Deringan ponsel itu membuat mimpi sang pemilik mendadak berantakan. Di sana diceritakan ia sedang berada di sebuah pesta dansa besar dengan berbagai hidangan mewah. Semula semuanya berjalan dengan baik, di mana ia berdansa dengan seorang pria tampan dengan pandangan yang terus mengarah padanya. Manik mata berwarna merah itu justru tak membuatnya takut, justru sebaliknya. Ia malah jatuh ke dalam pesonanya. Suasana pun mendadak berubah begitu musik klasik yang mengiringi diganti menjadi musik rock yang memekakkan telinga. Sang pria tampan yang tadi berdansa dengannya itu menghilang entah ke mana.
Isla membuka kedua matanya dan langsung menutup wajahnya dengan sebuah bantal. Siapa suruh juga ia memilih lagu rock sebagai nada alarm pagi harinya. Mau tak mau ia pun bangun dan mematikan alarm yang nyaris memecahkan gendang telinganya itu. Ponselnya tidak lama kemudian berdering, membuatnya mengangkat panggilan itu dengan suara husky khas bangun tidur.
"Kenapa?" tanyanya lalu menguap.
"Kau baru bangun, ya?" Suara milik Teresa menyapa telinganya.
"Hm. Ada apa? Ini kan libur. Kau mau menyuruhku masuk pagi-pagi ke kelas?"
Teresa terdengar membuang napas. "Aku mau mengajakmu pergi keluar. Ayolah, akhir pekan ini aku ada acara keluarga di Angelholm," ujarnya di seberang sana. Ia dan Isla rutin menghabiskan akhir pekan bersama. Menonton film, mengunjungi taman bermain, atau bahkan ke pantai.
"Ah, baiklah. Lagi pula aku juga hari ini tidak ada rencana."
"Oke. Hubungi aku jika kau sudah berangkat."
"Hm."
Panggilan pun ditutup. Isla kembali menguap, lalu meletakkan ponselnya di atas ranjang. gadis itu berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang masih agak sempoyongan.
Selang lima belas menit usai membersihkan diri, Isla memakai sebuah gaun selutut berwarna baby blue dengan sebuah jepitan rambut berwarna serupa. Kedua matanya lalu tanpa sengaja menatap sesuatu yang berada di atas meja belajarnya.
"Ini kan-"
Isla berkedip menatap sebuah sapu tangan yang ada di sana. Kain berwarna putih dengan gambar daisy di salah satu ujungnya, tidak lain adalah sapu tangan miliknya. Namun yang kini mengganggu pikirannya adalah, bagaimana benda itu berada di meja belajarnya padahal kemarin ia memakainya untuk membalut kaki anak anjing yang terluka sewaktu di Trollehallar.
Mendadak bulu kuduknya meremang. "Apa selama ini aku memiliki dua sapu tangan yang sama?" Ia tertawa renyah, berusaha menyingkirkan segala pikiran aneh yang menghinggapi kepalanya.
"Bagaimana benda ini bisa sampai ke sini?" Ia membatin dan memasukkan benda itu ke dalam tasnya.
***
Teresa menatap satu per satu hasil jepretan Isla kemarin tanpa berkedip.
"Kau pasti sudah gila," ujar Teresa begitu Isla menunjukkan foto kebakaran yang ada di Trollehallar.
Seulas senyuman justru terbentuk di bibir Isla begitu mendengar kalimat Teresa. "Sudah kubilang kan, di sana pemandangannya keren sekali."
"Aku yakin ibumu akan marah kalau dia tahu kau nekat ke sana."
Isla nyengir, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Maka dari itu kau jangan memeritahunya." Ia mengambil sepotong foccacia di piring dan memakannya dengan lahap.
"Lalu bagaimana hari ini? Kau tidak ke sana lagi?" Teresa meminum late miliknya dan menyiangkan kedua tangan di depan dada.
"Aku akan ke sana siang ini." Isla mengusap salah satu sudut bibirnya dengan selembar tisu. "Kau pasti akan berpendapat sama denganku jika ikut ke sana."
"Aku tidak mau." Teresa ikut mengambil sepotong foccacia yang ada di bagian tengah meja.
"Ah, bukankah kau bilang pekan ini ada acara di Angelholm? Kenapa tidak mampir saja-"
"Tidak."
Bibir Isla menekuk.
"Kau tahu, Isla? Ucapanmu memang benar kalau Trollehaller itu tempat yang bagus. Tapi semenjak ada kebakaran aneh itu, pandanganku soal hutan itu berbeda."
Isla mengingat-ingat setiap tempat yang dia lewati di sana. "Kemarin aku menemukan lokasi kebakaran di sana. Aneh sekali jika polisi dan pemadam kebakaran berkata kalau kobaran api dipadamkan oleh air mengingat tanahnya basah. Padahal, di dekat tempat itu aku tidak menemukan sungai dan kemarin itu tidak ada hujan di Angelholm."
Teresa berdeham tenpa alasan dan kembali mengambil potongan foccacia yang lain. "Sudah kubilang kalau tempat itu aneh."
"Aku juga menemukan anak anjing di sana. Kasihan sekali, kurasa dia terpisah dengan keluarganya sewaktu kebakaran itu terjadi. Dia tersangkut di semak berduri dan aku mengobatinya di sana. Malang sekali."
Teresa mengerutkan dahi. "Anak anjing? Di Trollehallar?"
"Hm. Dia lucu sekali, bulunya berwarna putih dan kedua matanya berwarna merah." Isla tersenyum lebar mengingat anjing menggemaskan yang ditemuinya.
Mendadak Teresa tersedak. "Kau bilang matanya berwarna merah? Anjing jenis apa itu?"
Isla terdiam sejenak. "Kurasa ... samoyed?"
"Kau gila. Tidak ada anjing bermata merah. Apa menurutmu matanya sedang sakit? Mungkin saja karena kebakaran itu."
"Kurasa tidak. Apa aku salah lihat, ya? Tapi ... matanya memang berwarna merah." Isla terdiam setelahnya.
"Isla, kurasa lebih baik kau tidak kembali ke sana."
"Tapi ... ada sesuatu yang harus aku pastikan."
"Apa itu?" Teresa menatap sahabatnya dengan kening yang kembali mengerut.
***
"Aku ragu kalau anjing itu masih ada di sana tapi mengingat ucapanmu tadi, kurasa binatang itu memang tinggal di sana." Isla menatap sebuah kantung plastik kecil berisi beberapa sosis.
"Jangan bawa-bawa namaku kalau terjadi sesuatu di sana." Teresa menghela napas. "Dan lagi bagaimana jika ternyata anak anjing itu adalah penyihir?"
"Astaga, kau mulai lagi. Makanya aku mau ke sana untuk memastikan. Kalau kau tidak mau ikut, maka jangan banyak bicara."
Teresa menggelengkan kepala, merasa tak mengerti dengan kelakuan sahabatnya itu.
Bruk!
"Ah, maafkan aku!" Isla meminta maaf berkali-kali pada seorang pria yang barusan bertabrakan dengannya. Gadis itu lalu mengambil kantung kresek yang jatuh dan memasukkan kembali sosis-sosis itu.
"Kau tak apa?" Teresa bertanya. "Kau yakin mau ke sana? Mungkin saja Trollehallar adalah hutan paling berbahaya di Angelholm? Bagaimana jika itu adalah hutan sihir?"
"Kau semakin terdengar seperti ibuku. Sudah, ya. Aku pergi." Isla melambaikan tangannya dan berlari memasuki bus yang baru saja datang.
***
Isla berjalan menyusuri hutan lewat jalan yang dilaluinya kemarin. Sebuah sapu tangan sudah ia genggam. Jelas-jelas kemarin dia menggunakannya untuk membalut luka anak anjing itu. Mustahil jika benda itu secara ajaib bisa sampai di meja belajarnya pagi ini. Apakah angin yang menerbangkannya? Konyol sekali.
"Bahkan darahnya pun sudah tidak ada." Isla mengamati setiap permukaan sapu tangan miliknya dan tidak menemukan noda darah sedikitpun di sana. Langkah kakinya lalu berhenti secara tiba-tiba. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar begitu merasa ada yang janggal.
"Apa aku salah jalan?" gumamnya. Ia menelusuri ke sekitarnya dan tempat itu sama persis seperti yang dilewatinya kemarin.
"Mustahil. Tempat ini kemarin kebakaran, kan?" Kakinya perlahan mundur selangkah. Butuh waktu setidaknya sebulan agar bekas kebakaran itu hilang dan diganti dengan tumbuhan yang baru. Namun kini, tepat di depan matanya sendiri, pohon-pohon dan tumbuhan lain sudah tumbuh dengan begitu lebat layaknya tak terjadi apa-apa di sana. Hanya dalam waktu semalam, mungkinkah?
Tubuh Isla lalu berbalik begitu merasa seperti diawasi. Tak ada apapun dan siapapun di belakangnya. Kondisi hutan juga tampak baik-baik saja. Lalu saat ia memutar tubuhnya lagi, ia melihat anak anjing yang ditemuinya kemarin.
"Ah, kau di sini rupanya. Kupikir aku tidak akan menemukanmu lagi." Isla lalu mengeluarkan sebuah sosis dari kantung kreseknya. "Makanlah."
Anak anjing itu tampak lahap memakannya, membuat Isla tersenyum.
Tunggu!
Isla menatap seluruh kaki anjing itu.
"Bukankah kemarin kakinya terluka?" batinnya. Ia lalu menatap sapu tangan miliknya. Mendadak kegiatan makan anjing itu berhenti dan menatapnya tanpa disadari.
"Kakimu sudah sembuh." Isla berujar setengah tak percaya. Apa kali ini dia menemukan anak anjing yang lain?
Isla tidak henti-hentinya berdecak kagum. Gadis itu selama seharian memutari seisi hutan, memotret objek-objek di sana. Dengan seekor anjing kecil yang menemaninya, Isla menikmati waktunya selama berada di Trollehallar. Siapa sangka hutan yang katanya menyimpan kejadian misterius itu justru di dalamnya menyimpan berbagai hal menakjubkan."Kau pasti senang sekali berada di sini.Udara di sini begitu segar, aku bahkan menyukainya," ujarnya. Sang anak anjing hanya menatapnya. Namun secara tiba-tiba langkahnya mendadak berhenti dan kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menggonggong, lalu menarik-narik dress yang dikenakan Isla saat gadis itu sedang berjongkok hendak mengambil gambar seekor serangga."Ada apa?" tanyanya. Si anak anjing menggonggong kian keras, lalu berlari dengan cepat dari sana. Isla dibuat kebingungan dan ia langsung menyusul anak anjing itu, khawatir sesuatu kembali terjadi padanya."Ke-kenapa kau berlari? Apa ada sesuatu?"
"Ramalan cuaca pagi tadi mengatakan kalau hari ini akan cerah, tapi malah sebaliknya. Dasar payah." Teresa membuka mulutnya lebar lalu menggigit burger yang baru saja dibelinya di kantin. Ia mendengkus begitu hujan tiba-tiba turun, padahal tadi pagi cuaca masih cerah dengan matahari yang bersinar begitu terang.Di depannya, Isla ikut menatap keadaan di luar sana. Karena hujan, mau tidak mau semua murid menghabiskan waktu istirahat mereka di dalam ruangan. "Ramalan cuaca tidak selalu akurat. Mungkin saja ada perubahan angin." Ia lalu beranjak dari tempatnya."Kau mau ke mana? Burgermu kan belum datang." Teresa berujar."Aku mau ke toilet sebentar."Isla berjalan keluar dari kantin. Hujan membuat suhu di sekitarnya berubah menjadi sedikit lebih dingin. Hal itu sudah pasti berpengaruh padanya yang cukup sensitif terhadap dingin. Ginjalnya akan menyaring lebih banyak darah dan menghasilkan lebih banyak urine, sehingga membuatnya lebih sering b
"Kau pasti sudah gila." Teresa membuang napasnya kasar saat Isla melambaikan tangannya dari balik jendela bus. Entah apa yang ada di dalam otak sahabatnya itu, namun Teresa tak pernah paham, di saat orang lain menjauhi tempat misterius bernama Trollehallar, Isla justru terlihat seperti semakin tertarik dengan tempat yang satu itu.Bus perlahan melaju, membuat perasaan Teresa campur aduk seketika. Ia merasa seperti seorang ibu yang tengah melepaskan anak sematawayangnya untuk pergi merantau ke negeri orang.Sementara itu di dalam bus, Isla sudah terlihat sibuk mengotak-atik kameranya. Meskipun dalam hatinya ia masih merasa sedikit trauma dengan kejadian ajaib beberapa waktu lalu, tapi dia masih penasaran dengan tempat itu.Anak anjing, kebakaran, meteor jatuh, salju, serta laki-laki yang melemparkan batangan es padanya. Semua itu masih menyimpan banyak pertanyaan hingga detik ini. Isla tak habis pikir, di zaman seperti ini, masihkah ilmu sihir digunak
"Kenapa anak anjing itu selalu menunjukkan tatapan yang aneh? Warna bola matanya bisa berubah, kadang berwarna biru, lalu berubah menjadi merah.""Kau kenapa?" Maria bertanya pada Isla begitu menyadari kalau putrinya sedari tadi hanya melamun.Isla mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Hehe. Tidak ada.""Kalau begitu bukalah pintunya.Kedua mata Isla kembali berkedip dua kali. "Ha?""Dari tadi belnya berbunyi. Kau benar-benar tidak dengar, ya? Ya ampun." Maria membuang napas pelan seraya menatap putrinya. Ia menyimpan beberapa sayuran ke dalam kulkas.Sementara Isla bergegas membukakan pintu dan gadis itu tersenyum begitu melihat sesosok wanita yang ada di baliknya."Bibi ... " Isla langsung berhambur ke dalam pelukan wanita yang baru saja ia panggil bibi itu."Kupikir kau tidak ada di rumah," ujar sang bibi begitu pelukan mereka terlepas."Kakak~" Seorang a
Isla berjalan menyusuri rak-rak besar dan mengambil beberapa buku paket yang dia perlukan. Gadis itu kembali ke meja tempatnya dan Teresa saat sudah menemukan buku yang ia cari."Teresa?" panggil Isla pelan. Gadis itu sedikit menoleh ke penjaga perpustakaan, takut-takut wanita tua berkacamata itu akan menegurnya secara tiba-tiba karena mendengar suaranya."Kenapa?" Teresa yang tengah menulis itu berujar tanpa menghentikan aktivitas menulisnya."Apa kau pernah melihat murid sekolah kita yang berambut marun?" tanya Isla.Kening Teresa seketika mengerut, lalu gadis itu tampak menghentikan pergerakan tangannya dan beralih menatap Isla. "Apa maksudmu?" ujarnya."Ya, begitu. Murid yang rambutnya dicat berwarna marun. Apa kau pernah melihatnya?""Pasti murid itu sudah gila karena melakukan hal bodoh di sekolah kita. Isla, sudah kukatakan kalau di sekolah kita tidak ada murid seperti itu. Kurasa sebelumnya kau pernah menanyakan itu
"Kakak~"Kedua mata Isla seketika terbuka saat seseorang mengguncang tubuhnya pelan. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya dan menatap Jason yang entah kapan sudah berada di dalam kamarnya."Ada apa, Jason?" tanya gadis itu."Aku pamit pulang. Maaf karena mengganggu tidur Kakak." Jason mendadak memasang raut wajah bersalah karena merasa mengganggu tidur Isla."Tidak apa-apa." Isla tertawa pelan lalu mengusap puncak kepala Jason dengan tangannya."Ya ampun, Jason. Harusnya kau tidak mengganggu tidur Kak Isla." Sang ibu ikut masuk ke dalam kamar tidak lama setelahnya, membuat Jason semakin menunduk."Haha, tidak apa-apa, Bibi.""Kalau begitu kami pamit pulang, ya." Jason dan ibunya segera berpamitan dari sana.Sepeninggal mereka berdua, Isla termenung di posisinya. Gadis itu menatap ke sekitar dengan kedua alis yang bertaut."Apa tadi Jason dan Bibi berkata kalau aku tidur?" gumam Isla. Ga
Tiga minggu tidak terasa berlalu begitu saja setelah kejadian aneh yang dialami Isla di sekolah dan rumahnya. Gadis itu masih ingat dengan betul saat seorang lelaki bernama Kai datang mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia mengerti.Rhys. Isla ingat kalau Kai menyebutkan orang lain yang bernama Rhys. Namun siapa lagi itu? Isla sama sekali tak mengenalnya. Gadis itu bahkan tak tahu seperti apa rupa orang bernama Rhys itu.Dan yang jadi pertanyaannya lagi adalah, kenapa sosok bernama Kai itu sampai bisa datang ke rumahnya? Ibunya bahkan seperti tak menyadari kedatangan lelaki itu di sana."Sebenarnya apa mau dia?" gumam Isla. Setelah kejadian itu, ia demam selama hampir dua minggu dan mengharuskannya untuk tetap istirahat di rumah. Bahkan Teresa sampai beberapa kali menjenguknya karena khawatir.Isla mendudukkan tubuhnya di bawah sebuah pohon besar dan melihat-lihat hasil jepretannya hari ini. Ia tak pernah paha
"Dari mana kau menemukan anjing itu? Kau benar-benar mendapatkannya dari Trollehallar?" tanya Maria begitu ia memasuki kamar milik putrinya. Dilihatnya gadis itu tengah sibuk mengobati salah satu kaki anak anjing itu yang terluka."Hm." Hanya gumaman pelan yang keluar dari mulut Isla.Maria membuang napas pelan. Wanita itu meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja dan ikut mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang dan menatap anjing yang sesekali meringis kesakitan."Harusnya kau tidak membawanya pulang, Sayang.""Bu, aku tidak mungkin meninggalkan anjing malang ini di tengah hutan sendirian, apalagi Trollehallar adalah tempat yang berbahaya," ujar Isla."Jika kau sendiri saja tahu kalau Trollehallar itu adalah tempat yang berbahaya, lantas kenapa kau sendiri datang ke sana?"Isla terdiam sejenak. "Di sana menyimpan pemandangan yang indah," lirih gadis itu dengan bibir sedikit maju."Ingat, setelah anji