Pernikahan itu berjalan dengan lancar. Terlihat beberapa tamu undangan menikmati makanan yang telah disediakan oleh Kiano. Memang hanya beberapa orang saja, tapi pernikahan itu berjalan lancar.
Setelah semua tamu undangan sudah pulang semua.
“Ingat saya nggak mau sekamar dengan bapak! No Sex!” Danilla memperingatkan dengan nada jutek. Ia pun melotot ke Kiano. “Meskipun, kamu adalah suami saya!”
“Ya,” singkat Kiano dengan nada dingin.
“Sial! Cuman ‘Ya’ doang! Apa lidahnya sudah tertelan? Atau dia emang manusia es! Eh lebih tepatnya zombie dalam jiwa manusia,” Danilla mengucap dalam hat
Apakah Kiano berhasil menuruti Danilla untuk membelikan seblak bandung dan asinan bogor? Temukan jawabannya di Second Woman Next episode. Selamat membaca.
“La, apa kamu sudah selesai?” tanya Danilla.“Saya sudah siap Pak!” balas Danilla dengan anggukan.“Danilla, kamu sebaiknya jangan panggil saya, Pak. Emangnya saya bapak kamu?!” protes Kiano.Danilla pun nyengir,”Ya, enggak bisalah. Bapak itu lebih tua dari saya. Mana mungkin saya memanggil dengan sebutan selain, Pak?”“Panggil saya dengan sebutan mas saja. Lagian kita sudah menikah.”“Iya, tapi cuman sementara dan nggak akan menjadi selamanya,” ralat Danilla.“Baiklah, terserah kamu saja,” ujar Kiano dengan nada datar.“Pak, saya sudah lapar banget! Sepertinya anak bapak ini pengen cepet-cepet makan seblak di Bandung,” Danilla mengedip-kedipkan kedua matanya sambil mengusap-usap perutnya yang masih rata.“Okay, kita ke Bandung,” kata Kiano dengan ekspresi sangat datar sekali.
Cuaca kota Bandung begitu dingin. Bahkan sangat sepi dan sunyi. Akbar pun tetap melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Ia pun menengok ke sebuah tempat, lalu ia mendapati sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan. Di sana terlihat perkelahian.“Sepertinya dia butuh bantuan. Kasihan kalau harus melawan sendirian,” gumam Akbar yang memutarkan mobilnya dahulu. “Sepertinya aku mengenal nomor plat mobil itu? Tapi, di mana ya?”Akbar pun mulai menuju ke sana, lalu ia menepikan mobil sedan hitamnya. Ia pun keluar dan langsung melakukan sebuah tendangan bebas ke beberapa preman. Kebetulan Akbar dulu pernah mengikuti muangthai sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Ia pun mulai melakukan ancang-ancang.“Kamu?” pekik mereka bersamaan.“Udah, kita sekarang nggak ada waktu untuk berdebat. Sebaiknya kita kerjasama melawan mereka,” ucap Akbar sedikit mengumam. Ia hanya ingin membuat beberapa preman itu menyerah.Kiano dan Akbar saling memungung
Selama perjalanan pulang Danilla makin asyik mengobrol dengan Akbar. Kiano menatap tajam dari spion kaca mobil. Wajah Kiano terlihat begitu garang. Dia mulai mengerutkan kedua alisnya. Dia mulai mengertakkan giginya. “Bapak kenapa ngelihatin kita sampai segitunya?” tukas Danilla. “Nggak apa-apa,” jawab Kiano dengan mengembuskan napas berat. Ia mulai mengertakkan rahangnya yang kokoh. Ia berusaha menyembunyikan amarahnya. “Dia kenapa ya?” tanya Akbar sedikit berbisik. “Udah cuekin aja dia,” jawab Danilla dengan memutar bola matanya. Ia seolah enggan membahas pria yang sedang duduk sendiri di bangku belakang. “Kita memang sah sebagai s
Sebuah perasaan kagum yang terlihat di kedua mata Reihan tentang perempuan pemilik hati bagaikan bidadari tak bersayap. Cinta yang semurni berlian terlihat begitu pekat bahkan sinarnya begitu sangat terang sekali. Pesonanya membuat hati Reihan dimabuk panah asmara. “Seandainya saja aku bisa memiliki perempuan seperti dia. Mungkin aku akan setia seutuhnya demi dia.” Reihan begitu berdebar-debar jantungnya. Ketika menatap perempuan seperti Vira. Perempuan yang hampir punah di dunia ini. Bagaimana bisa dia melakukan semua itu dengan kata ikhlas. Ia juga sabar menghadapi pria sedingin Kiano yang selalu mengaggapnya tidak ada sama sekali. Dia memang perempuan yang sangat berbeda. “Dulu aku mengira kamu menerima lamaran dari keluarga Rayn untuk menikah dengan Kiano untuk bisa menjadi pewaris tunggal di keluarga Rayn. Karena kekayaan keluarga Rayn tidak akan pernah habis hinga tujuh turunan sekalipun. Tapi sayan
Kesunyian malam yang begitu panjang. Aroma cinta itu mulai menyerua ke udara hingga membuat perasaan tercampur aduk. Sebuah kata tanya itu mulai hadir menyapa dalam jiwa yang sepi. “Mungkinkah aku jatuh cinta kedua kalinya?” pikir Kiano yang sedang setia menunggu Danilla yang tertidur lelap dalam sebuah ranjang. Ia pun menatap wajah ayu nan cantik perempuan yang dia nikahi secara sembunyi-sembunyi. Dia pun mulai membelai rambut lembut hitam pekat milik Danilla. Perempuan itu sama sekali tidak terganggu. Efek kelelahan membuatnya tertidur pulas di atas ranjang tanpa menghiraukan Kiano sama sekali yang mengusap-usap perut buncit Danilla yang kehamilannya sudah menginjak minggu ke - 28. Kiano merasakan sebuah tendangan kecil di perut Danilla. Ia merasakan kalau bayi dalam kandungannya tahu dia adalah calon ayahnya kelak. Ia pun mengecup kening Danilla, “Aku ber
Tidur di siang bolong memang paling enak. Apalagi sambil dengerin musik lagu-lagu klasik yang membuat makin mengantuk. Danilla seharian ini menghabiskan waktu untuk tidur dan ngemil. Ia tidak peduli dengan hal apapun. TOK! TOK! TOK! “Astaga, jam segini kenapa masih ada yang mengetuk pintu rumah keras sekali!” gumam Danilla sambil menguap berulang kali. “Ke mana semua pelayan yang biasanya sudah siap membukakan pintu?” Danilla pun terpaksa turun dari sofa ruang tamu. Ia pun mulai menampakkan kedua kakinya di atas lantai marmer. Kedua kakinya mulai berdiri dengan berjalan tertatih-tatih. Ia merasakan tubuhnya sangat berat sekali. “Aduh, ternyata jadi orang hamil i
Danilla masih belum sadarkan diri. Dia segera dilarikan ke rumah sakit. Pelayan sudah memanggilkan mobil ambulan untuknya. “Tuan, mobil ambulannya sudah datang,” ujar salah satu pelayan. Kiano pun segera mengendong Danilla ala bridal style. Ia terlihat sangat mencemaskan kondisi Danilla. Ia berharap kalau Danilla dan bayinya akan baik-baik saja. “Semoga kamu baik-baik saja, La. Aku nggak ingin kamu kenapa-kenapa,” batin Kiano sambil membawa Danilla menuju ke mobil ambulan. Danilla pun di masukkan ke dalamnya. Beberapa perawat mulai menanganinya. Kondisi Danilla terlihat sangat lemah sekali hingga harus terus dipantau dengan beberapa tim medis di dalam
“Apa yang harus aku lakukan?” sebuah kata tanya tanpa sebuah jawaban yang pasti. Vira pun hanya menatap sebuah mendung. Hingga air matanya jatuh lalu terurai begitu saja. “Sungguh kenyataan ini betapa pedihnya. Secarik kertas dalam sebuah perasaan. Aku mencintaimu tapi kamu tidak bisa mencintaiku. Apa dia yang kamu cinta?” Vira melihat semua itu dari jauh. Ia merasakan sebuah luka yang begitu sangat dalam. Ingin rasanya ia berlari dari sebuah kenyataan yang ada. Air matanya terjatuh begitu saja. Ia mulai menarik napas perlahan-lahan. “Sungguh berat hubungan yang berstatus, namun terasa tanpa sebuah status. Aku adalah istrinya namun berasa sebagai orang asing dalam sebuah ikatan pernikahan.” Vira pun berlari dengan berurai air mata di kedua pelupuk matanya.&