“Editor Vanda, kepala editor mencarimu,” ucap Cris yang baru saja keluar dari ruangan kepala editor.
Vanda hanya menganggukkan kepalanya dengan senyuman tipis. Dia meletakan tas di meja, lalu kembali berjalan menuju ruang kepala editor. Tok … Tok … Tok …“Masuk!” Vanda meraih engsel pintu dan membukanya dengan perlahan. Dia tersenyum pada Revalina, kepala editor yang memanggilnya, lalu berjalan mendekati wanita itu.“Bu Reva mencari saya?” tanya Vanda hanya untuk sekedar basa-basi. Revalina menganggukkan kepalanya.“Silahkan duduk.”
Vanda langsung duduk di hadapan Revalina. Dia sebenarnya tahu apa yang akan dibicarakan oleh kepala editornya. Revalina meletakan amplop coklat di meja, lalu mendorongnya ke Vanda. “Ini adalah royalti Trisha dari penerbit, dan itu menjadi royalti terakhirnya karena penerbit tidak akan mencetak buku komik Trisha lagi.” Vanda yang mendengar ucapan itu langsung melihat ke Revalina dengan tatapan bingung. “Kenapa? Bukannya penjualan komik Trisha satu tahun ini sangat sukses? Kenapa penerbit tidak mencetak buku Trisha lagi?” tanya Vanda yang masih belum mengerti maksud kepala editor. “Karena penerbit akan mencetak buku dari studio lain, dan kau tau? Buku itu baru setengah tahun ada di platform, tapi statistik pembacanya meningkat pesat. Bahkan mengalahkan komik yang Trisha buat sekarang,” jelas Revalina. Vanda mendengus pelan dengan tersenyum paksa pada Revalina. “Tapi komik Trisha itu mendapat peringkat tertinggi di studio ini, dan di platform pun dia mendapatkan peringkat sepuluh,” ujar Vanda dengan pembelaannya. Revalina menghela nafas panjang. Dia memberikan iPad untuk menunjukkan peringkat komik hari ini. Vanda membelalakkan matanya lebar ketika melihat komik Trisha berada di peringkat lima puluh. Wanita itu memang belum memeriksa peringkat komik Trisha hari ini, tapi tadi malam dia sudah memeriksanya. Komik Trisha masih berada di peringkat delapan, tapi kenapa hari ini peringkatnya turun drastis? “Peringkat 1 sampai 49 itu adalah genre romansa anak muda. Coba kamu baca komentar pembaca yang ada di komik ini.” Vanda mengambil iPad yang ada di tangan Revalina. Dia mulai membaca satu per satu komentar-komentar yang ada di komik milik Trisha. ‘Alur ini kenapa semakin aneh?’‘Kenapa alur ini berubah drastis?’‘Kenapa adegan romantis ini terlihat sangat aneh?’‘Apa cara menyatakan cinta seperti itu? Sangat aneh!’Begitulah komentar-komentar yang ada di komik milik Trisha. Wanita itu menghela nafas panjang dan memberikan kembali iPad itu pada Revalina.“Gambar Trisha memang sangat bagus, tapi kenapa cerita cintanya sangat buruk? Dia sudah menerbitkan beberapa komik selama satu tahun, tapi kenapa cuma buku yang berhasil masuk ke penerbit?"Vanda menggigit bibir bawahnya, kemudian mencoba memberikan pembelaan untuk sahabatnya, “Dia pernah masuk ke promosi platform yang sulit didapatkan.”Revalina tertawa kecil. “Itu karena gambar dia bagus, tapi setelah pembaca baca komik itu, apakah ada penggemar setia? Tidak ada kan?”Vanda menghela nafas panjang dengan bibir bergerak membentuk senyuman. Dia tidak bisa lagi memikirkan pembelaan untuk Trisha. “Apa sesulit itu menggambar kisah cinta remaja?” tanya RevalinaVanda menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menyengir. “Mungkin … bagi Trisha, memang agak sulit untuk membuat kisah cinta. Bagaimanapun, karya awalnya memang mengarah ke action, dan thriller.”Revalina tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Saya tidak peduli! Suruh dia membuat komik baru. Kalau dari komik ini dia tidak berhasil mendapat prestasi …” ucap Revalina memainkan rambutnya sambil tersenyum miring. “Suruh dia pergi.” Wanita itu melanjutkan perkataannya.Vanda tertegun menatap mimik wajah kepala editor yang nampak sinis. Dia hanya bisa menghela nafas panjang dengan tersenyum paksa. “Baik, akan saya sampaikan pada Trisha. Apakah ada yang perlu disampaikan lagi?" tanya Vanda seraya mengambil amplop coklat itu seraya berdiri dari duduknya. “Tidak ada."“Baik, kalau begitu saya permisi dulu,” ucap Vanda tersenyum dan sedikit membungkukkan tubuhnya sekilas, lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan kepala editor.***Wanita gemuk itu meregangkan otot setelah menyelesaikan satu chapter komiknya. Dia beranjak dari tempat duduknya sambil mengambil gelas yang ada di dalam laci. “Udah selesai, Sha?” tanya Jei, rekan kerja yang duduk di hadapannya.Wanita yang dipanggil Sha memiliki nama lengkap Trisha Azana, usianya masih dua puluh dua tahun. Mempunyai tubuh gemuk dan pipi tembam yang sering dicubiti oleh orang sekitarnya. Trisha melihatnya sekilas seraya mengangguk. “Udah, barusan. Lo belum selesai?” “Belum, kurang dikit. Lo mau bikin kopi?"“Iya, ngantuk banget hari ini.”
“Mau gue bikinin?” tawar Jei yang langsung dijawab dengan gelengan oleh wanita berusia dua puluh dua tahun itu.
“Enggak perlu, gue bisa sendiri. Gue ke pantry dulu ya,” ucapnya seraya melangkahkan kaki meninggalkan meja kerjanya. Saat Trisha sudah pergi, Vanda yang baru saja keluar dari ruang kepala editor langsung ke meja Trisha. Namun, ia tak mendapati wanita itu. “Jei, Trisha pergi ke mana?”“Pantry, Kak. Dia lagi buat kopi,” jawab Jei dengan menunjuk Trisha yang tengah mengobrol dengan temannya di pantry.“Thanks.” Vanda langsung berjalan ke pantry menyusul Trisha. Dia berdehem pelan dan membuat mereka seketika bungkam. Vanda ini adalah sahabat Trisha, dia juga menjadi editornya sekarang. Usianya lebih dua tahun dari Trisha. Umurnya sekarang dua puluh empat. Dia wanita yang tegas dan ditakuti oleh beberapa staff dan mangaka di perusahaan ini. “Ini masih jam kerja, kenapa malah ngobrol di pantry?”“Maaf, Editor Vanda,” ucap Merry sedikit menundukkan kepalanya. Trisha yang melihat Merry sedikit ketakutan langsung melihat ke Vanda dengan menggelengkan kepalanya, seakan memberikan kode agar dia tidak marah pada Merry. Editor itu hanya mendengus sambil memutar bola matanya malas. “Lain kali jangan diulangi. Kembali ke meja kerjamu. Dan kamu Trisha, ikut saya,” ucap Vanda seraya berjalan lebih dulu meninggalkan pantry. Meskipun Vanda dan Trisha berteman dekat, mereka tetap profesional saat bekerja. Vanda tetap menjadi editor yang galak, dan Trisha harus menahan diri agar tidak terlalu banyak bicara dengan Vanda saat berada di kantor.“Maaf, ya. Gara-gara gue lo bakal kena marah sama editor,” ucap Merry yang merasa bersalah. Trisha hanya tersenyum menggeleng. “Lo nggak salah, kok. Bukannya Van— eh, Editor Vanda memang seperti itu?” Merry hanya mengangguk membenarkan perkataannya. “Gue lanjut kerja dulu,” ucap Merry seraya berjalan meninggalkan pantry. Trisha hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan-gelengkan kepalanya. “Kenapa banyak yang takut sama Vanda? Padahal dia nggak galak-galak banget. Kadang galak sih,” gumam Trisha pelan seraya berjalan ke meja kerja sahabatnya. Trisha langsung duduk di hadapan Vanda sembari tersenyum. “Jangan marah-marah gitu, dong. Lo udah bikin Merry takut.”Vanda menghela napas panjang dengan menarik bibirnya membentuk senyuman paksa. “Gue cuma melaksanakan pekerjaan, Trisha!” Trisha terkekeh pelan. “Iya, deh, iya. Sekarang … lo kenapa cari gue?” Vanda langsung memberikan sebuah amplop coklat, dan itu membuat Trisha membuka matanya lebar dengan senyuman yang memperlihatkan gigi. “Dari penerbit?” tanyanya memastikan. “Iya, dari siapa lagi?” Trisha langsung memeluk amplop itu dengan ekspresi bahagia. Karena kebetulan dia sangat memerlukan uang untuk membayar uang sewa. “Itu … royalti terakhir dari penerbit," ucap sang editor.
Vanda langsung memberikan sebuah amplop coklat, dan itu membuat Trisha membuka matanya lebar dengan senyuman yang memperlihatkan gigi.“Dari penerbit?” tanyanya memastikan.“Iya, dari siapa lagi?”Trisha langsung memeluk amplop itu dengan ekspresi bahagia. Karena kebetulan dia sangat memerlukan uang untuk membayar uang sewa."Itu ... royalti terakhir dari penerbit," ucap sang editor.Trisha yang mendengar kabar itu seketika berekspresi datar. “Terakhir? Kenapa? Penerbit nggak mau cetak lagi komik gue?” tanya Trisha yang masih tidak percaya dengan ucapan sahabatnya.Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Kepala editor tadi bilang kalau penerbit mau menerbitkan komik dari studio lain. Dan gue masih ada berita buruk buat lo. Mau dengar sekarang atau nanti?” tanya Vanda dengan nada berhati-hati.“Masih ada berita buruk?” Wanita bertubuh sedikit gemuk itu kaget, dan melihat ke arah
Vanda menatap Trisha dengan tatapan tidak percaya. Apa yang selama ini ada di pikirannya itu cuma adegan bertengkar dan pembunuhan saja?“Kalau kita suka sama cowok, jantung akan berdebar waktu dekat sama cowok itu.”“Berdebar?”Vanda mengangguk. “Apa sejak dulu jantung lo nggak pernah berdebar kalau dekat sama cowok?"Trisha terlihat mengingat-ingat sembari menggigit bibir bawahnya. “Jantung berdebar … Oh! Gue inget, jantung gue selalu berdebar setiap gue lihat Ryo ada di televisi. Itu berarti gue … suka sama Ryo?” tanya Trisha dengan bersemangat.Lagi-lagi Vanda kembali menghela nafas sambil tersenyum paksa. Dia terlihat bingung bagaimana cara memberikan pengertian tentang rasa suka pada Trisha."Udah, jangan bahas itu. Lupakan saja! Gue ada referensi lain buat lo,” ucap sang editor yang membuatnya kembali menoleh.“Apa?”“Bentar.”Va
Belum juga ia membalas uluran tangan itu, dengan cepat sang lelaki menarik tangannya kembali.“Talinya,” ucapnya yang membuat Trisha mendadak canggung.“O-oh, talinya. Ini.” Trisha memberikan tali yang dia pegang pada sang lelaki dengan senyuman kikuk.Dia mengambil alih tali yang dipegang Trisha, lalu menggendong tubuh Shiro. “Apa lo harus gue gendong gini biar nggak lari lagi? Dasar merepotkan!” omelnya pada Shiro. Trisha menahan tawanya dengan merapatkan kedua bibirnya.“Ayo, pulang,” ujarnya pada Shiro. Namun, saat lelaki itu hendak melangkah, Shiro meronta meminta diturunkan dari gendongannya. Karena kekuatan Shiro lebih besar, lelaki itu kehilangan keseimbangan, dan tak sengaja sedikit mendorong tubuh Trisha.Bruk!Tubuh lelaki itu terjatuh tepat di atas badan Trisha yang sedikit lebar. Wanita yang tiba-tiba terjatuh itu pun hanya bisa merintih pelan karena kepalanya terkena batu pantai.
"Lo juga bisa gambar lelaki di cerita ini sangat tampan! Jadi … luka di siku lo …” ucapan Vanda terhenti dan melihat ke arah luka yang ada di siku Trisha. Bahkan gambar plester pada gambarnya itu sama persis dengan plester yang menempel di sikunya.Trisha tersenyum malu dengan menggigit bibir bawahnya, dan itu membuat Vanda semakin tersenyum lebar. “Jadi ini beneran kisah cinta yang nyata?” tanya Vanda yang hanya dijawab satu anggukan oleh Trisha.“Jadi, lelaki ini dan luka lo di siku …”“Semuanya nyata,” jawab Trisha dengan senyuman kikuk. “Se-selain itu … wajah aslinya jauh lebih tampan dibandingkan yang ada di gambar,” jelas Trisha dengan malu-malu.Vanda tersenyum lebar. Dia tak menyangka bahwa teman dekatnya itu akan mengalami hal ini, karena dia sangat tahu bahwa Trisha sering canggung saat bersama dengan orang lain. Vanda beranjak dari duduknya dan langsung merangkul Trisha.“Sha, sepertinya lo harus berusaha lebih mulai dari sekarang. Lo nggak b
“Ha? Orang itu tinggal di sini, kan? Bukan di Jepang ataupun China? Dia bukan tokoh beda dimensi, kan? Dan … dia belum mati, kan? Masih hidup? Bukan … Ryo, kan?” cecar Ran dengan rentetan pertanyaan.“Bukan, Ran. Dia benar-benar orang, dia masih hidup, dia bukan dari dimensi lain, dan tentu saja dia … bukan Ryo! Kenapa jadi bawa-bawa Ryo? Dia aktor, mana mungkin dia mau ketemu sama gue yang gemuk ini?”Ran menghela napas panjang menatap Trisha. “Kenapa sama cewek gemuk? Emang cewek gemuk bikin negara ini bangkrut? Enggak, kan?”“Pokoknya gue harus diet!”Ran terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya, karena kalimat seperti itu sudah ratusan kali diucapkan oleh Trisha.Mereka berdua pun saling berbincang membicarakan banyak hal. Mulai dari Trisha yang harus membuat komik genre romansa, bertemu dengan lelaki tampan yang kini menjadi tokoh utamanya, sampai pekerjaan Ran.Ia juga menceritakan masa sulitnya di kantor, bahkan Trisha terkejut saat me
Setelah memakan waktu dua jam, Trisha sudah ingat point penting informasi yang ada di data ini. Wanita itu meletakan ponsel di meja sambil menguap dan merenggangkan ototnya yang agak terasa kaku.“Namanya ribet banget. ya,” gumam Trisha saat kembali melihat biodata itu. Trisha mencoba untuk mengingat semuanya tanpa melihat ke layar ponsel. “Nama dia Severino, umur dua puluh empat. Dia alergi seafood, suka kopi, dia—“ Ucapan Trisha terhenti karena menguap dengan lebar sambil mengucek matanya.Dia melihat jam yang ada di layar ponsel. “Udah jam satu, waktunya tidur,” ucap wanita itu seraya bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar untuk mengistirahatkan otaknya yang lelah.***Pagi pukul tujuh, Trisha membuka matanya perlahan karena mendengar ponselnya yang be
“Udah sampai?” tanya Trisha yang kembali melihat ke layar ponsel.“Lo masih mau lanjut main game? Kita udah—““Iya, iya, ini udah selesai, kok!” ucap Trisha menyela ucapan Vanda sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya.Vanda menarik napas panjang sambil tersenyum, lalu mengembuskan dengan perlahan. Mereka melepas sabuk pengaman dan keluar mobil bersamaan.Bola mata Trisha bergerak dari bawah sampai ke atas mengamati gedung besar yang ada di hadapannya. Dia tidak menyangka kalau tempat agensi aktor itu sebesar ini. Jantungnya mendadak berdegup kencang dan tak sabar bertemu dengan lelaki tampan yang pernah dia temui itu.Dia juga tidak menyangka kalau langkah kakinya akan menginjak ke dunia entertainment. Padahal, dia dulu sangat menentang untuk masuk ke dunia ini. Tapi, kini dia berubah pikiran. Dia merasa senang meskipun hanya menjadi asisten. Bukankah kalau dia diterima bisa bertemu dengan aktor tam
“Ayo masuk,” ucap wanita itu sembari masuk ke dalam ruangan, disusul oleh Vanda dan Trisha di belakang.Wanita itu mempersilakan mereka duduk dengan ramah. Trisha sangat kagum pada wanita yang ada di hadapannya itu. Dia terlihat sedikit lebih tua dari Vanda, tapi wajahnya terlihat sangat mulus. Badannya juga terjaga, sangat ideal.“Kamu Trisha?” tanya wanita itu melihat ke arah Trisha.Trisha tersenyum dan menganggukkan kepalanya canggung. Wanita itu juga ikut tersenyum dan langsung mengulurkan tangannya di hadapan Trisha“Selamat,” ucapnya yang membuat Trisha bingung dengan arti uluran tangan itu.Trisha menoleh ke Vanda seakan bertanya maksud wanita itu, sedangkan Vanda hanya menjawab dengan satu anggukan dan menyuruhnya untuk membalas uluran tangan itu. Trisha menggigit bibir bawahnya dengan membalas uluran tangan itu dengan ragu.“Saya Zhui Consina, kamu bisa panggil saya Kak Ina atau Kak Z