Lyra gagal mengontrol emosinya. Ia lantas menampar wajah pria yang telah berani mengatainya sebagai wanita jalang. Mau bagaimana pun juga, sebutan itu sungguh tak bermoral. Putri Burhan merasa perlu untuk membela harga dirinya sendiri. Tak peduli jika harus melakukan hal yang kasar sekalipun.
"Pergi saja, aku tak mau melihatmu wajahmu lagi!" teriaknya sambil melotot."Ra ...."Nanar Axe menatap lantai, ia tak percaya jika mendapat pengusiran. Ditambah, ini kali pertama Lyra memperlakukannya demikian. Ia tak membalas tamparan tersebut, tapi malah menggenggam tangan pemilik rumah dengan tatapan memelas."Maafkan aku, Ra. Aku tak berniat untuk berkata begitu. Aku hanya ....""Pergi!" ulangnya. "Pergilah saja, Axe. Anggap kita tak pernah mengenal."Lyra pun masuk, membiarkan sang tamu tak diundang berdiri di teras. Pria berjaket jins itu lantas pergi, seperti yang diminta. Di sisi lain, Lyra kehilangan tenaga. Ia sampai terduduk di lantai sambil memegangi kenop pintu. Perasaannya campur aduk, ia merasa jika tak seharusnya menampar Axe yang sangat dicintai.Sahabat Meta pun menunjukkan tatap kosong. Hatinya remuk, seolah sebagian jiwanya ditarik paksa untuk keluar. Pada momen tersebut, bibirnya bergetar dan air perlahan menetes dari netra sendu itu. Ia terisak tanpa suara, lalu memeluk kedua kaki yang ditekuk. Ia bahkan tak sempat mandi, langsung tidur saking frustasinya.Keeseokan harinya, putri Burhan berangkat bekerja. Ia terlihat pucat dengan lingkaran hitam yang mengelilingi netra. Tentu saja atasannya marah besar, pasalnya hari ini terdapat sesi pemotretan untuk brand parfum eksklusif yang telah membayar banyak agar bisa memakai jasa mereka.Namun, Lyra malah diam. Ia sama sekali tak menjawab barang sepatah aksara. Padahal, wanita berkulit mulus itu terbiasa ikut marah saat mendapat teguran. Sontak hal ini membuat seluruh agensi merasa cemas. Terutama sang make up artis yang bertugas merias wajah Lyra."Jangan menyerah," ucap Meta sembari menepuk punggung sahabatnya, "aku yakin kau cukup tegar, Ra. Meski tak mengatakan apa pun, jelas sekali jika pria bodoh itu berulah lagi. Dia bahkan meneleponku semalam.""Benarkah?" Lyra terperanjak, membuat lipstik yang dioles melewati garis bibir. "Apa yang dia katakan?""Eum ... bagaimana kalau dibahas usai kerja? Kau harus fokus dulu untuk pemotretan ini. Karirmu dipertaruhkan di tiap foto. Intinya kau pantas bahagia. Aku selalu di sisimu."Meta mengambil tisu dan mengelap bercak merah yang merusak riasan model berambut hitam itu. Dirinya memberi semangat sekali lagi, lalu tersenyum manis. Ia berusaha memberi tahu jika semuanya akan baik-baik saja.Calon istri Vindra pun naik ke panggung, tempat yang dipilih untuk sesi pemotretan. Ia duduk pada sofa panjang. Beberapa orang turut membantu untuk menata gaun bulu yang dipakainya. Kipas pun dinyalakan, angin langsung menerpa rambut dan bulu-bulu tersebut. Lyra telah mendapat kepercayaan diri lagi, ia berpose dengan epik. Menampilkan kesan visual yang begitu estetik.Netranya terpejam, mendekatkan botol kaca ke dekat wajah, seolah tengah menikmati aroma harum tersebut. Lanjut pindah ke pose lain, bahkan abang fotografer pun tak perlu mengarahkan terlalu banyak. Wanita itu sudah tahu benar bagaimana cara membuat orang lain terpikat. Lyra seperti kerasukan arwah model penasaran. Ia memberikan kesan seolah kiamat pun tak akan membuat pemotretannya terganggu.***Sepulangnya dari tempat kerja, Lyra makan malam bersama Meta. Wanita berambut pendek itu terus memuji penampilan sahabatnya. Bibirnya tak kelu, meski bicara lima belas meit, hampir tanpa jeda."Jadi, siapa pria tampan kamarin?" tanyanya sambil mencodongkan tubuh.Putri Burhan tersenyum. "Dia kenalanku.""Wah ... wah. Sepertinya ada yang akan segera move on, nih.""Mau bagaimana lagi? Kamu sendiri yang selalu memintaku untuk melupakan Axe.""Jangan sebut namanya!" Meta meletakkan sendok dengan kasar. "Aku sangat kesal dengan si aneh itu. Setelah berpacaran dua tahun, dia malah bertunangan dengan orang tanpa memberi tahu dulu.""Tenanglah, Me," pinta Lyra kala menyaksikan raut penuh kesal dari mitra bicara."Sebenarnya apa isi otak Axe? Kau itu cantik, pandai, memiliki tata krama yang bagus, dan seorang model terkenal. Banyak sekali orang yang mengantre untuk bisa berkencan dengamu, tapi kenapa dia membuang kesempatan emas itu? Jujur saja, Ra, aku merasa jika Axe akan mendapat pecahan gelas setelah membuang berlian.""Biarkan saja."Kekasih kontrak dari Vindra telah pasrah. Ia meminum jus mangga dengan senyum setengah terpaksa. Tak lama kemudian, ia mengambil dompet salem di kursi sebelah, lalu mengeluarkan sesuatu."Ini untukmu, Meta. Kamu orang pertama yang kuberi. Tolong datang, ya?"Wanita berwajah imut itu menerimanya. "Seingatku kau baru berulang tahun dua bulan lalu, undangan apa ini?""Lihat saja sendiri." Lyra tersenyum.Sedikit terburu-buru Meta membuka lipatan kertas bermotif bunga. Ia memang telah menebak jika itu undangan pernikahan, tapi milik orang lain. Meta mengira jika sahabatnya butuh teman untuk datang ke sana setelah putus dari Axe. Oleh karena itu, Lyra memberi satu undangan. Akan tetapi, alangkah syok dirinya saat mendapati nama ber-font Alex Brush."Hahaha. Leluconmu keren sekali!" Meta tertawa hingga perutnya keram. "Kau membayar berapa sampai pria tampan ini mau berfoto begitu? Aku juga mau dong!""Sedikit aneh memang, tapi ini bukan lelucon. Aku akan mengirimkan baju buatmu besok pagi, sekarang masih ada di penjahit."Seketika tawanya lenyap. Meta memperhatikan lagi foto pre-wedding berlatar belakang daun gugur. Mulut Meta menganga saat menyadari jika pria yang ada di sana adalah pria sama yang menjemput Lyra tempo hari. Benar-benar gila!"Aku bertemu dengannya di pesta Axe. Kamu tidak mau datang, jadi aku sendirian di sana. Saat kembali dari toilet, gelasku tertukar. Alhasil aku mabuk parah dan mengatai pasangan itu. Alvindra buru-buru membawaku pergi agar aku tak semakin mempermalukan diri. Aku sangat bersyukur, entah jadi apa diriku tanpa Vindra. Setelah itu, dia melamarku. Kami jatuh cinta seketika. Aku juga bertemu dengan keluarganya kemarin. Dia benar-benar serius, tak ada alasan buatku untuk menolak," jelas sang model dengan nada sendu.Tenggorokan Meta terasa kering kala mendengarkan pemaparan menyedihkan itu. Ia semakin iba pada sosok tanpa keluarga yang berjuang mati-matian demi melanjutkan hidup. Sejak masih di SMA, Lyra sama sekali tak tertarik pada kehidupan sosial, terlebih asmara. Ia menjadi introvert yang lebih senang menghabiskan jam istirahat di sudut kelas sambil membaca novel.Mereka memang berkawan sangat lama, Meta menjadi saksi tiap air mata yang diteteskan sang sahabat di tempat yang gelap. Tak pernah sekali pun Lyra menggerutu, biarpun keadaan makin membuatnya terpuruk. Baru saat menginjak dewasa, ia bertemu Axe dan mulai membuka diri pada dunia. Mereka sering pergi bertiga, Meta bahkan tak keberatan menjadi obat nyamuk.Kebahagian Lyra kembali, ia jadi sering tersenyum dan menceritakan kejadian yang dialami sehari-hari. Sayangnya, suka itu harus hilang kala sang kekasih memutuskan untuk berkomitmen dengan wanita lain tanpa memberitahuan terlebih dahulu. Meta amat takut jika sang sahabat akan kembali hancur. Akan tetapi, melihat undangan pernikahan itu, tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.Hari pernikahan pun tiba. Lyra harus bangun jam empat subuh untuk mempersiapkan diri. Berulang kali menguap saat berendam di bak air hangat yang bertabur aneka kelompak bunga. Netranya bahkan terpejam, membiarkan para pelayan memijat kulit putihnya dengan lulur mandi. Ia tak menunjukkan ketertarikan di momen yang normalnya terjadi seumur hidup sekali. Baginya ini hanyalah acara formal yang mengatarkan ke gerbang impian. Hingga selesai pun, ekspresinya masih datar. Sang model berdiri di depan cermin yang setinggi dirinya, menatap bayang rupawan bergaun putih nan panjang. Selanjutnya, tim make up profesional mulai memoles wajah putri Burhan. Bulu mata palsu turut dilekatkan, menambah kesan lentik. Sayang sekali, ia tak takjub sekalipun semua yang ada di ruangan tersebut berdecak kagum. Setelah selesai, Lyra kembali memastikan jika riasan itu sudah sesuai seleranya. Ia pun beranjak. Seorang ajudan memegangi tangannya, kala bidadari dunia itu berusaha mengenakan heels berhiaskan permata
Segera Lyra memalingkan wajah. Suaminya pun kembali tersenyum melihat ekspresi tersipu itu. Meski telah melewati malam bersama, sang menantu keluarga Grason belum terbiasa dengan sentuhan yang diberikan. Ia memang tak menyukai semua itu, lebih tepatnya belum. Bahkan ketika bersama Axe pun, nyaris tak ada kontak fisik berlebihan di antara keduanya. Sontak suana menjadi teramat canggung. Beruntung gawai Vindra bergetar. Pria beralis tebal itu langsung menjauh untuk menerima panggilan. Lyra pun menghela napas, lalu lanjut membaca kontrak setebal dua belas halaman. Ia teramat teliti. Dipastikan jika tak ada hal yang merugikan, barulah ia memberi tanda tangan. Setelah itu, dirinya mengecek ponsel. [Ra, kau pasti belum membuka hadiahku, 'kan?] tanya Meta melalui pesan singkat. Penerima pesan lantas tersenyum. [Belum. Memang apa isinya?][Bukalah! Kau pasti akan mentukainya, itu adalah barang kesukaanmu.]Putri Burhan merasa penasaran. Ia menatap puluhan kado yang berjejer di sudut kamar d
Lyra amat cepat beradaptasi. Kebiasaannya melakukan semua dengan sempurna menjadikan kontrak ini tak sekadar mainan. Ia ingin menghilangkan seluruh keraguan yang ada dalam benak anggota keluarga Grason yang lain. Menjadi menantu ideal, istri yang dapat diandalkan, sekaligus wanita karir yang sukses adalah sesuatu yang harus diwujudkan demi memenuhi ambisi. Vindra pun tersenyum, dipenuhi mood positif setelah mendapat morning kiss. Ia bertaruh dalam hati bila ini akan menyenangkan. Sayangnya Diana masih berusaha mencari cela dalam hubungan sang anak tiri. Ia yakin bila pernikahan tersebut hanyalah taktik agar bisa lolos sebagai pemilik perusahaan yang lama dikembangkan oleh Malik, suaminya. Biar kata Romi adalah putra sulung, tapi kasih sayang Malik tetap dikuasi Vindra. Sebab, mendiang ibunya merupakan sosok tegar yang menemani Malik meniti karir dari nol usai mengalami kebangkrutan. Tentu saja ini tak akan bisa disaingi oleh Diana, sekalipun ia istri sah pertama. Ia teramat membenci
Lyra merasa tercekik. Ia memiliki fobia terhadap kesendirian di tengah gelap. Berulang kali jarinya meraba tembok, sementara tangan lain memegangi dada. Rasa cemas membuatnya lupa untuk menyalakan sorot ponsel. Kaki jenjangnya pun menabrak tempat sampah di sudut ruangan, membuat keseimbangan goyang. "Aaa!" teriaknya saat merasakan sebuah benturan. Beruntung, seseorang menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Gemuruh petir kembali datang. Sekelebat cahaya menyambar langit, membuat ruangan terang untuk beberapa saat. Lyra langsung memeluk tubuh di depannya. Ia berusaha yakin bila itu adalah sang suami yang akhirnya teringat akan dirinya. "Tenanglah, aku sudah meminta supir untuk mengecek sambungan listrik. Ayo, bangun," ajaknya lembut sambil memegangi lengan Lyra. "Ti-tidak, aku terlalu takut." Wanita itu sampai menggigil, ia sama sekali tak memiliki kekuatan untuk beranjak dari posisi. Bahkan kakinya lemas. "Baiklah, jangan khawatir." Vindra lantas mendekap putri Burhan. Ia bersadar p
Surya bersinar amat terang, menembus sela-sela gorden yang terbuka separuh. Pagi itu, sepasang sejoli beranjak untuk pulang ke rumah pribadi. Lembut Vindra memegangi sang istri dan menuntunnya menuju balkon. Ia menarik kursi, memastikan jika Lyra tak mengalami kesulitan berarti untuk duduk. "Tunggulah di sini, aku akan ambil sarapan." Usai mengatakan hal tersebut, anak Malik menuju pintu. Asistennya telah menanti di depan kamar bersama seorang pelayan yang bertugas mengantarkan makanan. Meja beroda pun didorong Vindra menuju balkon. Sejenak dirinya terperanjat kala mendapati sosok putri Burhan yang duduk terpejam, menikmati petrikor yang memberi rasa tenang. Namun, jantungnya malah berdebar kencang. Adik Romi seperti melihat malaikat berbaju tidur putih. Segera pria berpostur tegap itu mengalihkan fokus. "Apa kau yakin hanya makan salad? Aku menyuruh mereka memasak beberapa menu. Ada nasi goreng kesukaanku juga."Lyra membuka netra. "Ya, sayuran memiliki kadar lemak dan karbohidrat
Sigap investor itu mengambil kertas tersebut, lalu membacanya. Seulas senyum pun menghiasi wajah yang berseri. "Anda sangat teliti, Pak. Saya menyukai projek ini." "Terima kasih, jadi kita sepakat?" balas Vindra turut tersenyum pula. "Tentu saja, hubungi sekertaris saya jika ada berubahan dalam kontrak." Kedua pria berjas itu pun bangkit dan berjabat tangan, diikuti oleh anggota rapat lain. Romi sekilas melirik berkas yang tergeletak di depan Andrian, jelas menunjukkan jika 80% tanah di Desa Kembang telah sang adik miliki. Itu berarti kesempatan Grason's Company untuk mengambil alih lahan luas tersebut menjadi kian besar. Memang itu berita yang bagus. Namun, tetap saja gundah kian menerkam hati Romi. Putra Diana menatap adiknya yang tampak sumringah. Ia merasa jika usahanya dalam menarik perhatian investor kali ini pun gagal, anak kesayangan Malik sudah pasti akan memonopoli kekuasan yang harusnya menjadi bagian Romi. Namun, tak masalah, sejak awal Romi memang tak begitu tertarik
"Aduh, Anak cantik. Jangan menangis." Kakek memberi tisu pada Lyra. "Maaf, ya. Aku malah membuat Kakek panik. Aku pulang saja kalau begitu. Permisi." Buru-buru Lyra bangun. "Tunggu, Nak. Kenapa pulang? Ayo, minum dulu tehnya." Istri Vindra menyeka air mata, lalu duduk kembali. Mereka pun mulai berbagi cerita dengan akrab. Suana kekeluargaan amat kental, sekalipun belum lama kenal. Akan tetapi, usaha tersebut membuat pasangan renta itu menerima kontrak penjualan dan resmi pindah minggu depan. Sayangnya, hal ini justru membuat Lyra sedih. Ia merasa telah memperdayai mereka. Nuraninya tak mampu melakukan itu, putri Burhan lantas mengakui segalanya. Tentang rencananya beserta sang suami yang hendak menarik empati dengan akting. Namun, mitra bicara malah tersenyum. Mereka mengaku jika telah mengetahui semuanya. Berkata jika di umur seperti ini, tak ada yang ingin mereka pertahankan, melainkan sekadar ingin tahu bagaimana cara orang-orang kaya membujuk. Mereka pasti menolak jika dipaksa
Lyra masih berkeras hati. Sejak kembali dari restoran, ia tak lagi banyak bicara. Apalagi ketika berduaan di kamar, mereka terlihat seperti pasangan yang dipaksa menikah, padahal tak saling kenal. Melihat hal ini, Vindra tentu merasa khawatir. Akan tetapi tak banyak yang bisa diperbuat. Keesokan harinya, mereka bertolak pulang ke kediaman pribadi. Sudah cukup menghabiskan hari di rumah mertua, putri Burhan kini merasa bebas. Kalimat pertama yang diucapkan adalah seruan untuk membeli ranjang baru. Oleh karena itu, siangnya kamar pengantin langsung terisi dua kasur yang bersebelahan, tetapi tersekat jarak tiga langkah. "Kau masih marah, Ra?" tanya Vindra sembari memakai kaos kaki. "Tidak, kenapa juga harus marah?" "Baguslah kalau begitu, kupikir kau marah karena aku tak membatalkan kerja sama." Lyra yang berkutat dengan maskara pun memilih untuk fokus dalam menghias diri, lalu menjawab dengan ogah-ogahan, "Itu urusanmu. Aku tak akan ikut campur lagi." "Tepat sekali, kuharap kau