Share

Menghapalkan Semuanya

“Ha? Orang itu tinggal di sini, kan? Bukan di Jepang ataupun China? Dia bukan tokoh beda dimensi, kan? Dan … dia belum mati, kan? Masih hidup? Bukan … Ryo, kan?” cecar Ran dengan rentetan pertanyaan.

“Bukan, Ran. Dia benar-benar orang, dia masih hidup, dia bukan dari dimensi lain, dan tentu saja dia … bukan Ryo! Kenapa jadi bawa-bawa Ryo? Dia aktor, mana mungkin dia mau ketemu sama gue yang gemuk ini?”

Ran menghela napas panjang menatap Trisha. “Kenapa sama cewek gemuk? Emang cewek gemuk bikin negara ini bangkrut? Enggak, kan?”

“Pokoknya gue harus diet!”

Ran terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya, karena kalimat seperti itu sudah ratusan kali diucapkan oleh Trisha.

Mereka berdua pun saling berbincang membicarakan banyak hal. Mulai dari Trisha yang harus membuat komik genre romansa, bertemu dengan lelaki tampan yang kini menjadi tokoh utamanya, sampai pekerjaan Ran.

Ia juga menceritakan masa sulitnya di kantor, bahkan Trisha terkejut saat mendengar temannya itu sering keluar masuk perusahaan. Bukan karena Ran mempermainkan pekerjaannya, tapi dia selalu memperhitungkan semuanya.

Mulai dari gaji, bonus lembur, uang makan, uang transportasi, dan sebagainya. Ran sudah memperhitungkan semua itu.

Trisha juga memberikan sepatah dua patah nasihat agar Ran menikmati pekerjaannya tanpa memperhitungkan uang yang dia dapat. Karena semakin ke sini, pekerjaan sangat sulit didapatkan.

Tanpa dirasa, hidangan yang mereka pesan sudah datang. Mereka pun mulai melahap makanannya dengan obrolan santai. Kembali membicarakan masa lalu adalah topik utama ketika mereka bertemu.

***

Pukul sepuluh malam, Trisha berjalan dengan langkah cepat menuju rumahnya. Terlalu asyik mengobrol dengan Ran sehingga membuat wanita itu lupa waktu. Untung saja jarak rumahnya itu dekat, jadi tidak bingung mencari transportasi.

Sesampai di rumah, Trisha duduk di sofa dengan menyandarkan tubuh. Dia mengatur napas yang ngos-ngosan karena terlalu cepat berjalan. Wanita itu memang takut gelap, jadi membuat pikirannya berpikir yang macam-macam saat berada di tempat gelap. Entah itu penjahat, atau hantu yang tiba-tiba muncul. Karena Trisha sering membuat cerita itu di dalam komiknya.

Suara telepon di ponsel yang tiba-tiba berbunyi membuat dia terlonjak kaget. Wanita itu mendengus kesal sambil mengelus dadanya karena sangat terkejut. Jarinya dengan cepat mengusap tombol hijau ke atas, lalu menyalakan pengeras suara.

"Halo?" Trisha meletakan ponsel di meja dan kembali menyandarkan tubuh dengan memijat pelipisnya sambil menunggu orang yang menelponnya itu berbicara. Namun, setelah menunggu lima menit, si penelpon belum bicara apa pun.

Trisha kembali mengambil ponsel itu dengan berdecak pelan. "Kenapa? Kalau enggak penting gue--" Ucapan wanita itu terhenti ketika mendengar suara batuk sahabatnya dari seberang telepon. Trisha menaikkan alisnya, dia ingat betul kalau Vanda tidak sedang sakit.

Penelpon itu adalah Vanda, sahabatnya. Trisha sedikit kesal karena Vanda tidak menyahut panggilannya. Hanya ada suara batuk dan isakan tangis dari telpon itu. Trisha semakin berpikiran yang tidak-tidak. Apa orang ini bukan Vanda? Melainkan orang lain yang mengaku-ngaku sebagai Vanda? Pikir Trisha.

"Van! Jawab! Jangan bikin gue panik!" ucap Trisha sedikit berteriak. Raut wajah wanita itu terlihat panik, dia geram pada Vanda.

"Oke, gue tutup, deh!" seru Trisha dengan menggerakkan jari telunjuk untuk menekan tombol merah. Namun, gerakan tangannya terhenti saat mendengar suara Vanda yang memanggilnya.

"Maaf, nunggu gue lama. Gue barusan dari kamar mandi," ujar Vanda dari seberang sana, yang membuat Trisha menautkan kedua keningnya.

"Lo ... dari kamar mandi?" tanya Trisha berhati-hati.

"Iya, kenapa?”

Trisha terdiam sejenak. Raut wajahnya berubah menjadi ketakutan dan keringat dingin mulai keluar dari keningnya. Wanita itu juga bersusah payah menelan salivanya. Dalam hitungan detik, Trisha mendengar Vanda tertawa dengan terbahak-bahak dari dalam telepon. Dengan cepat dia kembali meraih ponselnya.

 “Van, lo enggak kesambet, kan? Perlu gue panggil dukun? Van! Jawab! Jangan bikin gue takut!” ujar Trisha yang sudah ketakutan itu.

Vanda meredakan tawanya dan berdeham kecil. “Bisa ketakutan juga lo? Maaf, tadi yang batuk-batuk itu adik gue. Tenang, gue enggak apa-apa, kok,” jelas Vanda yang membuat Trisha langsung melempar ponselnya ke sofa karena kesal pada sahabatnya itu.

Vanda terus memanggil-manggil Trisha dan meminta maaf padanya. Tidak ada yang tahu kalau Trisha ini sebenarnya penakut, apa lagi kalau sudah berbau mistis. Meskipun wanita itu suka menggambar genre thriller, tapi dia tetap takut. Terutama tempat gelap.

 “Sha, maafin gue dong. Gue juga enggak berniat takut-takutin lo,” mohon Vanda yang masih berusaha meminta maaf pada Trisha.

Trisha menghela napas panjang dan berdeham kecil, dia juga tidak bisa marah pada Vanda. “Terus lo kenapa telpon gue?” tanya Trisha.

“Buka dokumen yang tadi sore gue kirim, hafalin semuanya. Besok pagi lo interview buat jadi asisten aktor. Pastikan kalau lo keterima! Karena semua itu bisa jadi bahan buat kelanjutan komik lo,” jelas Vanda yang membuat Trisha membelalakkan matanya lebar.

Jadi asisten aktor? Kenapa harus melakukan sampai sejauh ini? pikir Trisha.

“Van, tapi—“

“Gue enggak menerima protes apapun! Lakukan semua itu kalau lo enggak mau dipecat, Trisha! Oke, gue tutup. Lo harus tidur sekarang, dan jangan begadang. Besok enggak boleh telat!” omel Vanda yang langsung mematikan sambungan telepon itu saat Trisha masih ingin menyampaikan keluhannya.

Trisha berdecak kesal karena lagi-lagi Vanda memberikan keputusan tanpa berdiskusi terlebih dahulu. Dia mengambil ponsel yang ada di sampingnya dan membuka dokumen yang sudah dikirim tadi sore oleh Vanda.

Saat melihat foto lelaki tampan yang ada di dokumen itu, mata Trisha membulat sempurna. Bukankah ini lelaki yang dia temui di pantai? Jadi lelaki itu aktor? Pantas saja dia memakai masker dan kacamata hitam.

Ingatan Trisha kembali pada saat lelaki itu bertanya apakah dia tau dirinya atau tidak. “Jadi ini alasannya? Karena dia aktor?”

Dia menarik bibir membentuk senyuman, karena menurutnya ini adalah kesempatan yang bagus. Apalagi semua ini bahan untuk komik komik. Trisha semakin yakin kalau jalan cerita yang dia buat akan menarik banyak pembaca.

Ditambah lagi aktor ini sangat tampan dan penuh perhatian. Mengingat lelaki tadi memberikannya plaster luka, jadi dia bisa menilai kalau aktor baru ini sangat baik.

“Siap bikin hari lo berwarna, Sha? Kalau aktornya kayak gini, sih, siapa yang nolak?” ucap Trisha pada dirinya sendiri.

Trisha mulai menghapal data-data aktor itu. Dia tidak boleh melewatkan kesempatan kali ini. Yang paling penting bukanlah menjadi asisten lelaki tampan itu, melainkan membuat komiknya berada diperingkat pertama di platform. Ya, itu adalah yang paling terpenting dari lainnya.

Setelah memakan waktu dua jam, Trisha sudah ingat point penting informasi yang ada di data ini. Wanita itu meletakan ponsel di meja sambil menguap dan merenggangkan ototnya yang agak terasa kaku.

“Namanya ribet banget. ya,” gumam Trisha saat kembali melihat biodata itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status