Share

Menjadi Asisten

Setelah memakan waktu dua jam, Trisha sudah ingat point penting informasi yang ada di data ini. Wanita itu meletakan ponsel di meja sambil menguap dan merenggangkan ototnya yang agak terasa kaku.

“Namanya ribet banget. ya,” gumam Trisha saat kembali melihat biodata itu. Trisha mencoba untuk mengingat semuanya tanpa melihat ke layar ponsel. “Nama dia Severino, umur dua puluh empat. Dia alergi seafood, suka kopi, dia—“ Ucapan Trisha terhenti karena menguap dengan lebar sambil mengucek matanya.

Dia melihat jam yang ada di layar ponsel. “Udah jam satu, waktunya tidur,” ucap wanita itu seraya bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar untuk mengistirahatkan otaknya yang lelah.

***                         

Pagi pukul tujuh, Trisha membuka matanya perlahan karena mendengar ponselnya yang berdering dengan kencang. Entah itu suara atau telepon, tapi seingatnya alarm di ponsel hanya berbunyi setiap hari senin saja.

Dengan mata yang sedikit terbuka, tangannya bergerak ke atas nakas untuk mengambil ponsel, saat berhasil meraihnya dan melihat ke arah layar, matanya menyipit karena cahaya yang silau. Pagi itu, ia mendapatkan satu panggilan masuk. Karena masih sangat mengantuk, Trisha tidak bisa melihat jelas nama si penelpon. Dia langsung mengusap tombol hijau ke atas dan menyalakan pengeras suara. Lalu, meletakkan ponsel di sampingnya.

“Halo, Sha, lo masih tidur?”

Trisha yang masih sangat mengantuk hanya menjawab dengan deheman saja. Dia mengubah posisinya menjadi duduk untuk mengumpulkan nyawa yang masih beterbangan. Dia menguap lebar sambil merenggangkan otot, dan menggaruk-garuk rambutnya saat mendengar omelan Vanda dari telepon itu.

 “Halo, lo denger gue enggak, sih? Kenapa diem aja?! Jangan bilang kalau lo tinggal tidur lagi? Buka pintunya! Gue udah di depan rumah! Lo enggak lupa sama interview hari ini, kan?” tanya Vanda dengan rentetan pertanyaannya.

Mata Trisha seketika membelalak lebar saat mendengar pertanyaan Vanda tentang interview. Dia langsung beranjak dari kasurnya dan berjalan cepat keluar kamar untuk membukakan pintu. Rasa kantuknya seketika lenyap.

Saat membukakan pintu untuk Vanda, bukan sarapan yang didapatkan oleh Trisha, melainkan omelan panjang dari Vanda karena sudah menunggu lama di luar. Dia juga marah karena Trisha lupa kalau hari ini dia harus datang interview.

 “Untung aja gue dateng ke rumah lo, kalau enggak …” Vanda menggelengkan kepalanya pelan sambil berdecak. “Kalau enggak, semua akan lenyap, Shasha. Karena lo itu lemah di genre romansa.”

Trisha yang mendengar itu hanya mendengus dan duduk di sofanya sambil menyandarkan tubuh dengan menatap langit-langit. “Jadi, menurut lo … menjadi asisten seorang aktor pendatang baru bisa menciptakan keromantisan gitu?”

 “Lo emang enggak pernah lihat drama gitu? Banyak tau yang awalnya asisten—“

“Enggak! Enggak lihat dan enggak mau lihat! Hm, bukan asisten, Vanda. Namanya terlalu bagus. Lebih tepatnya adalah pembantu.”

Vanda yang duduk di samping Trisha langsung memukul pelan lengan wanita itu. “Dengar baik-baik, Trisha! Lo harus manfaatkan semua ini dengan baik! Lo harus cari cara buat akting romantis sama aktor itu.”

Trisha yang mendengar itu hanya tertawa kecil, karena sebenarnya dia juga sudah merancang semua itu untuk bahan komik. Sebenarnya, dia hanya berpura-pura marah pada Vanda karena menyuruh menjadi asisten seorang aktor. Awalnya memang marah, tapi setelah tau kalau lelaki itu adalah orang yang dia temui di pantai, Trisha justru sangat berterima kasih dengan Vanda.

Trisha juga tidak berniat untuk menceritakan semuanya pada Vanda, karena dia tidak mau kalau Vanda akan menyuruhnya melakukan hal gila.

“Lo kenapa diem aja?” tanya Vanda dengan melambaikan tangan di depan wajah Trisha sambil menepuk-nepuk lengan wanita itu agar dia cepat tersadar dari lamunannya.

Trisha langsung menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar. “Enggak apa kok, gue mandi dulu. Kalau lo baik, bikin roti buat gue. Laper nih,” ujar Trisha diakhiri dengan menyengir dan menepuk-nepuk perutnya.

“Dasar! Cuma makan yang lo inget!”

Trisha tertawa kecil seraya berjalan meninggalkan Vanda menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Sedangkan Vanda, dia membuatkan sarapan untuk Trisha, karena dia tidak mau kalau penyakitnya kambuh karena terlambat makan. Meskipun Trisha gemuk, dia mempunyai penyakit asam lambung yang lumayan parah. Jadi, dia tidak bisa kalau terlambat makan.

Vanda hanya membuat roti panggang dan telur saja. Karena hanya itu persediaan makanan yang ada di rumah Trisha.

Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, Trisha sudah rapi dengan pakaian casualnya. Vanda juga sudah selesai membuat sarapan.

Trisha berjalan keluar dari kamar menghampiri Vanda yang sudah duduk di meja makan. Trisha tersenyum lebar saat melihat makanannya sudah jadi.

 “Thanks, Vann! Gue tau kalau lo itu masih ada rasa khawatir sama gue,” ucap Trisha seraya duduk di samping Vanda.

“Gue enggak mau kalau penghasil uang gue sakit,” ucap Vanda dengan tersenyum miring. Trisha yang mendengar itu langsung menatapnya tajam dengan menghela napas panjang. Seketika Vanda tertawa kecil dan memberikan satu suap roti.

“Gue bercanda, Shasha. Udah, buruan makan. Lo interview jam delapan,” ujar Vanda seraya mencubit pipi tembam Trisha.

Trisha mendengus sambil memutar bola matanya malas dan memakan roti yang ada di garpu Vanda. “Kalau gue enggak diterima jadi asisten gimana? Secara gue enggak ada pengalaman, gue juga gemuk. Mana ada asisten yang punya badan gemuk? Kecuali asisten rumah tangga.”

“Gue yakin seratus persen kalau lo bakal diterima jadi asisten! Jangan pesimis dulu, dong! Buruan makan makanan lo!”

***

Trisha dan Vanda masuk ke dalam mobil, mereka memakai sabuk pengaman terlebih dahulu. Vanda menyalakan mesin mobil, dan langsung melajukannya keluar dari rumah Trisha. Sepanjang diperjalanan, mereka saling diam.

Trisha memainkan game di ponselnya dan tidak mengganggu Vanda yang tengah menyetir, karena ini sudah menjadi kebiasaan mereka berdua. Tidak boleh mengobrol saat sedang menyetir.

Jalanan di pagi ini lumayan padat, sehingga membuat mereka hampir terlambat datang ke perusahaan. Untung saja Vanda tau jalan pintas, jadi mereka tidak terjebak di kemacetan.

Tak lama berselang, mereka sampai di tujuan, dan Vanda memarkirkan mobilnya di area parkir. Vanda menoleh ke arah Trisha yang masih bertanding di dalam gamenya. Dia berdeham pelan untuk memberikan kode pada Trisha. Dalam hitungan lima detik, Trisha mengangkat kepalanya dan menoleh ke Vanda.

“Udah sampai?” tanya Trisha yang kembali melihat ke layar ponsel.

“Lo masih mau lanjut main game? Kita udah—“

“Iya, iya, ini udah selesai, kok!” ucap Trisha menyela ucapan Vanda sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya.

Vanda menarik napas panjang sambil tersenyum, lalu mengembuskan dengan perlahan. Mereka melepas sabuk pengaman dan keluar mobil bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status