“Aku tidak tahu kenapa kau bersikeras pergi ke sana. Tapi bisakah kali ini kau membatalkannya? Kau bahkan baru pertama kali pergi ke tempat itu. Ayolah, Trollehallar mengalami kebakaran secara mendadak dan itu aneh sekali.” Teresa meminum minuman miliknya dan menatap Isla yang masih mengerjakan tugas rangkuman.
“Mungkin saja ada orang iseng yang membuang rokok sembarangan, lalu dia kabur saat ulahnya menimbulkan masalah besar di sana.”
“Kau bercanda? Polisi saja masih belum menemukan jawabannya dan kau malah berspekulasi sendiri. Ah, pokoknya aku tidak mengizinkanmu pergi ke sana.”
“Kau benar-benar terdengar seperti ibuku.” Isla berdecak dan menutup bukunya. Kemudian gadis itu mengeluarkan sebuah kotak makan siang. “Ayo makan, aku sudah lapar,” ajaknya pada Teresa. Keduanya beranjak dari sana dan berjalan keluar kelas. Namun langkah Isla secara mendadak berhenti saat pandangannya secara tak sengaja mengarah ke luar, dan ia melihat garis kemerahan persis seperti yang dilihatnya kemarin.
“Hei, ada apa?” Teresa bertanya begitu menyadari kalau Isla tertinggal di belakang.
Isla berkedip dua kali dan menatap Teresa. “Ah, aku –“ Kedua alisnya bertaut begitu kembali menatap langit. Garis itu kembali menghilang dalam waktu yang singkat.
“Kenapa?”
“Ti-tidak, ayo pergi.” Isla mempercepat langkahnya dan menggandeng lengan Teresa.
“Ngomong-ngomong, Teresa. Apa akhir-akhir ini kau mendengar ada berita komet atau meteor jatuh ke sekitar sini?”
“Hah? Meteor? Tidak ada berita seperti itu.”
“Lalu bagaimana dengan berita kecelakaan pesawat?”
Kepala Teresa menggeleng. “Kenapa kau tiba-tiba menanyakannya?”
“Ah, tidak ada. Hanya ingin bertanya saja, siapa tahu aku dapat referensi untuk objek memfotoku.”
“Ya ampun, kau benar-benar kecanduan dengan itu.” Teresa berdecak. “Aku tidak mendengar berita seperti yang kau katakan, hanya saja sekarang ini NASA tengah meneliti sebuah bintang yang katanya akan meledak.”
“Ah, yang seratus ribu tahun itu? Ibuku kemarin menonton beritanya. Konyol sekali. Dari mana mereka tahu kalau bintang itu akan meledak dalam waktu seratus ribu tahun?”
“Tapi kejadian seperti ini cukup jarang disiarkan, apalagi ini momen sangat langka. Kabarnya lagi supernova itu bisa dilihat secara langsung dari bumi.” Teresa tampak antusias.
Isla melirik Teresa dengan salah satu alis yang naik. “Kau sangat ingin melihatnya, ya? Dengar ya, Teresa. Bahkan sebelum bintang itu meledak, kau sudah berada di alam lain bersamaku. Memangnya kau mau hidup selama seratus ribu tahun hanya untuk melihat supernova? Ckck. Menyedihkan sekali.”
Bibir Teresa seketika menekuk ke bawah.
***
Isla tidak henti-hentinya berdecak kagum menatap pemandangan yang ia lewati sepanjang perjalanan menuju Trollehallar. Dengan sebuah kamera yang sudah menggantung di lehernya, gadis itu sudah cukup mendapatkan berbagai hasil jepretan yang indah.
Selang lima belas menit kemudian buas yang ia tumpangi berhenti di sebuah halte. Waktu dua jam cukup membuatnya mengantuk dan hampir saja tertidur pulas, namun ia yakin kalau apa yang ia temukan di dalam hutan nanti akan membuat rasa kantuknya menghilang.
Hutan yang berada di Kota Angelholm itu tampak berwarna hijau, serta udara di sana terasa begitu segar. Untuk pertama kalinya Isla pergi sendirian ke sana hanya demi memenuhi hobinya.
Gadis itu berjalan menyusuri jalan ke sepanjang hutan. Suasana begitu sepi dengan suara burung dan hewan-hewan lainnya. Ia tidak menemukan satu orang pun di sana, membuatnya berspekulasi kalau para polisi yang menyelidiki kasus kebakaran di sana telah berhenti dan bahkan melepas garis polisi.
Sebuah papan nama bertuliskan Trollehallar tertancap di tanah. Isla tidak membuang kesempatan, ia pun menyalakan kameranya dan mulai membidik tepat ke papan nama itu. Latar belakang pepohonan yang menjulang tinggi dan warna hutan yang khas akan membuat hasil fotonya tampak bagus. Isla menyukai suasana di sana.
“Ya Tuhan.” Gadis itu berhenti berkedip saat kakinya sampai di area bekas kebakaran kemarin. Lahan yang terbakar memang tidak begitu luas, namun seharusnya jika kemarin ada angin bertiup, api akan dengan cepat menyebar ke lahan lain, bukan padam karena air apalagi kemarin tidak turun hujan.
“Aku bahkan tidak menemukan sungai di dekat sini. Apa mungkin apinya padam sendiri? Tapi ibu bilang kalau tanahnya basah. Ah, sial. Aku benci berpikir. ” Isla segera mengambil gambar keadaan di sana.
“Teresa dan ibu pasti akan mengamuk jika tahu kalau aku benar-benar ke sini,” ujarnya seraya tertawa pelan. Kedua kakinya kembali berjalan menyusuri hutan, melewati beberapa tebing dan jalan-jalan setapak lain. Tanpa teras, matahari pun bergerak semakin condong ke barat. Isla berniat untuk kembali sebelum hari berubah gelap. Namun di saat yang bersamaan ia mendengar gemersak di suatu tempat.
“Apa itu?” Isla mengernyitkan dahi, menatap ke sekelilingnya. Begitu ia tak menemukan apa-apa ia pun kembali melangkah namun suara itu kembali mengusik indra pendengarannya.
“Siapa di sana?” tanyanya dengan lantang, mungkin saja seseorang juga sedang berada di sana. Kedua kakinya lalu bergerak mencari sumber suara itu, dan ia menemukan sebuah semak-semak yang bergerak. Ia dengan sigap mengambil sebuah batu seukuran kepalan tangannya, berjaga-jaga kalau itu seekor ular besar atau babi hutan. Namun begitu tangannya sudah berada di udara, Isla tertegun mendapati seekor anak anjing di sana. Gadis itu pun segera meletakkan kembali batu di tangannya ke tanah.
“Anak yang malang. Kenapa kau bisa berada di sini? Apa kau tersesat?” Isla berusaha mengeluarkan tubuh anak anjing itu. “Kakimu tersangkut.” Ia dengan hati-hati mengeluarkan anak anjing itu.
“Kau pasti kesakitan sejak tadi. Kenapa anjing kecil sepertimu bisa tersesat di sini? Kasihan, kau pasti ketakutan.” Isla mendudukkan dirinya di atas permukaan tanah dengan anak anjing itu di pangkuannya. Ia lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak obat sederhana yang selalu dibawanya ke sekolah.
“Matamu berwarna merah. Unik sekali.” Isla berdecak kagum begitu menyadari kalau warna mata anjing itu tak biasa.
Setelah membalut salah satu kaki anjing itu dengan sebuah sapu tangan, Isla mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Kau pasti lapar. Tadi aku membeli ini di minimarket dekat sekolah. Tapi karena kurasa kau lebih membutuhkannya, jadi aku akan memberikan ini padamu.” Isla memberikan sosis itu. Awalnya si anak anjing hanya memandangi sosis yang disodorkan padanya. Namun perlahan ia mulai mendekatkan hidungnya dan menggigit sosis itu.
“Ayo, makanlah. Ini rasanya enak sekali.” Isla tersenyum saat anak anjing itu hampir menghabiskan sosis yang ia berikan. Ia mengusap kepala anjing itu. Namun ekspresi wajahnya berubah di detik berikutnya. “Maafkan aku, tapi kurasa aku harus segera pulang sebelum malam. Jaga dirimu baik-baik, semoga kau cepat bertemu dengan keluargamu.” Isla berdiri dari posisinya dan bergegas kembali, gadis itu berlari pelan menjauhi hutan, meninggalkan anak anjing tadi yang kini menatapnya.
***
Langkah Isla terhenti begitu ia mencapai pagar rumahnya. Langit sudah gelap dan bisa-bisanya ia tidak menyadari kalau ibunya menelepon sejak tadi. Setelah memastikan tidak ada yang mencurigakan dari penampilannya, Isla berjalan menuju pintu.
“Dari mana saja kau?” Maria tampak sudah berdiri di balik pintu, seakan menunggu kedatangannya. “Kau tidak lihat ini jam berapa? Kau pergi ke Trollehallar?” tebak Maria langsung pada sasaran.
“Apa? Te-tentu saja tidak. Aku ada janji dengan temanku tadi, dia mengajakku pergi ke berbagai tempat.” Isla menelan ludah dan berjalan melewati ibunya.
“Temanmu yang mana? Teresa bahkan berada di rumah.”
Kedua mata Isla mengerjap. “Bukan Teresa, tapi temanku yang lain. Ah, sudahlah. Aku mau mandi.” Ia mempercepat langkahnya menuju kamar. Bisa gawat kalau sampai ibunya tahu yang sebenarnya.
Deringan ponsel itu membuat mimpi sang pemilik mendadak berantakan. Di sana diceritakan ia sedang berada di sebuah pesta dansa besar dengan berbagai hidangan mewah. Semula semuanya berjalan dengan baik, di mana ia berdansa dengan seorang pria tampan dengan pandangan yang terus mengarah padanya. Manik mata berwarna merah itu justru tak membuatnya takut, justru sebaliknya. Ia malah jatuh ke dalam pesonanya. Suasana pun mendadak berubah begitu musik klasik yang mengiringi diganti menjadi musik rock yang memekakkan telinga. Sang pria tampan yang tadi berdansa dengannya itu menghilang entah ke mana.Isla membuka kedua matanya dan langsung menutup wajahnya dengan sebuah bantal. Siapa suruh juga ia memilih lagu rock sebagai nada alarm pagi harinya. Mau tak mau ia pun bangun dan mematikan alarm yang nyaris memecahkan gendang telinganya itu. Ponselnya tidak lama kemudian berdering, membuatnya mengangkat panggilan itu dengan suara husky khas bangun tidur."Kenapa?"
Isla tidak henti-hentinya berdecak kagum. Gadis itu selama seharian memutari seisi hutan, memotret objek-objek di sana. Dengan seekor anjing kecil yang menemaninya, Isla menikmati waktunya selama berada di Trollehallar. Siapa sangka hutan yang katanya menyimpan kejadian misterius itu justru di dalamnya menyimpan berbagai hal menakjubkan."Kau pasti senang sekali berada di sini.Udara di sini begitu segar, aku bahkan menyukainya," ujarnya. Sang anak anjing hanya menatapnya. Namun secara tiba-tiba langkahnya mendadak berhenti dan kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menggonggong, lalu menarik-narik dress yang dikenakan Isla saat gadis itu sedang berjongkok hendak mengambil gambar seekor serangga."Ada apa?" tanyanya. Si anak anjing menggonggong kian keras, lalu berlari dengan cepat dari sana. Isla dibuat kebingungan dan ia langsung menyusul anak anjing itu, khawatir sesuatu kembali terjadi padanya."Ke-kenapa kau berlari? Apa ada sesuatu?"
"Ramalan cuaca pagi tadi mengatakan kalau hari ini akan cerah, tapi malah sebaliknya. Dasar payah." Teresa membuka mulutnya lebar lalu menggigit burger yang baru saja dibelinya di kantin. Ia mendengkus begitu hujan tiba-tiba turun, padahal tadi pagi cuaca masih cerah dengan matahari yang bersinar begitu terang.Di depannya, Isla ikut menatap keadaan di luar sana. Karena hujan, mau tidak mau semua murid menghabiskan waktu istirahat mereka di dalam ruangan. "Ramalan cuaca tidak selalu akurat. Mungkin saja ada perubahan angin." Ia lalu beranjak dari tempatnya."Kau mau ke mana? Burgermu kan belum datang." Teresa berujar."Aku mau ke toilet sebentar."Isla berjalan keluar dari kantin. Hujan membuat suhu di sekitarnya berubah menjadi sedikit lebih dingin. Hal itu sudah pasti berpengaruh padanya yang cukup sensitif terhadap dingin. Ginjalnya akan menyaring lebih banyak darah dan menghasilkan lebih banyak urine, sehingga membuatnya lebih sering b
"Kau pasti sudah gila." Teresa membuang napasnya kasar saat Isla melambaikan tangannya dari balik jendela bus. Entah apa yang ada di dalam otak sahabatnya itu, namun Teresa tak pernah paham, di saat orang lain menjauhi tempat misterius bernama Trollehallar, Isla justru terlihat seperti semakin tertarik dengan tempat yang satu itu.Bus perlahan melaju, membuat perasaan Teresa campur aduk seketika. Ia merasa seperti seorang ibu yang tengah melepaskan anak sematawayangnya untuk pergi merantau ke negeri orang.Sementara itu di dalam bus, Isla sudah terlihat sibuk mengotak-atik kameranya. Meskipun dalam hatinya ia masih merasa sedikit trauma dengan kejadian ajaib beberapa waktu lalu, tapi dia masih penasaran dengan tempat itu.Anak anjing, kebakaran, meteor jatuh, salju, serta laki-laki yang melemparkan batangan es padanya. Semua itu masih menyimpan banyak pertanyaan hingga detik ini. Isla tak habis pikir, di zaman seperti ini, masihkah ilmu sihir digunak
"Kenapa anak anjing itu selalu menunjukkan tatapan yang aneh? Warna bola matanya bisa berubah, kadang berwarna biru, lalu berubah menjadi merah.""Kau kenapa?" Maria bertanya pada Isla begitu menyadari kalau putrinya sedari tadi hanya melamun.Isla mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Hehe. Tidak ada.""Kalau begitu bukalah pintunya.Kedua mata Isla kembali berkedip dua kali. "Ha?""Dari tadi belnya berbunyi. Kau benar-benar tidak dengar, ya? Ya ampun." Maria membuang napas pelan seraya menatap putrinya. Ia menyimpan beberapa sayuran ke dalam kulkas.Sementara Isla bergegas membukakan pintu dan gadis itu tersenyum begitu melihat sesosok wanita yang ada di baliknya."Bibi ... " Isla langsung berhambur ke dalam pelukan wanita yang baru saja ia panggil bibi itu."Kupikir kau tidak ada di rumah," ujar sang bibi begitu pelukan mereka terlepas."Kakak~" Seorang a
Isla berjalan menyusuri rak-rak besar dan mengambil beberapa buku paket yang dia perlukan. Gadis itu kembali ke meja tempatnya dan Teresa saat sudah menemukan buku yang ia cari."Teresa?" panggil Isla pelan. Gadis itu sedikit menoleh ke penjaga perpustakaan, takut-takut wanita tua berkacamata itu akan menegurnya secara tiba-tiba karena mendengar suaranya."Kenapa?" Teresa yang tengah menulis itu berujar tanpa menghentikan aktivitas menulisnya."Apa kau pernah melihat murid sekolah kita yang berambut marun?" tanya Isla.Kening Teresa seketika mengerut, lalu gadis itu tampak menghentikan pergerakan tangannya dan beralih menatap Isla. "Apa maksudmu?" ujarnya."Ya, begitu. Murid yang rambutnya dicat berwarna marun. Apa kau pernah melihatnya?""Pasti murid itu sudah gila karena melakukan hal bodoh di sekolah kita. Isla, sudah kukatakan kalau di sekolah kita tidak ada murid seperti itu. Kurasa sebelumnya kau pernah menanyakan itu
"Kakak~"Kedua mata Isla seketika terbuka saat seseorang mengguncang tubuhnya pelan. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya dan menatap Jason yang entah kapan sudah berada di dalam kamarnya."Ada apa, Jason?" tanya gadis itu."Aku pamit pulang. Maaf karena mengganggu tidur Kakak." Jason mendadak memasang raut wajah bersalah karena merasa mengganggu tidur Isla."Tidak apa-apa." Isla tertawa pelan lalu mengusap puncak kepala Jason dengan tangannya."Ya ampun, Jason. Harusnya kau tidak mengganggu tidur Kak Isla." Sang ibu ikut masuk ke dalam kamar tidak lama setelahnya, membuat Jason semakin menunduk."Haha, tidak apa-apa, Bibi.""Kalau begitu kami pamit pulang, ya." Jason dan ibunya segera berpamitan dari sana.Sepeninggal mereka berdua, Isla termenung di posisinya. Gadis itu menatap ke sekitar dengan kedua alis yang bertaut."Apa tadi Jason dan Bibi berkata kalau aku tidur?" gumam Isla. Ga
Tiga minggu tidak terasa berlalu begitu saja setelah kejadian aneh yang dialami Isla di sekolah dan rumahnya. Gadis itu masih ingat dengan betul saat seorang lelaki bernama Kai datang mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia mengerti.Rhys. Isla ingat kalau Kai menyebutkan orang lain yang bernama Rhys. Namun siapa lagi itu? Isla sama sekali tak mengenalnya. Gadis itu bahkan tak tahu seperti apa rupa orang bernama Rhys itu.Dan yang jadi pertanyaannya lagi adalah, kenapa sosok bernama Kai itu sampai bisa datang ke rumahnya? Ibunya bahkan seperti tak menyadari kedatangan lelaki itu di sana."Sebenarnya apa mau dia?" gumam Isla. Setelah kejadian itu, ia demam selama hampir dua minggu dan mengharuskannya untuk tetap istirahat di rumah. Bahkan Teresa sampai beberapa kali menjenguknya karena khawatir.Isla mendudukkan tubuhnya di bawah sebuah pohon besar dan melihat-lihat hasil jepretannya hari ini. Ia tak pernah paha