Share

Harus Hiatus!

Vanda langsung memberikan sebuah amplop coklat, dan itu membuat Trisha membuka matanya lebar dengan senyuman yang memperlihatkan gigi.

“Dari penerbit?” tanyanya memastikan.

“Iya, dari siapa lagi?”

Trisha langsung memeluk amplop itu dengan ekspresi bahagia. Karena kebetulan dia sangat memerlukan uang untuk membayar uang sewa.

"Itu ... royalti terakhir dari penerbit," ucap sang editor.

Trisha yang mendengar kabar itu seketika berekspresi datar. “Terakhir? Kenapa? Penerbit nggak mau cetak lagi komik gue?” tanya Trisha yang masih tidak percaya dengan ucapan sahabatnya.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Kepala editor tadi bilang kalau penerbit mau menerbitkan komik dari studio lain. Dan gue masih ada berita buruk buat lo. Mau dengar sekarang atau nanti?” tanya Vanda dengan nada berhati-hati.

“Masih ada berita buruk?” Wanita bertubuh sedikit gemuk itu kaget, dan melihat ke arah editornya.

Wanita itu mengangguk pelan dengan menggigit bibir bawahnya. Trisha menarik napas panjang dan menghembuskan dengan perlahan.

“Sekarang," pinta Trisha yang sudah siap mendengar kabar buruk dari editornya.

Vanda menganggukkan kepalanya, dia menatap lekat Trisha dengan senyum tipis. “Lo udah cek peringkat komik lo?”

Trisha mengangguk-anggukan kepala. “Peringkat delapan, kan?” tanyanya ragu.

Vanda sudah bisa menebak jawaban Trisha, karena dia yakin kalau hari ini wanita itu belum memeriksa kembali peringkat yang ada di platform.

“Kenapa diam? Gue salah? Jangan bilang …”

“Peringkat lo turun drastis. Komik lo ada di peringkat lima puluh, dan karena itu kepala editor marah. Dia menyuruh lo buat bikin komik baru dengan genre romansa,” jelas Vanda yang membuat Trisha melongo tidak percaya.

Membuat komik dengan genre romansa sangatlah sulit bagi Trisha yang selama hidupnya tidak pernah menjalin asmara. Ralat, dia pernah berpacaran sekali. Namun, berakhir menyedihkan.

“Komik baru? Gue nggak salah dengar, kan? Komik gue ada dua judul yang belum tamat, dan lo suruh gue buat bikin komik baru? Lo mau bikin kepala gue pecah?” tanya Trisha sembari memegang kepalanya.

“Bikin komik baru, dan dua komik lo itu harus hiatus.”

“Hah? Hiatus? Yang benar aja? Kalau—“

“Sha, dengerin gue! Apa lo nggak baca komentar di komik lo itu?” tanya Vanda yang membuat Trisha terdiam sejenak.

“Gue baca, pembaca banyak yang suka sama gambaran gue.”

Vanda menepuk keningnya sambil menghela nafas panjang. “Komentar buruknya nggak lo baca?”

“Harus banget dibaca?” tanya Trisha dengan ekspresi datar.

“Apa lo nggak dengar ucapan gue barusan? Perusahaan enggak akan tinggal diam di masa uji coba lo kali ini. Kalau karya selanjutnya gagal, selesai sudah, Sha. Lo akan dipecat dari studio ini. Perusahaan cuma kasih lo waktu dua minggu. Kalau dalam dua minggu lo enggak dapat prestasi, masa uji lo gagal,” jelas editor itu seraya memegang keningnya.

Trisha menghela nafas panjang. “Jadi maksud lo … gue dapet masa uji dua minggu untuk buat komik remaja?” tanya Trisha. Vanda menganggukkan kepalanya.

“Gue nggak akan membiarkan karier ini berakhir! Kebetulan gue tadi malem bikin outline.”

“Mana? Kasih lihat,” tanya Vanda.

Trisha mengambil ponselnya yang ada di saku celana, lalu memperlihatkan outline komik karyanya itu pada Vanda.

"Ini, kalau enggak salah ingat, lo pernah bilang kalau tokoh utama pria dan wanita itu selalu bersama, kan? Jadi gue udah buat mereka selalu bersama dari awal sampai akhir. Gimana? Keren, kan?” jelas Trisha dengan bersemangat.

Vanda mengambil alih ponsel Trisha. Saat dia membaca cuplikan awal komik itu, seketika raut wajah wanita itu berubah menjadi sangat datar saat membaca judul komiknya. ‘Ayo, saling membunuh!’

Vanda kembali memberikan ponsel pada Trisha dengan tersenyum paksa. “Saling membunuh, saling membunuh, lama-lama lo yang gue bunuh! Siapa yang mau baca kisah cinta yang mengerikan seperti ini? Setan? Pocong? Genderuwo?” tanya Vanda yang sudah sangat gemas dengan temannya itu.

Sang editor menghela nafas panjang sambil mengelus dadanya agar tetap sabar dan tidak emosi pada Trisha, lalu kembali melihat ke outline yang dibuat oleh sahabatnya.

“Terus, kenapa tokoh utama pria yang lo gambar selalu berotot?” tanyanya lagi yang membuat Trisha menyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Maaf, gue enggak bisa menghilangkan imajinasi gue tentang otot pria. Lo nggak tau, kan? Otot itu wujud sempurna dari hormon. Lagian … otot pria sangat mudah digambar dan juga membuat wanita jadi tergila-gila,” jawabnya dengan terkekeh.

Vanda pun ikut terkekeh, lalu kembali memasang raut wajah datar. “Kirim ke gue, tapi gue enggak mau tau! Lo harus bikin kedua tokoh ini berpacaran! Oh, iya, satu lagi. Jangan buat alur ini ada adegan actionnya! Kenapa lo suka banget bikin cerita yang ada bertengkarnya? Karena ini genre romansa, jangan melenceng!” jelas Vanda yang membuat Trisha tertegun sejenak.

Trisha menautkan kedua alisnya dengan memajukan bibirnya ke depan. “Jadi gue nggak boleh bikin yang ada berantemnya atau ada bunuh-bunuhannya?” tanyanya yang membuat Vanda mengusap wajahnya kasar, lalu mencubit kedua pipi tembem sahabatnya dengan gemas.

Ia tidak peduli padanya yang merintih kesakitan dan memohon-mohon untuk melepaskan cubitannya itu, karena Vanda sudah benar-benar gemas pada temannya yang satu itu.

“Apa menghilangkan adegan berantem dan saling bunuh dari pikiran lo itu sulit? Kita ini lagi bersaing dengan studio lain. Dan gue harus membuktikan kalau gue adalah editor yang bisa membuat komik lo naik ke peringkat satu. Paham?” tanya Vanda seraya melepaskan cubitannya.

Trisha mengelus pipinya yang terasa sakit seraya menatap malas Vanda. Selalu saja pipinya menjadi korban. “Sakit, Vanda!”

“Gimana? Udah paham dengan maksud gue, kan?”

“Paham. Tapi … gue masih ada satu masalah yang sulit terpecahkan.”

“Apa? Katakan.”

“Gimana rasanya dikejar cowok? Karena gue sama sekali belum pernah dikejar cowok. Jangankan dikejar, dekat sama cowok aja nggak pernah. Lagian … siapa juga yang mau deket sama gue? Gue gemuk, gak cantik pula,” tutur Trisha dengan nada sedikit lirih dan memperhatikan tubuhnya yang gemuk itu.

Vanda yang mendengar perkataan Trisha terdiam sejenak sambil melihat Trisha. Dia tahu bahwa Trisha tidak mempunyai pengalaman romantis semasa dia sekolah dulu. Ia sendiri tidak percaya diri untuk dekat dengan lelaki mana pun karena mempunyai tubuh yang gemuk.

Terkadang ia iri pada wanita yang mempunyai tubuh ideal. Dia juga sudah melakukan berbagai macam cara untuk diet, tapi tetap saja gagal.

“Emm, tapi setidaknya lo pernah suka sama cowok, kan?” tanya Vanda dengan berhati-hati.

“Suka sama cowok? Pernah sekali, dan itu yang membuat gue nggak mau dekat dengan cowok mana pun. Gue juga udah lupa rasanya suka sama cowok,” jawab Trisha yang kemudian mengalihkan pandangannya. 

Vanda menatap Trisha dengan tatapan tidak percaya. Apa yang selama ini ada di pikirannya itu cuma adegan bertengkar dan pembunuhan saja?

“Kalau kita suka sama cowok, jantung akan berdebar waktu dekat sama cowok itu.”

“Berdebar?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status