlelap karena terlalu nyaman andai tak melihat gaun hitam yang terpatung di maneken.


Ia buru-buru bangun dan melihat gaun tersebut dari dekat, memastikan apakah ukurannya sesuai dengan tubuh mungilnya. Tak menunggu lama, mantan kekasih Axe langsung berganti baju. Ia lantas memanggil sang pelayan untuk masuk. 


"Apa kamu tahu ke mana Vindra akan membawaku?" tanyanya sambil membenahi posisi gaunnya. 


"Tuan akan membawa Nona ke pertemuan keluarga untuk dikenalkan pada Tuan dan Nyonya besar."


"Apa?!" Sangat terkejut. 


"Nona akan tahu nanti, saya tak memiliki hak untuk menjawab lebih."


Pelayan itu mengambil sebuah kotak perhiasan di meja rias. Ia membantu Lyra untuk melepas anting yang semula dipakai dan menggantinya dengan satu set perhiasan bermaterial berlian. Ia juga mengikat rambut Lyra, membuat wanita berleher jenjang itu makin terlihat cantik. 


Setelahnya, mereka turun. Vindra telah siap menanti di ujung tangga. Pria itu mengulurkan tangan dan meraih jari lentik sang tamu. Mereka pun berjalan beriringan dengan tangan yang saling menggandeng. Terlihat begitu harmonis seperti pasangan yang telah lama menjalin hubungan asmara. 


"Jaga jantungmu, Ra, kita akan bertemu keluargaku. Semua orang akan ada di sana, jangan sampai syok. Perlihatkan jika kau adalah tokoh utama malam ini."


Lyra mengangguk sekalipun belum sepenuhnya paham dengan ucapan Vindra. Mereka melanjutkan lagi perjalanan dan tiba sepuluh menit kemudian. Bergegas pria berparas rupawan itu menbukakan pintu mobil, hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia lantas meletakkan telapak tangan kirinya ke pinggang, memberi tanda agar sang calon istri segera menggandeng. 


Gemerlap lampu tampak menyilaukan netra. Gemerlap yang hadir semakin menambah elok pasangab tersebut. Mereka menangkap suara cukup bising, anggota keluarga lain telah berkerumun di sana sembari menunggu hidangan tersaji. 


"Kau harus bersiap, Nak. Bisnis Papa akan segera berpindah ke tanganmu," tutur Diana, istri kedua dari ayah Vindra. 


"Itu tidak akan terjadi," sela Vindra begitu memasuki ruang makan. "Maaf menyela, tapi Kak Romi sudah sangat sibuk berada di bar sepanjang hari. Mana mungkin aku tega membiarkannya mengurus perusahaan Papa yang sebesar itu."


Semua tampak terkejut. Mereka tak menyangka jika putra bungsu keluarga Grason akan turut hadir. Vindra memiliki kebiasaan buruk untuk membolos pada pertemuan keluarga yang rutin diadakan dua kali dalam setahun. Jadi, maklum saja jika Diana mengatakan hal terbuka karena ia juga tak mengira jika anak tirinya akan muncul tiba-tiba.


"Duduklah, Alvindra." Romi, sang kakak segera mempersilakan adiknya untuk bergabung. 


"Terima kasih, tapi aku tak datang sendirian ke sini."


Putra Diana celingukan. "Siapa yang kau ajak, Adik? Apakah Papa sudah pulang bersamamu?"


"Tidak, Kak. Papa masih di Amerika. Aku mengajak seseorang yang sangat penting, dia adalah syarat agar aku bisa melanjutkan perjuangan orang tua kita dalam merintis usaha." Pria itu menunjukkan lagi senyuman yang picik. "Masuklah, Sayangku."


Jam seolah berhenti. Sepuluh pasang netra memandang pintu di mana Lyra masuk. Wanita itu berlenggak-lenggok dengan anggun, seolah menikmati momen saat berjalan di atas catwalk sebagai bintang utama kala itu. 


"Perkenalkan semuanya, dia Lyra, calon istriku sekaligus calon nyonya muda Grason. Maaf karena aku memperkenalkannya secara mendadak. Ayo, Sayang, beri salam pada keluarga kita."


Lyra menggangguk, ia menuruti saran sang calon suami, lalu tersenyum sumringah. Semua tampak heran sekaligus bahagia, apalagi paman dan bibi Vindra yang memang trlah menanti kabar bahagia tersebut. Akan tetapi, tanpa sadar ada sedikit orang yang merasa tak suka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status