Share

Entah Siapa Yang Bodoh

“Jadi kamu udah tau kan tugas dan peran kamu sebagai istri saya itu apa?” Pandu bertanya saat mereka berada dalam perjalanan mengantarkan istri barunya ke komplek perumahan sederhana di pinggiran kota. Ghiana bilang perumahan itu adalah lokasi yang cocok untuk menyembunyikan keberadaan Maira, gadis desa yang baru saja di nikahi Pandu beberapa saat yang lalu.

“Udah pak. Saya Cuma perlu kasih satu penerus untuk keluarga bapak, abis itu saya dapet uang. Iya kan?”

“Hmm, kamu enggak keberatan?”

“Maksudnya?”

“Kalau kamu melahirkan anak saya nanti, kamu enggak akan penah bisa ngeliat anak itu. Karena dia akan menjadi milik saya dan Ghiana. Kamu siap?”

“Saya siap pak. Sejak awal ibu Ghiana udah ngasih tau saya soal itu dan saya enggak merasa keberatan.” Jawab Maira setelah diam beberapa saat.

“Apa yang Ghiana janjiin untuk kamu?”

“Sawah di kampung sama sejumlah uang. Bu Ghiana juga bilang akan kasih saya uang tunjangan selama saya jadi istri bapak.” Pandu menganggukan kepala, laki-laki itu mengerti sekarang perempuan macam apa yang sudah di nikahinya.

“Pak?” Maira bertanya takut karena Pandu tiba-tiba saja tertawa, supir di depan kemudi juga melirik dari spion tengah, penasaran.

“Hahahahaha maaf, kamu pasti kaget.”

“Eng, bapak enggak papa?”

“Enggak. Saya enggak papa, saya cuma tiba-tiba inget sesuatu yang lucu aja.”

“Eng, boleh saya tau apa?” Pandu tersenyum penuh ironi, matanya nanar menatap kosong ke padatnya jalan raya sebelum menjawab pertanyaan Maira.

“Saya cuma ngerasa lucu aja, dulu saya pernah kenal seorang perempuan yang rela mati demi mempertahankan anaknya. Tapi kamu, dengan gampang nukar calon anak kamu nanti dengan sejumlah harta. Saya enggak tau, kamu atau perempuan yang saya kenal itu yang bodoh.”

Hening, tidak ada lagi yang berbicara. Baik Maira dan Pandu hanya diam memandang keramaian jalan, hanya suara penyiar radio yang menemani sisa perjalanan mereka.

“Ini rumah saya pak?” tanya Maira sembari mendongkakkan kepala melihat rumah satu lantai yang jauh lebih besar di bandingkan rumahnya di desa.

“Iya, ayo masuk. Biar Udin yang bantu bawa barang-barang kamu ke dalam.”

Pandu masuk lebih dulu, sama sekali tidak peduli pada Maira yang kelihatan sangat takjub melihat rumah pemberian Giana untuk perempuan itu.

“Kamu akan tinggal sendiri di sini, dan saya cuma bakal dateng di waktu-waktu tertentu. Jadi kamu enggak perlu nunggu saya.”

“Eng, kalau bapak dateng saya enggak lagi di rumah gimana?”

“Saya akan ngabarin kamu kalau mau dateng.”

“Em, tapi saya enggak punya ponsel.” Ucap Maira, perempuan itu mengucapkan kalimatnya dengan tegas. Sama sekali tidak ada rasa ragu atau malu. Pandu kembali memberikan senyum penuh ironi menyadari bertapa matrealistis perempuan desa yang di pilih oleh Ghiana sebagai istri ke duanya itu.

“Besok malam saya jemput, kita beli ponsel sama-sama.” Maira menganggukkan kepala. Setelahnya Pandu meninggalkan Maira di rumahnya setelah memastikan perempuan itu tidak lagi membutuhkan sesuatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status