Isla tidak henti-hentinya berdecak kagum. Gadis itu selama seharian memutari seisi hutan, memotret objek-objek di sana. Dengan seekor anjing kecil yang menemaninya, Isla menikmati waktunya selama berada di Trollehallar. Siapa sangka hutan yang katanya menyimpan kejadian misterius itu justru di dalamnya menyimpan berbagai hal menakjubkan.
"Kau pasti senang sekali berada di sini.Udara di sini begitu segar, aku bahkan menyukainya," ujarnya. Sang anak anjing hanya menatapnya. Namun secara tiba-tiba langkahnya mendadak berhenti dan kepalanya dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menggonggong, lalu menarik-narik dress yang dikenakan Isla saat gadis itu sedang berjongkok hendak mengambil gambar seekor serangga.
"Ada apa?" tanyanya. Si anak anjing menggonggong kian keras, lalu berlari dengan cepat dari sana. Isla dibuat kebingungan dan ia langsung menyusul anak anjing itu, khawatir sesuatu kembali terjadi padanya.
"Ke-kenapa kau berlari? Apa ada sesuatu?" Napas Isla mulai terputus. Ia beberapa kali menoleh ke belakang namun tak menjumpai apapun, sampai akhirnya-
Kedua mata gadis itu mengerjap tanpa menghentikan laju kakinya. "Ini ... " Ia membuka telapak tangannya, lalu butiran-butiran halus berwarna putih jatuh ke permukaan kulitnya.
"Salju?" Mulut Isla setengah terbuka.
Sementara itu jauh di belakang mereka, tepatnya di tempat semula mereka berada, dua sosok lain muncul.
"Dia itu ... manusia, kan?" Salah satunya berujar. Sebuah tanda menyerupai kristal es di salah satu punggung tangannya bersinar dan dalam hitungan detik sebatang es menyerupai stalaktit sudah berada di genggaman tangannya. Melihat itu, rekannya hanya tersenyum seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Hanya dalam satu kedipan mata, batangan es itu melesat menuju ke arah Isla dan anak anjing tadi pergi.
"Kau jahil sekali." Rekannya menyeringai tipis.
Si pelaku hanya mengangkat kedua bahu. "Siapa sangka kalau ternyata Rhys akan mengubah wujudnya jadi seekor anjing? Sulit dipercaya karena dia bahkan bisa mengelabui Kai dan Hugo. Dia pasti memiliki tanda di kakinya," ujarnya. Ia mengangkat tangannya begitu buliran-buliran air berterbangan mengitari tubuhnya.
Slash!
Isla berhenti saat sesuatu menggores permukaan lehernya. Ia lalu melihat sebatang es seukuran ibu jari orang dewasa menancap di pohon, sebelum akhirnya menghilang bersamaan dengan butiran salju yang tadi berjatuhan. Si anak anjing yang juga melihatnya pun langsung berbalik dan mendapati Isla yang sudah duduk di atas permukaan tanah.
"Darah ... " Isla menatap telapak tangannya usai ia mengusap lehernya. Kedua matanya kehilangan fokus, pikirannya tak bisa dikendalikan.
Dari mana datangnya salju tadi bahkan ... batangan es?
Gadis itu menatap lurus ke arah anjing yang tampak menatap padanya. Isla segera berdiri begitu anak anjing itu mendekat.
"Aku pasti sudah gila," gumamnya seraya menatap telapak tangannya. "Di sini terlalu berbahaya untukmu. Sebaiknya kau ikut denganku," ujarnya. Ia hendak membawa anak anjing itu namun tiba-tiba saja hewan itu menggonggong dan berlari meninggalkan Isla di sana.
"He-hei, tunggu!" Isla dengan cepat mengejarnya, namun di luar dugaan kalau anak anjing itu rupanya membawanya ke titik awal di Trollehallar. Anjing itu menuntunnya keluar dari sana.
"Kau ingin aku pergi? Lalu bagaimana denganmu? Hutan ini tak aman. Kau sebaiknya ikut-" kalimat Isla berhenti saat salah satu kaki anjing itu bersinar, hingga pandangannya menjadi gelap.
"Pulanglah, di sini terlalu berbahaya untukmu. Dan jangan kembali lagi. Maaf."
***
"Ah, kepalaku pusing sekali." Isla mendudukkan tubuhnya begitu kepalanya berdenyut, seakan kalau dirinya minum alkohol semalaman.
"Kau sudah bangun?" tanya seseorang.
Isla menoleh ke sebelahnya dan terkejut bukan main saat melihat ibunya di sana. "Kenapa Ibu bisa berada di sini?" tanyanya.
Wanita yang tengah memegang remot TV itu menatap putrinya dengan salah satu alis terangkat. "Apa maksudku? Ini rumahku."
Isla menatap ke sekitarnya dan kian terkejut saat mengetahui kalau dirinya berada di rumah. "Bagaimana bisa? Aku tadi di-"
"Kepalamu pasti terbentur sesuatu. Kau kan tadi yang pulang sendiri. Astaga, bagaimana bisa kau lupa? Kau kan hanya ngantuk, bukan mabuk. Kau langsung tidur di sofa ini saat sampai. Kau benar-benar mengantuk, ya?"
Kedua alis Isla saling bertaut. Pandangannya lalu menatap layar TV yang menayangkan sebuah berita. Kedua matanya membulat melihat adanya kepulan asap di sana.
"Lihat, Trollehallar itu tempat yang berbahaya sekarang. Di tengah hujan begini, kobaran api di sana tidak padam sama sekali. Tidak ada yang berani mendekat ke sana, jadi Ibu minta kau pergi saja ke tempat lain."
Isla menoleh ke jendela dan langit tampak sudah gelap, disertai dengan gerimis dan beberapa kilatan petir.
"Sana bersihkan tubuhmu, lalu makanlah."
Isla meraih tasnya dan berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Sulit dipercaya, di mana jelas-jelas dirinya tadi berada di Trollehallar dan mendadak tak ingat apapun, lalu begitu sadar dirinya sudah berada di rumah secara ajaib.
Isla menaruh tasnya di atas ranjang. Ia langsung pergi ke kamar mandi namun gadis itu segera memutar tubuhnya ke belakang sesaat setelah melihat siluet seseorang di balkon kamarnya lewat pantulan cermin.
"Tidak ada siapa-siapa," gumamnya. "Tidak mungkin pencuri. Mungkin itu hanya orang iseng di tengah gerimis begini."
Gadis itu mendekati pintu kamar mandi, lalu berhenti saat tangannya sudah mencapai handle. Seketika tubuhnya membeku.
"Tapi ... kamarku berada di lantai dua, kan?"
***
"Sulit dipercaya. Kau mengubah wujudmu dan mengelabuiku, lalu bekerja sama dengan manusia. Kau lupa tujuan kita ke sini? Betelgeuse membutuhkan banyak hidrogen agar bisa kembali hidup, dan di bumi inilah hidrogen melimpah."
Terdengar ledakan cukup kuat setelahnya. Sosok yang tersungkur di atas permukaan tanah itu menatap beberapa orang di depannya. "Kita mungkin bisa menghidupkan kembali Betelgeuse, tapi tidak dengan cara merampas seperti ini. Kalau ternyata setelah semua ini Betelgeuse akan tetap musnah, maka terima saja." Ia mengerang begitu kakinya ditendang. Sosok dengan lambang segitiga itu lalu berjongkok.
"Dengar, Rhys. Kita tidak punya waktu untuk bermain-main. Sebelum cahaya di Betelgeuse benar-benar padam, kita hancurkan planet ini. Aku tidak tahu seberapa persen hidrogen di planet ini akan berpengaruh pada Betelgeuse karena keadaannya sudah bersenyawa dengan unsur lain di sini." Matanya yang berwarna merah tampak mengkilap begitu kobaran api di sekitarnya membesar. "Ingat, kerja sama itu penting." Ia menepuk bahu Rhys lalu beranjak dari tempatnya.
"Aku akan pergi ke bagian utara bersama Denzel. Hugo dan Aric akan pergi ke bagian selatan. Dan kau, tetap di sini dengan pengawasan Tao dan Herc. Jika kau sudah berubah pikiran, kau bisa memilih untuk ikut denganku, atau Hugo." Sosok bernama Kai itu sudah menghilang dalam sekejap bersama dengan si pengendali air.
Rhys mendudukan tubuhnya. Hujan dan kilatan petir di sana sudah berhenti.
"Denzel sudah mengetahui tentang gadis itu, asal kau tahu. Aku mungkin tidak tertarik berurusan dengannya, tapi Kai mungkin tertarik. Dia tadi menyuruh Denzel melacak keberadaannya dan yah, dia hanya manusia lemah. Tidak ada yang spesial." Salah satu sudut bibir Herc naik. Sebuah simbol di salah satu pergelangan tangannya tampak bersinar, dan terdengar suara gemuruh dari kejauhan tidak lama setelahnya.
"Ramalan cuaca pagi tadi mengatakan kalau hari ini akan cerah, tapi malah sebaliknya. Dasar payah." Teresa membuka mulutnya lebar lalu menggigit burger yang baru saja dibelinya di kantin. Ia mendengkus begitu hujan tiba-tiba turun, padahal tadi pagi cuaca masih cerah dengan matahari yang bersinar begitu terang.Di depannya, Isla ikut menatap keadaan di luar sana. Karena hujan, mau tidak mau semua murid menghabiskan waktu istirahat mereka di dalam ruangan. "Ramalan cuaca tidak selalu akurat. Mungkin saja ada perubahan angin." Ia lalu beranjak dari tempatnya."Kau mau ke mana? Burgermu kan belum datang." Teresa berujar."Aku mau ke toilet sebentar."Isla berjalan keluar dari kantin. Hujan membuat suhu di sekitarnya berubah menjadi sedikit lebih dingin. Hal itu sudah pasti berpengaruh padanya yang cukup sensitif terhadap dingin. Ginjalnya akan menyaring lebih banyak darah dan menghasilkan lebih banyak urine, sehingga membuatnya lebih sering b
"Kau pasti sudah gila." Teresa membuang napasnya kasar saat Isla melambaikan tangannya dari balik jendela bus. Entah apa yang ada di dalam otak sahabatnya itu, namun Teresa tak pernah paham, di saat orang lain menjauhi tempat misterius bernama Trollehallar, Isla justru terlihat seperti semakin tertarik dengan tempat yang satu itu.Bus perlahan melaju, membuat perasaan Teresa campur aduk seketika. Ia merasa seperti seorang ibu yang tengah melepaskan anak sematawayangnya untuk pergi merantau ke negeri orang.Sementara itu di dalam bus, Isla sudah terlihat sibuk mengotak-atik kameranya. Meskipun dalam hatinya ia masih merasa sedikit trauma dengan kejadian ajaib beberapa waktu lalu, tapi dia masih penasaran dengan tempat itu.Anak anjing, kebakaran, meteor jatuh, salju, serta laki-laki yang melemparkan batangan es padanya. Semua itu masih menyimpan banyak pertanyaan hingga detik ini. Isla tak habis pikir, di zaman seperti ini, masihkah ilmu sihir digunak
"Kenapa anak anjing itu selalu menunjukkan tatapan yang aneh? Warna bola matanya bisa berubah, kadang berwarna biru, lalu berubah menjadi merah.""Kau kenapa?" Maria bertanya pada Isla begitu menyadari kalau putrinya sedari tadi hanya melamun.Isla mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Hehe. Tidak ada.""Kalau begitu bukalah pintunya.Kedua mata Isla kembali berkedip dua kali. "Ha?""Dari tadi belnya berbunyi. Kau benar-benar tidak dengar, ya? Ya ampun." Maria membuang napas pelan seraya menatap putrinya. Ia menyimpan beberapa sayuran ke dalam kulkas.Sementara Isla bergegas membukakan pintu dan gadis itu tersenyum begitu melihat sesosok wanita yang ada di baliknya."Bibi ... " Isla langsung berhambur ke dalam pelukan wanita yang baru saja ia panggil bibi itu."Kupikir kau tidak ada di rumah," ujar sang bibi begitu pelukan mereka terlepas."Kakak~" Seorang a
Isla berjalan menyusuri rak-rak besar dan mengambil beberapa buku paket yang dia perlukan. Gadis itu kembali ke meja tempatnya dan Teresa saat sudah menemukan buku yang ia cari."Teresa?" panggil Isla pelan. Gadis itu sedikit menoleh ke penjaga perpustakaan, takut-takut wanita tua berkacamata itu akan menegurnya secara tiba-tiba karena mendengar suaranya."Kenapa?" Teresa yang tengah menulis itu berujar tanpa menghentikan aktivitas menulisnya."Apa kau pernah melihat murid sekolah kita yang berambut marun?" tanya Isla.Kening Teresa seketika mengerut, lalu gadis itu tampak menghentikan pergerakan tangannya dan beralih menatap Isla. "Apa maksudmu?" ujarnya."Ya, begitu. Murid yang rambutnya dicat berwarna marun. Apa kau pernah melihatnya?""Pasti murid itu sudah gila karena melakukan hal bodoh di sekolah kita. Isla, sudah kukatakan kalau di sekolah kita tidak ada murid seperti itu. Kurasa sebelumnya kau pernah menanyakan itu
"Kakak~"Kedua mata Isla seketika terbuka saat seseorang mengguncang tubuhnya pelan. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya dan menatap Jason yang entah kapan sudah berada di dalam kamarnya."Ada apa, Jason?" tanya gadis itu."Aku pamit pulang. Maaf karena mengganggu tidur Kakak." Jason mendadak memasang raut wajah bersalah karena merasa mengganggu tidur Isla."Tidak apa-apa." Isla tertawa pelan lalu mengusap puncak kepala Jason dengan tangannya."Ya ampun, Jason. Harusnya kau tidak mengganggu tidur Kak Isla." Sang ibu ikut masuk ke dalam kamar tidak lama setelahnya, membuat Jason semakin menunduk."Haha, tidak apa-apa, Bibi.""Kalau begitu kami pamit pulang, ya." Jason dan ibunya segera berpamitan dari sana.Sepeninggal mereka berdua, Isla termenung di posisinya. Gadis itu menatap ke sekitar dengan kedua alis yang bertaut."Apa tadi Jason dan Bibi berkata kalau aku tidur?" gumam Isla. Ga
Tiga minggu tidak terasa berlalu begitu saja setelah kejadian aneh yang dialami Isla di sekolah dan rumahnya. Gadis itu masih ingat dengan betul saat seorang lelaki bernama Kai datang mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia mengerti.Rhys. Isla ingat kalau Kai menyebutkan orang lain yang bernama Rhys. Namun siapa lagi itu? Isla sama sekali tak mengenalnya. Gadis itu bahkan tak tahu seperti apa rupa orang bernama Rhys itu.Dan yang jadi pertanyaannya lagi adalah, kenapa sosok bernama Kai itu sampai bisa datang ke rumahnya? Ibunya bahkan seperti tak menyadari kedatangan lelaki itu di sana."Sebenarnya apa mau dia?" gumam Isla. Setelah kejadian itu, ia demam selama hampir dua minggu dan mengharuskannya untuk tetap istirahat di rumah. Bahkan Teresa sampai beberapa kali menjenguknya karena khawatir.Isla mendudukkan tubuhnya di bawah sebuah pohon besar dan melihat-lihat hasil jepretannya hari ini. Ia tak pernah paha
"Dari mana kau menemukan anjing itu? Kau benar-benar mendapatkannya dari Trollehallar?" tanya Maria begitu ia memasuki kamar milik putrinya. Dilihatnya gadis itu tengah sibuk mengobati salah satu kaki anak anjing itu yang terluka."Hm." Hanya gumaman pelan yang keluar dari mulut Isla.Maria membuang napas pelan. Wanita itu meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja dan ikut mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang dan menatap anjing yang sesekali meringis kesakitan."Harusnya kau tidak membawanya pulang, Sayang.""Bu, aku tidak mungkin meninggalkan anjing malang ini di tengah hutan sendirian, apalagi Trollehallar adalah tempat yang berbahaya," ujar Isla."Jika kau sendiri saja tahu kalau Trollehallar itu adalah tempat yang berbahaya, lantas kenapa kau sendiri datang ke sana?"Isla terdiam sejenak. "Di sana menyimpan pemandangan yang indah," lirih gadis itu dengan bibir sedikit maju."Ingat, setelah anji
"Jadi, malam ini kau tidur di kamarku atau bagaimana? Jika ibuku tiba-tiba saja tahu dengan wujudmu yang asli, kau pasti akan langsung ditendang dari sini apalagi kau itu seorang laki-laki." Isla menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali."A-aku tidur di sini kalau begitu. Aku tidak akan bermacam-macam, sungguh." Rhys mencoba meyakinkan gadis yang berada di depannya.Isla menatap Rhys dari atas hingga bawah. "Baiklah. Kau bisa tidur di ranjang, sementara aku akan tidur di sofa.""Ha? Tidak perlu. Aku tidak mungkin membiarkan itu. Ini kan kamarmu, jadi kau sebaiknya tidur di kasurmu. Biar aku saja yang tidur di sofa," ujar Rhys."Kau yakin?"Rhys langsung menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Tidak apa-apa jika aku tidur di sofa."Isla terdiam sejenak dan gadis itu berjalan membuka lemari pakaiannya. Ia mengeluarkan sebuah selimut dari dalam dan memberikannya pada Rhys. "Kau mungkin akan merasa kedinginan. Jadi pakai saja se