Share

Peringatan

Ghiana menatap komplek sederhana yang sore hari ini kelihatan sangat ramai dari balik kacamata hitam yang di kenakannya, nyonya keluarga Sore itu menjadi pusat perhatian karena gaya dan juga parasnya yang sangat mencolok. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu masih tampak modis dengan atasan crop top kemben model ruched tanpa tali berwarna putih, dan bawahan celana cotton berwarna hitam panjang.

“Cari siapa bu?” Ghiana membuka kacamatanya, memperhatikan ibu-ibu tambun yang juga terang-terangan menilai penampilannya.

“Maira, saya nyari dia.”

“Oh mba Maira, penganten baru itu ya? ibu saudara suaminya?”

“Suami?”

“Iya, suaminya mba Maira. Dia orang kaya, ibu juga keliatan kaya. Jadi ibu ini siapanya suami mba Maira?” Lagi si ibu tambun memperhatikan penampilan Ghiana dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Ibu kenal suami Maira?”

“Loh iya dong, kan tetangga. Tapi suami mba Maira itu jarang di rumah sih, ya saya sih ngerti. Orang kaya pasti sibuk, kemaren aja suaminya mba Maira dateng malem-malem buat jemput mba Maira belanja doang.” Si ibu dengan semangat berbagi cerita.

“Mba Maira di belanjain macem-macem. Saya liat waktu mereka turun dari mobil mba  Maira bawa tentengan banyak banget, abis itu suaminya pergi lagi.”

Ghiana hanya menganggukan kepala, perempuan itu tidak lagi menanggapi ibu tambun yang masih sibuk bercerita tentang seberapa banyak belanjaan Maira kemarin malam. Ghiana hanya melongos kemudian berjalan menghampiri rumah sederhana yang ia berikan untuk istri rahasia suaminya.

“Loh bu Ghiana?” Maira yang membuka pintu terkejut, perempuan itu spontan melongokan kepala mencari orang lain yang mungkin saja datang bersama Ghiana.

“Kamu enggak mau nyuruh saya masuk?”

“Eh, maaf ibu. Silahkan.” Maira sedikit memiringkan tubuhnya, mempersilahkan Ghiana masuk dan menutup pintu rumahnya setelah yakin kalau tidak ada orang lain yang datang bersama istri pertama suaminya itu.

“Silahkan duduk bu, di minum dulu ini.”

“Pandu udah kesini berapa kali?” Ghiana langsung bertanya, tanpa mau repot-repon duduk di sofa sederhana yang kelihatan sangat norak di matanya. Istri pertama Pandu itu juga sama sekali tidak mau menyentuh teh hangat yang di suguhkan oleh Maira.

“Pandu udah ke sini berapa kali?!” Lagi perempuan itu bertanya karena Maira tidak juga menjawab pertanyaannya.

“Eng, baru dua kali bu.”

“Kemaren kalian kemana aja?”

“Ke mall, bapak beliin saya ponsel sama baju baru.” Ghiana memperhatikan pakaian Maira yang memang berasal dari salah satu merek pakaian terkenal dari prancis.

“Maira, saya memang meminta kamu menikah sama suami saya. Tapi bukan berarti saya mau berbagi kasih sayang suami saya sama perempuan seperti kamu.”

“Maksud ibu?”

“Saya mau kamu lebih tau diri, jangan terlalu tamak sampai berani menginginkan suami saya.”

“Saya enggak begitu bu, sekalipun saya enggak ada kepikiran untuk ngerebut pak Pandu dari ibu.” Ghiana mengangguk-anggukan kepala, perempuan itu masih terus menatap Maira dengan pandangan tidak suka.

“Saya enggak mau kejadian kemaren ke ulang lagi Mai, kamu enggak bisa seenaknya pergi sama suami saya. Inget tugas dan peran kamu di sini apa, jangan ngelunjak!”

“Iya bu.”

“Jangan banyak tingkah kamu, atau keluarga kamu di kampung enggak akan lagi bisa makan.”

“Iya bu.”

 “Jangan bikin saya marah Mai, karena bukan cuma kamu perempuan yang bisa saya beli untuk melahirkan keturunan untuk keluarga saya.”

Bisik Ghiana sebelum dengan anggun mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan pergi meninggalkan rumah Maira.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status