Selama berjam-jam, Lyra menunggu kepulangan Vindra. Bahkan masakan yang dibuat telah dingin. Siapa sangka pria pekerja keras itu akan lembur hingga menjelang Isya. Harapannya mulai sirna, gagal sudah berterima kasih. Tak ada ide lain yang terpikirkan, tetapi mendadak terdengar langkah kaki yang berat. Sontak berdiri lalu menyapa sang suami yang telihat mengundurkan dasi.
"Akhirnya kamu pulang." Ia menunjukkan senyum yang manis.
"Memang apa pedulimu?" Buru-buru putra Malik mengalihkan pandangan kepada pelayan. "Taruh ini di ruang kerja."
"Mau makan malam bersamaku?" tawar Lyra, sungguh pantang menyerah, "aku sengaja menunggumu."
"Aku kenyang, makan saja sendiri. Lain kali tak usah menunggu, kulkasnya tak digembok sehingga kau baru bisa mengisi perut saat aku sudah pulang."
Padahal semalam pria maco itu menunjukkan sisi lembut. Sekarang ia kembali sedingin es
Lyra tak tahu bagaimana harus menghadapi Jinju. Wanita dua puluh satu tahun itu telah lama menunggu untuk bisa mendengar segalanya kepada sang senior. Namun, lagi-lagi suaminya yang mulai protektif menghancur momen tersebut. "Maaf, Kak," katanya dengan lirih. "Padahal hal buruk telah terjadi, aku malah menambah masalah Kakak." "Kenapa harus minta maaf coba? Sudahlah, aku senang karena kamu sudah datang. Pulanglah, keluargamu pasti khawatir." "Bagaimana denganmu?" "Aku juga akan pulang, jangan cemas." Jinju menepuk pundak temannya dan meyakinkan wanita tersebut untuk tidak membuat Vindra menunggu lebih lama lagi. Usai berpelukan, Lyra langsung mengambil tasnya dan keluar dari bar. Langkahnya amat cepat, membuat sang suami kesulitan untuk mengejar. Belum lagi lautan manusia yang dibelah begitu saja, ia tak menghiraukan omelan orang yang telah d
"Dari mana saja kau?" tanya Alvindra dari balik sofa. Ia sengaja terjaga pukul dua dini hari untuk menunggu Lyra. "Bertemu teman." Singkat jawaban yang diberikan oleh wanita berkardigan maroon. "Bertemu kekasihmu? Jangan lupa, Ra. Kau ini masih istri orang. Sampai aku mendapatkan warisan, aku tak akan biarkan lelaki mana pun mendekatimu." Alvindra mengatakan itu sambil mendekat ke sang istri. "Memang apa yang sudah kamu berikan sehingga bisa berkata seangkuh itu?" Lyra menatap tajam. "Lupakan saja, aku tak mau membuat reputasimu makin merosok dengan bertengkar di hadapan para pelayan." "Tunggu!" Alvindra memegang tangan mitra bicara. "Jangan coba mengalihkan perhatian, Ra. Para pelayan sudah kusuruh pergi. Jadi, dari mana kau?" Lyra tertawa lalu membenahi posisi kemeja yang dikenakan sang suami. "Untuk apa bertanya jika sudah tahu jawabannya. Kamu pikir aku sangat bodoh sampai tak tahu jika diikuti. Harus kuakui, Al. Kamu sungguh perhatian, tapi bukan begini caranya." Ia mendor
Lyra menunjukkan senyum sinis, telinganya pasti telah rusak sehingga mendengar hal yang salah. Ia amat berharap jika pria yang ada di hadapannya bukanlah Vindra yang terbiasa bersikap manis. Sayangnya, sosok pria yang berkacak pinggang terlalu angkuh, sementara sang model tidak tahan dengan orang-orang angkuh. Enggan menyaksikan adegan yang menguras emosi, Lyra pun memilih untuk pergi. "Mau ke mana kau?" tanya Alvindra kala istrinya berjalan menjauh, tetapi tak mendapat jawaban. "Lyra! Aku bicara padamu." Intonasi yang semakin meninggi. Penerus keluarga Grason kini mencapai puncak amarah. Vindra sama sekali tak merasa menyesal atas perlakuan buruk yang ditunjukkan tanpa alasan yang jelas, mengingat dirinya berpikir jika memiliki hak untuk melampiaskan kekesalan kala wanita yang dinikahinya malah menjalin hubungan intim bersama sang mantan. Padahal nyatanya tak demikian. Adik Romi hanya tak tahu, Lyra sama sekali tak bergairah lagi terhadap Axe. Ah, jangankan Axe. Sahabat Meta itu ta
"Hah?!" kata Lyra amat peranjat. "Jangan berani berbuat kurang ajar padaku!" "Apa kita bawa secara paksa saja?" tanya salah satunya. Mereka mulai berbisik. "Itu tidak perlu, Tuan bilang akan datang. Jadi, kami menunggu di sini bersama Nyonya." Body guard itu pasti gila, mana mungkin Lyra membiarkan ketenangannya diusik lagi setelah susah payah berdamai dengan keadaan. Namun, tak banyak yang bisa diperbuat. Para pria berotot itu tak membiarkannya pergi, tak pula memperbolehkan pintu ditutup. Jadilah sahabat Meta beradu argumen dan mengatakan jika itu tindak kriminal. Tentu saja mereka tak gentar. Kesetiaan mereka sudah melebihi anjing. Di tengah omelan yang memekakkan telinga, muncul Alvindra yang berjalan tertatih melewati koridor hotel. Pria kaya itu bahkan butuh bantuan seorang pengawal untuk menjaganya tetap tegak. Sudah pasti ia telah minum lebih dari batas kemampuan. Namun, memaksakan diri untuk datang. Meski begitu, Lyra tak terkejut. Ia sudah menduga jika posisinya pasti a
Terima kasih banyak untuk para pembaca KDC, sesungguhnya penulis sangat senang dengan kehadiran kalian. Saya pun berusaha untuk melanjutkan buku yang telah hiatus selama empat bulan ini, tetapi kesibukan di dunia nyata mengalahkan keinginan saya (tetap saja, saya mencintai kalian). Dan, ya, saya sebenarnya sedikit terkejut saat tahu ada yang masih mau membaca cerita ini. ^^ Maaf sekali, saya pun benci jika harus membuat kalian kecewa. >.< Bukan maksud saya membuat kalian menunggu. Namun, saya akan berusaha melanjutkan cerita Lyra dengan lebih baik lagi di penghujung tahun 2021. Sekali lagi saya meminta maaf. Terima kasih telah menyukai karya saya yang jauh dari kesempurnaan ini. Salam sayang dari Rainey Alta, serta Lyra dan Alvindra~ Kalian semua luar biasa~ ^^
Lyra tersenyum. Ia merasa jika pria di hadapannya adalah orang yang sangat bodoh. Setelah salah paham dan membuat kekacauan, kini dirinya malah meminta pertolongan dari putri Burhan. Namun, kali ini Lyra tak akan mengikuti permainan Vindra. Alih-alih membantunya mandi, wanita tersebut berganti baju dan meninggalkan kamar. Ia menyerahkan semua urusan pada para bodyguard yang terlihat lesu bergadang semalaman. "Rawat tuanmu dengan benar, suruh dia ke restoran hotel saat siap. Tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama," ucapnya sebelum pergi. Sontak para bodyguard membantu Alvindra. Mereka membawakan obat pereda mabuk dan baju baru. Sekalipun Vindra harus menahan mual, ia tetap mendatangi sang istri. Untuk kesekian kali, dirinya terhipnotis oleh sosok elok yang mengalahkan bidadari. Seperti obat, ia bahkan sadar dari mabuk begitu melihat Lyra. Hanya dengan mencium aroma parfum wanita itu dari jauh, rasa bahagia membucah dalam hati Vindra. "Cantik, apa aku membuatmu menunggu lama?""
Lyra berjalan dengan anggun, menyusuri koridor menuju ruangan sang atasan. Setelah mengetuk pintu dan mendapat izin, dirinya masuk. Sambil tersenyum riang, wanita berbaju biru dongker itu duduk tegap, menatap langsung ke mata pria yang ada di hadapannya, seolah menerka apakah hal yang akan ia bahas ini mendapat sambutan yang baik atau tidak. "Kau tak ingin mengatakan apa pun?" tanya Rendra yang merapatkan jari-jarinya di atas meja. "Aku yakin kau mendatangiku bukan sekadar untuk minum kopi dan berbasa-basi.""Aku sudah memikirkannya," kata Lyra, lalu memandang ke arah jendela. "Aku tak sudi melakukan hal kotor untuk kedua kalinya. Terlebih karirku sedang bagus, jadi untuk apa aku menjadikan model junior sebagai batu pijakan?""Kau percaya diri sekali." Pria bersetrlan silver itu mencodongkan tubuh ke arah mitra bicara. "Jangan membual di depanku, kau pasti punya rencananya yang lebih baik dari yang kumiliki. Atau setidaknya jaminan kalau Micella (brand parfum terkenal) dan Amora (tok
Violet tak menyangka jika reaksi Meta akan seperti ini. Ia sudah amat percaya diri, menganggap jika keinginannya akan dikabulkan hanya dengan mengatakan beberapa kata manis sambil tersenyum. Ia juga meremehkan Meta yang terkenal baik pada semua orang. Namun, melihat bagaimana rencananya hancur, kekasih Axe menyadari jika tak semua hal berjalan sesuai kehendaknya. Dirinya tak lagi berada dalam wilayah kekuasaan sang ayah. J.D Entertainment bukanlah tempat di mana dirinya bisa berlaku seenaknya. "Maaf karena mengecewakanmu, tapi tenang saja. Ada beberapa tawaran iklan yang kurasa cocok untukmu," ucap Meta dengan senyum lebar. Ia menyodorkan beberapa lembar kertas berisi tawaran kontrak. Violet langsung menerima kertas tersebut tanpa berucap. Namun, matanya kembali terbelalak tatkala melihat jika semua tawaran yang diajukan berasal dari brand yang bahkan tak pernah dijumpai saat menonton TV. "Apa-apaan semua ini?" tanyanya dengan mata melotot. "Apa ada masalah?" Sahabat Lyra pun