Pandu mengerjapkan mata, berusaha beradaptasi dengan keadaan sekitar. Melihat pakaian dan juga botol dan gelas wine yang berserakan di lantai membuat laki-laki itu yakin bahwa ia benar-benar sudah kembali ke dunia nyata. Dunianya tanpa Laras dan juga putri mereka.
“Selamat pagi tuan, nyonya nyuruh saya mastiin tuan Pandu mau makan di meja makan atau di tempat lain pagi ini.”
“Di ruang makan aja, siapin kopi saya.”
“Baik tuan.”
Pandu menganggukan kepala kepada pelayan yang membungkuk, kemudian Laki-laki itu pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Padu membiarkan air dari shower mendinginkan kepalanya yang terasa panas.
“Drt..drt..drt…”
Pandu mengambil ponselnya sembari mengeringkan rambut, ada satu notofikasi pesan dari nomor asing. Orang asing itu juga tidak menggunakan foto sebagai tanda pengenal, tapi dari isi pesannya laki-laki itu bisa menerka-nerka siapa si pengirim pesan.
“Pak?”
“Duh, ini masuk enggak sih pesannya? Kok enggak di balas-balas.”
“Pak Pandu?” Pandu mendengus, hanya ada satu orang bodoh yang akan mengirimi Pandu pesan seperti itu. Maira.
“Ada apa?” balas Pandu cepat.
“Syukurlah di balas, saya kira ponsel bapak eror jadi enggak bisa bales pesan dari saya.”
“Kenapa harus ponsel saya yang eror? Bisa aja masalahnya ada di ponsel kamu.”
“Enggak mungkin, ponsel saya ini baru dan lebih bagus dari punya Sari. Jadi enggak mungkin cepet eror, hehehe.” Pandu sedikit menaikan bibir, perempuan desa yang di nikahinya beberapa waktu lalu memang bodoh bukan main. Sikapnya terkadang polos dan nyaris naif, mirip seseorang.
“Jadi, ada apa?”
“Oh iya lupa, bapak sih ngajak saya ngobrol yang enggak-enggak.”
“Ada apa Mai?” Pandu kembali bertanya, enggan menanggapi sikap tidak jelas Maira.
“Saya cuma mau ngasih tau, kalau saya udah selesai datang bulan. Bu Ghiana minta saya laporan kalau udah selesai dateng bulan, tapi saya enggak tau gimana caranya ngehubungin bu Ghiana. Jadi tolong sampein ya pak.” Pandu membaca pesan yang di kirimkan Maira dengan lebih seksama, kurang lebihnya laki-laki itu memahami apa inti dari laporan yang istri ke duanya itu berikan.
“Ok.” Balas Pandu singkat, Laki-laki itu kemudian menuruni tangga menuju ruang makan sembari bersiul riang. Pandu bersiap untuk kembali mengusik ketenangan istrinya.
“Kamu keliatan seneng mas.”
“Oh, iya. Maira baru aja kasih aku kabar bahagia.”
“Maira? Dia ngehubungin kamu?” Tanya Ghiana sembari meremas sendok supnya dengan geram.
“Iya, dia bilang enggak tau gimana caranya ngehubungin kamu. Makanya dia nyari aku.”
“Dia bilang apa?”
“Dia bilang, hari ini udah selesai datang bulan.” Pandu melirik Ghiana yang seketika terdiam, perempuan itu jelas mengerti apa maksud pesan istri rahasianya itu.
“Jadi kayaknya aku enggak akan pulang dalam beberapa hari ini.”
“Mas, kamu cuma perlu tidur sama dia sekali. Abis itu kita liat dia hamil atau enggak.”
“Aku tidur lebih dari sekali sama kamu Ghi, tapi sampai sekarang kamu masih belum juga kasih aku keturunan. Gimana mungkin aku bisa ngarepin Maira bisa langsung hamil cuma dengan sekali tidur bersama.”
“Mas!”
“Orang-orang bilang itu karma Ghi, dulu kamu ngebunuh bayi ku dan Laras. karena itu sekarang tuhan enggak mau ngasih kamu bayi, karena dia tau kamu sama sekali enggak kompeten sebagai seorang ibu.”
“Mas!”
“Sttt, aku pergi dulu ya. oh iya, jangan tunggu aku. Hari ini dan beberapa hari kedepan aku enggak akan pulang.” Pandu melangkah keluar, meninggalkan Ghiana yang mengamuk di meja makan tanpa mau sama sekali menoleh.
“Loh, pak Pandu? Kok kesini enggak bilang-bilang dulu?”“Sejak kapan saya harus bilang dulu kalau mau datang ke rumah saya sendiri?”“Ini rumah saya, bu Ghiana yang minjemin.” Jawab Maira dengan bibir mengerucut maju.“Kamu masak?” Tanya Pandu, laki-laki itu jelas sama sekali tidak peduli dengan rajukan istri ke duanya.“Iya, tapi bapak enggak boleh minta.”“Siapa juga yang mau minta, saya bisa beli makanan di luar.” Jawab laki-laki itu dengan dingin.“Bagus deh, malam ini saya bener-bener masak cuma untuk satu porsi soalnya.”“Bikin apaan?”“Ramen. Hehehe.”Pandu mengikuti Maira yang berjalan ke dapur rumah perempuan itu yang sederhana, perempuan itu mengangkat tutup pancinya. Seketika Pandu bisa mencium aroma gurih makanan dan pedasnya bubuk cabai.“Itu ramen?” laki-laki itu pernah memesan rame
Pandu mengusap perutnya kekenyangan, sementara Maira sibuk mencuci piring. Istri rahasia Pandu itu sempat merajuk karena Pandu menghabiskan seluruh isi ramen di dalam panci, Maira baru berhenti merajuk setelah Pandu berjanji akan membawa perempuan itu pergi makan enak besok.“Mau kemana?” Tanya Pandu begitu Maira menenteng bantal dan selimut ke luar kamar.“Tidur.”“Tidur?”“Iya, tidur pak.”“Kamu mau tidur dimana?”“Tuh,” Maira menunjuk sofa ruang tamu dengan dagunya.“Yang bener aja! Saya enggak mau tidur di sofa.”“Emang siapa yang nyuruh bapak tidur di sofa, kalau bapak mau di kamar ya silahkan. Yang jelas saya mau di sofa aja, enggak kuat kalau tidur di kamar.”“Enggak kuat?”“Iya, kamarnya dingin banget. Yang kotak putih panjang itu loh pak, kayaknya itu rusak. Jebol jadi bikin kamar dingin bange
Pandu terbangun dengan seluruh tubuh yang menjeritkan kepuasan, di sampingnya Maira masih bergelung di dalam selimut. Mata laki-laki itu mengelilingi kamar yang sekarang dalam keadaan berantakan, Maira berhasil membuat laki-laki itu lepas kendali. Hal yang sama sekali tidak pernah di alami Pandu jika bersama Ghiana.“Ibu..” Maira bergumam sembari mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, perempuan itu hanya menyisakan bagian wajah yang tidak di tutupi selimut. Persis bayi dalam bedongan.“Mai.”“Eng.”“Maira, saya laper.” Pandu berdecak, karena bukannya membuka mata Maira justru memutar badan membelakanginya.“Mai.”“Pak, saya masih ngantuk ini.”“Tapi saya laper.”“Bapakkan orang kaya, beli aja.” Jawab perempuan itu setengah sadar.“Oke, saya beli tapi kamu enggak boleh minta.&rdquo
Rumah keluarga Sore kelihatan ramai, pelayan hilir mudik membawa hidangan ke meja makan yang kali ini di pindahkan ke halaman belakang yang luas. Ghiana sedang membuat perjamuan, tea time bersama teman-teman sosialitanya.“Ngomong-ngomong Ghi, kemaren aku kayak liat Pandu loh di mall.”“Mas Pandu?”“Iya, malem-malem.” Teman-teman Ghiana saling melirik, bersiap mengeluarkan bom untuk mengusik nyonya besar yang angkuh.“Oh, iya. Mas Pandu memang bilang mau belikan aku sesuatu di sana, hadiah kejutan katanya.” Jawab Ghiana sembari mengulum senyum, perempuan itu mencoba berkilah.“Iya? Eng, tapi aku liat Pandu sama perempuan Ghi, keliatan kampungan sih. Tapi mereka gandengan tangan.”“Wah!”Ghiana menipiskan bibir, semua teman-temannya saling berbisik. Sesekali mereka bahkan cekikikan sambil mencuri-curi pandang kepadanya.“Masih muda juga loh Gh
“Lama banget kamu!” Semprot Pandu langsung kepada Sam, asisten pribadinya itu hanya menggumamkan kata maaf sambil menggaruk rambutnya serba salah.“Maaf pak.” Sam sama sekali tidak melakukan pembelaan, karena hal itu hanya akan membuat Pandu kesal.“Ngomong-ngomong, ini barang-barang mau di taro di mana pak?” tanya Sam sambil mengulurkan berbagai macam makanan yang di pesan oleh Pandu sekaligus mesin cuci di luar.“Bawa ke dalem, ruang cuci di belakang. Itu kamu udah pastiin mesinnya paling canggih kan?”“Iya, pak. Produk keluaran terbaru dari electrolux.”“Yaudah, kamu bawa ke dalem. Besok kamu minta orang ke sini untuk pasang jaringan internet, sekalian tv kabel ya.”“Baik pak.”“Pak, makanannya udah dateng?” tanya Maira dengan mulut yang penuh dengan mie instan, Pandu melirik Sam yang jelas terkejut.“Sam, kenalin.
“Loh, lagi pada makan?” Ghiana muncul bersama salah satu pelayan dari rumah keluarga Sore, di ikuti oleh Maira yang tadi memang pergi sebentar untuk membukakan pintu.“Hai mas, baru mau dua malem loh aku di tinggal tapi udah kangen aja.” Pandu sama sekali tidak menghindar ketika Ghiana mengecup sudut bibirnya, laki-laki itu terus saja memakan makanannya sama sekali tidak peduli dengan kehadiran Ghiana.“Malam bu Ghiana.” Sapa Sam yang langsung menyingkir dari kursinya, dan membiarkan Ghiana duduk menggantikannya.“Duduk Mai.”“Oh, tapi..” perempuan itu melihat Sam dan perempuan yang bersama Ghiana tetap berdiri, karena itu ia merasa juga harus tetap berdiri mengikuti Sam dan perempuan dengan pakaian hitam dan apron putih tersebut.“Duduk Maira.”“I..iya pak.”“Gimana Mai, lancar sama mas Pandu?” Tanya Ghiana kepada Pandu, merasa itu adalah
Pandu terbangun dan ranjang di sampingnya sudah kosong, laki-laki itu melirik jam di nakas. Pukul 06.00 pagi, sembari mengerang laki-laki itu beranjak dari kasur dan pergi membersihkan diri. Di bawah pancuran air shower Pandu memutar lagi kegilaannya semalam.“Sialan!” makinya sembari meninju tembok, Pandu sama sekali tidak tau kenapa. Tapi melihat Maira tanpa takut mengutarakan rencananya dan bahkan tanpa keberatan menukar banyinya nanti dengan sejumlah uang membuat perasaan laki-laki itu tidak nyaman.“Pagi.” Pandu terkejut, karena Maira menyambutnya dengan riang begitu pintu kamar terbuka.“Hmm, pagi.”“Mau sarapan apa pak? Nasi goreng, roti atau lontong? Tapi kalau lontong harus beli dulu ke depan.”“Nasi goreng aja.” Maira mengambilkan sarapan untuk Pandu dengan tenang, sama sekali tidak merasa kikuk meskipun Pandu benar-benar merendahkannya semalam. Sementara Ella sibuk deng
“Jadi, untuk jadwal selanjutnya bapak ada meeting di O’Resto dengan PT Buana Putra. Kira-kira bapak perlu di siapin apa?”“Pak?”“Oh, iya kenapa?”“Untuk meeting sama PT Buana Putra di O’Resti nanti, bapak ingin di siapkan apa?”“Enggak ada, kamu siapin kayak biasa aja.”“Baik pak.”“Ngomong-ngomong Dar, kamu tau perempuan itu suka luluh kalau di kasih apa?” Dara, sekretaris Pandu langsung berdiri tegak begitu mendengar pertanyaan atasannya. Selama ini Pandu tidak pernah bertanya hal seperti itu kepadanya.“Hadiah?”“Iya? Kalau kamu berantem sama pacar kamu, biasanya dia kasih hadiah apa untuk ngebujuk kamu?”“Eng, bapak lagi ada masalah sama ibu Ghiana?”“Ck, udah jawab aja.”“Ekhm, pacar saya enggak pernah kasih kado pak. Dia cuma bakal die