Netra Lyra masih terbelalak. Ia langsung meraih lengan Vindra, lalu mendekapnya. Ia terguncang, tapi berusaha mengembalikan kontrol diri. Disekanya rambut dengan angkuh, ia tersenyum dan memilih untuk menyapa sang mantan kekasih. Biarpun hampir pingsan karena gugup, model kesayangan J.D Entertainment itu ingin menunjukkan sosok kuat pada orang-orang yang telah mengkhianatinya dengan sangat buruk.
"Kebetulan sekali, Axe. Sepertinya kalian akan segera menikah, selamat untuk kalian. Sepertinya aku orang bertama yang mengucapkan selamat," tuturnya dengan nada bergetar.Vindra yang biasanya tak peka pun merangkul pundak calon istrinya. Ia ingin memberi dukungan. Sekaligus menunjukkan jika wanita tersebut masih bernapas, meski Axe yang tak tahu malu itu meninggalkannya."Ayo, Sayang. Giliran kita mendaftar." Setelah memberi ajakan, Vindra langsung beranjak."Apa kau akan menikah, Ra?" tanya Axe."Benar, ada apa? Mau memberiku selamat juga?" Lyra berbalik."Mustahil. Aku bahkan tak mengenal pria ini. Bagaimana mungkin kau bisa menikahinya.""Hah?!" Lyra mendekat. "Memang kamu ayahku yang harus mengenal calon suamiku? Jangan membuatku tertawa, Axe.""Oh, aku mengerti. Kau sengaja kemari dengan pria bayaran untuk membuatku cemburu, 'kan, Ra?" Axe mendekat. "Jujur saja, kau tak bisa melupakanku sampai mau gila, 'kan?"Bibir sang model sedikit terbuka. Ia tak menyangka akan mendapat respon seperti itu. Untuk ukuran seorang mantan, Axe jelas terlalu naif. Ia tak bisa menempatkan diri dan menganggap jika hanya ada dirinya di hati Lyra. Wanita ber-dress biru navy itu tersenyum. Ia tak lagi bisa marah, setelah menyaksikan pola pikir aneh dari pria yang mencampakkannya."Pulanglah saja, Ra. Usahamu sia-sia sampai di sini. Aku adalah orang yang paling mengenalmu, aku sama sekali tak cemburu," imbuh pria berbaju hitam.Biarpun Vindra bukanlah orang yang ekspresif, ia tak tahan dengan hujatan yang diberikan. Ia lantas merosok saku dan mengeluarkan kartu nama. Diberikannya benda pipih tersebut sambil berkata, "Datanglah jika ada waktu. Kau pasti ingin mengenal calon suami dari model cantik ini, bukan?""Ayo, Sayang. Kita harus ke butik setelah ini." Buru-buru ia menarik tangan Lyra. Mereka pun menghadap petugas Kantor Urusan Agama, meninggalkan Axe yang melotot sambil membaca identitas Vindra.Semua berkas untuk pernikahan telah siap. Vindra telah mempersiapkan segalanya, termasuk surat persetujuan dari keluarga. Hal yang lebih mencengangkan adalah surat penggantian wali yang diberi tangan tangan Burhan, ayah Lyra yang bahkan sang putri sendiri tak tahu ada di mana.Model tersebut tak banyak bertanya. Ia lebih nyaman untuk menerima hasilnya saja, tanpa terlibat dalam apa pun. Yang ada dalam benaknya cuma cara agar mereka segera meraih keinginan masing-masing dan segera menyelesaikan kontrak tersebut.Usai dari Kantor Urusan Agama, kedua calon mempelai bertolak ke butik ternama di pusat kota. Bangunan seluas separuh lapangan bola tersebut menyediakan gaun pengantin, di mana tiap model hanya dibuat sekali untuk satu orang saja. Vindra pun menanti dengan nyaman. Ia duduk bersandar pada sofa beludru yang empuk sambil menyilangkan kaki.Tujuh menit kemudian, anak Burhan keluar dari ruang ganti. Ia mengenakan gaun panjang nan mengembang, layaknya tuan putri dari negeri dongeng, lengkap dengan sebuah mahkota dan vail tipis sebagai penutup kepala. Vindra butuh beberapa detik untuk memandangi calon istri yang berdiri di lingkaran baja tinggi. Namun, ia menggelengkan kepala.Lyra memasuki lagi ruang ganti. Tiga pelayan membantunya melepas gaun dan hiasan yang dikenakan. Selanjutnya adalah gaun super ketat yang menonjolkan pinggang indahnya. Kali ini pun, penampilannya ditolak oleh si bungsu. Netranya mulai memerah dengan desahan napas. Ia merasa kesal karena berganti empat model gaun.Tekatnya telah membulat. Andai kali ini pun tak memuaskan selera Vindra, sang model akan menyobek-nyobek desain senilai ratusan juta itu. Bibirnya yang manyun menjadi tanda keseriusannya. Namun, tak sesuai ekspektasi, Vindra malah tersenyum dan memuji kecantikannya."Kau seperti malaikat, Sayang. Aku tak sabar melihatmu seperti ini lagi nanti."Lyra tak menanggapi. Ia berpikir jika pria aneh itu dapat menebak isi hatinya. Kemudian, Vindra meminta agar semua orang keluar. Ia pun berbincang sejenak dengan Lyra, memintanya untuk membaca beberapa lembar kertas bertuliskan isi perjanjian pra-nikah. Padahal Lyra masih mengenakan gaun.Tak seperti umumnya, pria itu menolak untuk saling ikut campur permasalahan pribadi, kecuali hal-hal yang memang telah ditentukan. Mereka juga sepakat bila tak ada pembagian harta gono-goni karena memang semuanya telah dimiliki Vindra. Akan tetapi, tetap saja penerus keluarga Grason itu memberi satu per empat hartanya beserta sebuah vila megabesar di sudut kota.Lyra awalnya menolak, ia sama sekali tak membutuhkan kekayaan pria tersebut. Namun, setelah mengetahui perkiraan materi yang akan didapat Vindra melalui pernikahan palsu, ia menjadi setuju. Toh, ada harga yang harus dibayar setelah nantinya akan menyandang status sebagai janda.Mereka pun menandatanginya bersama. Masing-masing menyimpan satu salinan kontrak dan jelas tertulis bila tak boleh ada yang tahu tentang hal ini. Mau bagaimana pun, mereka tak berada di posisi yang bisa melakukan kesalahan dan membuat masyarakat beropini buruk.***Senja kini datang. Putri Burhan memijat pundaknya yang sakit, seharian ini ia tak beristirahat sama sekali. Ia pun memasuki pekarangan rumah dengan lesu, persiapan pernikahan membuat darahnya serasa terkuras. Wanita bersepatu heels itu bahkan kesulitan untuk mencari kunci rumah yang ada di tasnya."Ra, dari mana saja kau?" Axe menepuk pundaknya.Lyra pun menoleh dengan cepat. "Mau apa kamu ke sini?! Cepat pulang, aku tak sudi melihatmu."Lyra segera membuka pintu, berniat menghindari pria yang hingga kini membuat jantungnya terus berdebar. Sayang, Axe malah memegangi tangan sang mantan. Ia terus menuntun penjelasan, seolah mereka masih menjalin kasih. Tentu hal itu membuat sang model kian geram. Ia menghempaskan tangan dan mulai berteriak, "Sadarilah posisimu! Kamu akan segera menikah, apa pantas jika menemui seorang wanita secara diam-diam?""Jangan katakan itu, Ra. Aku tahu jika kau berusaha membuatku cemburu dan aku ....""Cemburu?" potongnya, "Apa kamu berada di posisi sebagai orang yang bisa cemburu? Tolong pergi saja, Axe. Aku sangat lelah.""Ra, jangan menghindariku!" Axe menarik lagi lengan wanita cantik itu hingga tasnya terjatuh.Pria itu segera memunguti barang yang terserak. Resleting tas belumlah dibenahi. Namun, jarinya terhenti kala memegang sebuah kartu undangan dengan gambar Vindra dan Lyra di dalamnya."Apa ini, Ra?" tanya Axe sekali lagi.Putri Burhan memijat pelipis. "Itu undangan untuk pernikahanku. Dua hari lagi kami akan menikah, kamu bisa datang jika mau. Kalau kamu datang, aku janji akan memberimu selamat di pesta pernikahanmu juga."Sejenak kehabisan aksara, pria bertubuh kurus itu pun berdiri. "Oh ... jadi kau mengkhianatiku saat kita masih pacaran? Kau benar-benar wanita jalang, Ra!"Plak!Lyra gagal mengontrol emosinya. Ia lantas menampar wajah pria yang telah berani mengatainya sebagai wanita jalang. Mau bagaimana pun juga, sebutan itu sungguh tak bermoral. Putri Burhan merasa perlu untuk membela harga dirinya sendiri. Tak peduli jika harus melakukan hal yang kasar sekalipun. "Pergi saja, aku tak mau melihatmu wajahmu lagi!" teriaknya sambil melotot. "Ra ...."Nanar Axe menatap lantai, ia tak percaya jika mendapat pengusiran. Ditambah, ini kali pertama Lyra memperlakukannya demikian. Ia tak membalas tamparan tersebut, tapi malah menggenggam tangan pemilik rumah dengan tatapan memelas. "Maafkan aku, Ra. Aku tak berniat untuk berkata begitu. Aku hanya ....""Pergi!" ulangnya. "Pergilah saja, Axe. Anggap kita tak pernah mengenal."Lyra pun masuk, membiarkan sang tamu tak diundang berdiri di teras. Pria berjaket jins itu lantas pergi, seperti yang diminta. Di sisi lain, Lyra kehilangan tenaga. Ia sampai terduduk di lantai sambil memegangi kenop pintu. Perasaannya campur
Hari pernikahan pun tiba. Lyra harus bangun jam empat subuh untuk mempersiapkan diri. Berulang kali menguap saat berendam di bak air hangat yang bertabur aneka kelompak bunga. Netranya bahkan terpejam, membiarkan para pelayan memijat kulit putihnya dengan lulur mandi. Ia tak menunjukkan ketertarikan di momen yang normalnya terjadi seumur hidup sekali. Baginya ini hanyalah acara formal yang mengatarkan ke gerbang impian. Hingga selesai pun, ekspresinya masih datar. Sang model berdiri di depan cermin yang setinggi dirinya, menatap bayang rupawan bergaun putih nan panjang. Selanjutnya, tim make up profesional mulai memoles wajah putri Burhan. Bulu mata palsu turut dilekatkan, menambah kesan lentik. Sayang sekali, ia tak takjub sekalipun semua yang ada di ruangan tersebut berdecak kagum. Setelah selesai, Lyra kembali memastikan jika riasan itu sudah sesuai seleranya. Ia pun beranjak. Seorang ajudan memegangi tangannya, kala bidadari dunia itu berusaha mengenakan heels berhiaskan permata
Segera Lyra memalingkan wajah. Suaminya pun kembali tersenyum melihat ekspresi tersipu itu. Meski telah melewati malam bersama, sang menantu keluarga Grason belum terbiasa dengan sentuhan yang diberikan. Ia memang tak menyukai semua itu, lebih tepatnya belum. Bahkan ketika bersama Axe pun, nyaris tak ada kontak fisik berlebihan di antara keduanya. Sontak suana menjadi teramat canggung. Beruntung gawai Vindra bergetar. Pria beralis tebal itu langsung menjauh untuk menerima panggilan. Lyra pun menghela napas, lalu lanjut membaca kontrak setebal dua belas halaman. Ia teramat teliti. Dipastikan jika tak ada hal yang merugikan, barulah ia memberi tanda tangan. Setelah itu, dirinya mengecek ponsel. [Ra, kau pasti belum membuka hadiahku, 'kan?] tanya Meta melalui pesan singkat. Penerima pesan lantas tersenyum. [Belum. Memang apa isinya?][Bukalah! Kau pasti akan mentukainya, itu adalah barang kesukaanmu.]Putri Burhan merasa penasaran. Ia menatap puluhan kado yang berjejer di sudut kamar d
Lyra amat cepat beradaptasi. Kebiasaannya melakukan semua dengan sempurna menjadikan kontrak ini tak sekadar mainan. Ia ingin menghilangkan seluruh keraguan yang ada dalam benak anggota keluarga Grason yang lain. Menjadi menantu ideal, istri yang dapat diandalkan, sekaligus wanita karir yang sukses adalah sesuatu yang harus diwujudkan demi memenuhi ambisi. Vindra pun tersenyum, dipenuhi mood positif setelah mendapat morning kiss. Ia bertaruh dalam hati bila ini akan menyenangkan. Sayangnya Diana masih berusaha mencari cela dalam hubungan sang anak tiri. Ia yakin bila pernikahan tersebut hanyalah taktik agar bisa lolos sebagai pemilik perusahaan yang lama dikembangkan oleh Malik, suaminya. Biar kata Romi adalah putra sulung, tapi kasih sayang Malik tetap dikuasi Vindra. Sebab, mendiang ibunya merupakan sosok tegar yang menemani Malik meniti karir dari nol usai mengalami kebangkrutan. Tentu saja ini tak akan bisa disaingi oleh Diana, sekalipun ia istri sah pertama. Ia teramat membenci
Lyra merasa tercekik. Ia memiliki fobia terhadap kesendirian di tengah gelap. Berulang kali jarinya meraba tembok, sementara tangan lain memegangi dada. Rasa cemas membuatnya lupa untuk menyalakan sorot ponsel. Kaki jenjangnya pun menabrak tempat sampah di sudut ruangan, membuat keseimbangan goyang. "Aaa!" teriaknya saat merasakan sebuah benturan. Beruntung, seseorang menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Gemuruh petir kembali datang. Sekelebat cahaya menyambar langit, membuat ruangan terang untuk beberapa saat. Lyra langsung memeluk tubuh di depannya. Ia berusaha yakin bila itu adalah sang suami yang akhirnya teringat akan dirinya. "Tenanglah, aku sudah meminta supir untuk mengecek sambungan listrik. Ayo, bangun," ajaknya lembut sambil memegangi lengan Lyra. "Ti-tidak, aku terlalu takut." Wanita itu sampai menggigil, ia sama sekali tak memiliki kekuatan untuk beranjak dari posisi. Bahkan kakinya lemas. "Baiklah, jangan khawatir." Vindra lantas mendekap putri Burhan. Ia bersadar p
Surya bersinar amat terang, menembus sela-sela gorden yang terbuka separuh. Pagi itu, sepasang sejoli beranjak untuk pulang ke rumah pribadi. Lembut Vindra memegangi sang istri dan menuntunnya menuju balkon. Ia menarik kursi, memastikan jika Lyra tak mengalami kesulitan berarti untuk duduk. "Tunggulah di sini, aku akan ambil sarapan." Usai mengatakan hal tersebut, anak Malik menuju pintu. Asistennya telah menanti di depan kamar bersama seorang pelayan yang bertugas mengantarkan makanan. Meja beroda pun didorong Vindra menuju balkon. Sejenak dirinya terperanjat kala mendapati sosok putri Burhan yang duduk terpejam, menikmati petrikor yang memberi rasa tenang. Namun, jantungnya malah berdebar kencang. Adik Romi seperti melihat malaikat berbaju tidur putih. Segera pria berpostur tegap itu mengalihkan fokus. "Apa kau yakin hanya makan salad? Aku menyuruh mereka memasak beberapa menu. Ada nasi goreng kesukaanku juga."Lyra membuka netra. "Ya, sayuran memiliki kadar lemak dan karbohidrat
Sigap investor itu mengambil kertas tersebut, lalu membacanya. Seulas senyum pun menghiasi wajah yang berseri. "Anda sangat teliti, Pak. Saya menyukai projek ini." "Terima kasih, jadi kita sepakat?" balas Vindra turut tersenyum pula. "Tentu saja, hubungi sekertaris saya jika ada berubahan dalam kontrak." Kedua pria berjas itu pun bangkit dan berjabat tangan, diikuti oleh anggota rapat lain. Romi sekilas melirik berkas yang tergeletak di depan Andrian, jelas menunjukkan jika 80% tanah di Desa Kembang telah sang adik miliki. Itu berarti kesempatan Grason's Company untuk mengambil alih lahan luas tersebut menjadi kian besar. Memang itu berita yang bagus. Namun, tetap saja gundah kian menerkam hati Romi. Putra Diana menatap adiknya yang tampak sumringah. Ia merasa jika usahanya dalam menarik perhatian investor kali ini pun gagal, anak kesayangan Malik sudah pasti akan memonopoli kekuasan yang harusnya menjadi bagian Romi. Namun, tak masalah, sejak awal Romi memang tak begitu tertarik
"Aduh, Anak cantik. Jangan menangis." Kakek memberi tisu pada Lyra. "Maaf, ya. Aku malah membuat Kakek panik. Aku pulang saja kalau begitu. Permisi." Buru-buru Lyra bangun. "Tunggu, Nak. Kenapa pulang? Ayo, minum dulu tehnya." Istri Vindra menyeka air mata, lalu duduk kembali. Mereka pun mulai berbagi cerita dengan akrab. Suana kekeluargaan amat kental, sekalipun belum lama kenal. Akan tetapi, usaha tersebut membuat pasangan renta itu menerima kontrak penjualan dan resmi pindah minggu depan. Sayangnya, hal ini justru membuat Lyra sedih. Ia merasa telah memperdayai mereka. Nuraninya tak mampu melakukan itu, putri Burhan lantas mengakui segalanya. Tentang rencananya beserta sang suami yang hendak menarik empati dengan akting. Namun, mitra bicara malah tersenyum. Mereka mengaku jika telah mengetahui semuanya. Berkata jika di umur seperti ini, tak ada yang ingin mereka pertahankan, melainkan sekadar ingin tahu bagaimana cara orang-orang kaya membujuk. Mereka pasti menolak jika dipaksa