"Kau pasti sudah gila." Teresa membuang napasnya kasar saat Isla melambaikan tangannya dari balik jendela bus. Entah apa yang ada di dalam otak sahabatnya itu, namun Teresa tak pernah paham, di saat orang lain menjauhi tempat misterius bernama Trollehallar, Isla justru terlihat seperti semakin tertarik dengan tempat yang satu itu.
Bus perlahan melaju, membuat perasaan Teresa campur aduk seketika. Ia merasa seperti seorang ibu yang tengah melepaskan anak sematawayangnya untuk pergi merantau ke negeri orang.
Sementara itu di dalam bus, Isla sudah terlihat sibuk mengotak-atik kameranya. Meskipun dalam hatinya ia masih merasa sedikit trauma dengan kejadian ajaib beberapa waktu lalu, tapi dia masih penasaran dengan tempat itu.
Anak anjing, kebakaran, meteor jatuh, salju, serta laki-laki yang melemparkan batangan es padanya. Semua itu masih menyimpan banyak pertanyaan hingga detik ini. Isla tak habis pikir, di zaman seperti ini, masihkah ilmu sihir digunakan? Jika semua yang terjadi itu bukan karena sihir, lalu karena apa? Bahkan NASA sendiri tak pernah membahas apa-apa tentang apa saja yang terjadi di Angelholm, tepatnya di Trollehallar. Kini NASA sibuk mengurusi kehidupan sekarat bintang raksasa bernama Betelgeuse di luar angkasa sana.
"Aku khawatir pada anak anjing itu. Apa dia baik-baik saja?" gumam Isla. Ia menatap ke luar jendela dan melihat pemandangan yang ia lewati menuju Angelholm. Ada satu lagi hal yang sampai sekarang masih dia pertanyakan. Kenapa dia seperti hilang ingatan begitu pulang dari Trollehallar? Naik apa dia ke rumah? Apa saja yang terjadi selama dia pulang? Sementara ibunya berkata kalau dirinya langsung tidur begitu sampai di rumah.
"Benar-benar tidak masuk akal," batin Isla. "Aku harus benar-benar mencari tahu apa saja yang terdapat di hutan Trollehallar itu.
Selang lima belas menit kemudian, bus akhirnya sampai di sebuah pemberhentian. Isla turun dan ia menatap ke sekitar. Gadis itu sempat ragu untuk melangkahkan kakinya menelusuri jalan setapak menuju Trollehallar, namun dia sudah jauh-jauh datang ke sana dan akan sangat disayangkan kalau dirinya langsung kembali tanpa membawa apa-apa.
Setidaknya, dia harus bisa mengurangi rasa penasarannya terhadap tempat itu, walau hanya sedikit dan dirinya masih diliputi rasa takut.
"Rasanya seperti sudah berbulan-bulan aku tidak memotret," gumamnya seraya menyalakan kamera. Ia membidikkan fokus terhadap seekor burung yang hinggap di papan penunjuk jalan bertuliskan Trollehallar. Kedua kaki milik Isla perlahan melangkah melewatinya, berjalan semakin dalam menelusuri hutan. Ia sudah beberapa kali ke sana namun tetap saja terpesona dengan keindahan alam yang ada di sana. Bahkan bekas kebakaran beberapa hari lalu sampai hilang dan sudah ditutupi oleh jamur-jamur kecil bahkan rerumputan liar hingga benar-benar tak tampak kalau tempat itu pernah terbakar hebat dalam waktu kurang dari seminggu.
"Kurasa orang-orang menyebut tempat ini sebagai hutan sihir itu memang tidak salah, karena semua yang ada di sini benar-benar terasa ajaib." Isla bergumam pelan seraya melihat hasil jepretannya.
Samar-samar ia mendengar gemersak di antara semak-semak. Tubuh Isla mendadak menegang, gadis itu terdiam di tempatnya dengan kedua bola mata yang berputar ke kanan dan ke kiri, dalam hati ia berdoa agar ia tak melihat sesuatu yang tak diinginkannya, termasuk pemuda yang membawa es beberapa waktu lalu. Isla refleks memegang sebuah luka ringan di lehernya yang timbul karena goresan es itu. Membayangkannya saja sudah membuat ia merinding bukan main.
Manusia mana yang bisa secara ajaib mengeluarkan es dari tubuhnya, atau yang lebih aneh lagi, dia bisa mengatur salju yang jatuh ke bumi. Apa dia anak Tuhan? Dewa Salju? Atau apa?
Isla menelan ludahnya dengan susah payah. Perlahan ia mencoba berbalik dan menatap ke belakang, namun tak melihat adanya hal mencurigakan. Namun saat ia hendak kembali melangkah, suara itu kembali terdengar.
"Apa mungkin itu anak anjing yang waktu itu?" Kedua mata Isla mengerjap. Mendadak ia khawatir dengan makhluk kecil itu, takut jika ternyata anak anjing itu kembali terluka parah sama seperti sebelumnya.
Jika itu bukan anak anjing, mungkinkah pria es waktu itu?
Kedua kaki Isla seketika bergerak mundur. Di saat yang bersamaan, tubuhnya tiba-tiba terdorong dengan cukup kuat hingga akhirnya ia jatuh ke permukaan tanah dengan kasar. Lalu tidak lama setelahnya, ia melihat ada kayu yang berukuran cukup besar jatuh hampir menimpa dirinya.
"Ya Tuhan, aku pasti sudah mati jika tidak berhasil menghindar." Napas Isla terengah. Gadis itu begitu bersyukur karena bisa selamat. Lalu bersamaan dengan itu, ia melihat sesuatu di dekatnya.
"Kau ... " Kedua pupil mata Isla melebar. Anak anjing yang tadi ia khawatirkan rupanya ada di sana, dan ia lagi-lagi menolongnya. "Kau baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan kakimu? Apa kakimu sakit lagi?" Isla buru-buru bangkit dari posisinya dan menghampiri si anaj anjing.
Namun belum ia menyentuh hewan itu, Isla mendadak terdiam. Kedua matanya perlahan membulay.
"Matamu ... " Gadis itu terdiam. Ia perlahan bergerak mundur menjauhi anak anjing itu. Sementara kedua mata si anak anjing tampak bergerak seakan tengah gelisah. Atau mungkin lebih tepatnya panik?
"Siapa kau? Makhluk apa ... kau?" Napas Isla tercekat. Gadis itu semakin menjauhkan tubuhnya. Kedua mata anak anjing itu terlihat merah menyala, cenderung mengerikan. Perlahan hewan itu bergerak mendekati Isla namun gadis itu lagi-lagi menjauh.
"Jangan mendekat!" ujarnya cepat. Gadis itu bangkit dan ia berlari secepat yang ia bisa. Isla keluar dari Trollehallar dan bergerak melewati pemberhentian bus yang seharusnya. Hari semakin sore dan ia tak ingin terjadi sesuatu yang aneh lagi di sana.
Sementara si anak anjing menatap kepergian Isla dengan kedua mata yang berubah sendu. Bola mata yang semula merah menyala itu kembali berubah menjadi warna biru safir yang meneduhkan. Ia hendak mengejar Isla namun seseorang menghentikannya.
"Hentikan. Kau akan semakin membuatnya ketakutan." Sosok itu berujar pelan
Tubuhnya yang semula berbentuk anak anjing itu perlahan berubah menjadi sosok menyerupai manusia.
"Apa aku membuatnya terluka?" Seseorang berujar seraya menatap ke arah Isla pergi barusan. Menyadari tak ada jawaban, ia kembali berkata, "Rhys? Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Pemuda bernama Rhys itu masih terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "aku tak apa."
"Lalu bagaimana dengan gadis itu? Apa aku membuatnya terluka?"
Rhys membuang napasnya pelan. "Tidak, kau tidak membuatnya terluka. Tapi kau berhasil membuatnya takut padaku," ujarnya.
"Aku tak sengaja, sungguh. Aku juga tidak tahu kalau gadis itu akan datang lagi."
"Tak masalah. Setidaknya aku berhasil menyelamatkannya dengan tepat waktu." Rhys berjalan melewati temannya. "Ingat, kita masih harus memfokuskan pencarian terhadap Kai dan orang-orangnya. Jika kita sampai lengah, maka planet ini yang akan jadi taruhannya."
"Kenapa anak anjing itu selalu menunjukkan tatapan yang aneh? Warna bola matanya bisa berubah, kadang berwarna biru, lalu berubah menjadi merah.""Kau kenapa?" Maria bertanya pada Isla begitu menyadari kalau putrinya sedari tadi hanya melamun.Isla mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Hehe. Tidak ada.""Kalau begitu bukalah pintunya.Kedua mata Isla kembali berkedip dua kali. "Ha?""Dari tadi belnya berbunyi. Kau benar-benar tidak dengar, ya? Ya ampun." Maria membuang napas pelan seraya menatap putrinya. Ia menyimpan beberapa sayuran ke dalam kulkas.Sementara Isla bergegas membukakan pintu dan gadis itu tersenyum begitu melihat sesosok wanita yang ada di baliknya."Bibi ... " Isla langsung berhambur ke dalam pelukan wanita yang baru saja ia panggil bibi itu."Kupikir kau tidak ada di rumah," ujar sang bibi begitu pelukan mereka terlepas."Kakak~" Seorang a
Isla berjalan menyusuri rak-rak besar dan mengambil beberapa buku paket yang dia perlukan. Gadis itu kembali ke meja tempatnya dan Teresa saat sudah menemukan buku yang ia cari."Teresa?" panggil Isla pelan. Gadis itu sedikit menoleh ke penjaga perpustakaan, takut-takut wanita tua berkacamata itu akan menegurnya secara tiba-tiba karena mendengar suaranya."Kenapa?" Teresa yang tengah menulis itu berujar tanpa menghentikan aktivitas menulisnya."Apa kau pernah melihat murid sekolah kita yang berambut marun?" tanya Isla.Kening Teresa seketika mengerut, lalu gadis itu tampak menghentikan pergerakan tangannya dan beralih menatap Isla. "Apa maksudmu?" ujarnya."Ya, begitu. Murid yang rambutnya dicat berwarna marun. Apa kau pernah melihatnya?""Pasti murid itu sudah gila karena melakukan hal bodoh di sekolah kita. Isla, sudah kukatakan kalau di sekolah kita tidak ada murid seperti itu. Kurasa sebelumnya kau pernah menanyakan itu
"Kakak~"Kedua mata Isla seketika terbuka saat seseorang mengguncang tubuhnya pelan. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya dan menatap Jason yang entah kapan sudah berada di dalam kamarnya."Ada apa, Jason?" tanya gadis itu."Aku pamit pulang. Maaf karena mengganggu tidur Kakak." Jason mendadak memasang raut wajah bersalah karena merasa mengganggu tidur Isla."Tidak apa-apa." Isla tertawa pelan lalu mengusap puncak kepala Jason dengan tangannya."Ya ampun, Jason. Harusnya kau tidak mengganggu tidur Kak Isla." Sang ibu ikut masuk ke dalam kamar tidak lama setelahnya, membuat Jason semakin menunduk."Haha, tidak apa-apa, Bibi.""Kalau begitu kami pamit pulang, ya." Jason dan ibunya segera berpamitan dari sana.Sepeninggal mereka berdua, Isla termenung di posisinya. Gadis itu menatap ke sekitar dengan kedua alis yang bertaut."Apa tadi Jason dan Bibi berkata kalau aku tidur?" gumam Isla. Ga
Tiga minggu tidak terasa berlalu begitu saja setelah kejadian aneh yang dialami Isla di sekolah dan rumahnya. Gadis itu masih ingat dengan betul saat seorang lelaki bernama Kai datang mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia mengerti.Rhys. Isla ingat kalau Kai menyebutkan orang lain yang bernama Rhys. Namun siapa lagi itu? Isla sama sekali tak mengenalnya. Gadis itu bahkan tak tahu seperti apa rupa orang bernama Rhys itu.Dan yang jadi pertanyaannya lagi adalah, kenapa sosok bernama Kai itu sampai bisa datang ke rumahnya? Ibunya bahkan seperti tak menyadari kedatangan lelaki itu di sana."Sebenarnya apa mau dia?" gumam Isla. Setelah kejadian itu, ia demam selama hampir dua minggu dan mengharuskannya untuk tetap istirahat di rumah. Bahkan Teresa sampai beberapa kali menjenguknya karena khawatir.Isla mendudukkan tubuhnya di bawah sebuah pohon besar dan melihat-lihat hasil jepretannya hari ini. Ia tak pernah paha
"Dari mana kau menemukan anjing itu? Kau benar-benar mendapatkannya dari Trollehallar?" tanya Maria begitu ia memasuki kamar milik putrinya. Dilihatnya gadis itu tengah sibuk mengobati salah satu kaki anak anjing itu yang terluka."Hm." Hanya gumaman pelan yang keluar dari mulut Isla.Maria membuang napas pelan. Wanita itu meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja dan ikut mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang dan menatap anjing yang sesekali meringis kesakitan."Harusnya kau tidak membawanya pulang, Sayang.""Bu, aku tidak mungkin meninggalkan anjing malang ini di tengah hutan sendirian, apalagi Trollehallar adalah tempat yang berbahaya," ujar Isla."Jika kau sendiri saja tahu kalau Trollehallar itu adalah tempat yang berbahaya, lantas kenapa kau sendiri datang ke sana?"Isla terdiam sejenak. "Di sana menyimpan pemandangan yang indah," lirih gadis itu dengan bibir sedikit maju."Ingat, setelah anji
"Jadi, malam ini kau tidur di kamarku atau bagaimana? Jika ibuku tiba-tiba saja tahu dengan wujudmu yang asli, kau pasti akan langsung ditendang dari sini apalagi kau itu seorang laki-laki." Isla menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali."A-aku tidur di sini kalau begitu. Aku tidak akan bermacam-macam, sungguh." Rhys mencoba meyakinkan gadis yang berada di depannya.Isla menatap Rhys dari atas hingga bawah. "Baiklah. Kau bisa tidur di ranjang, sementara aku akan tidur di sofa.""Ha? Tidak perlu. Aku tidak mungkin membiarkan itu. Ini kan kamarmu, jadi kau sebaiknya tidur di kasurmu. Biar aku saja yang tidur di sofa," ujar Rhys."Kau yakin?"Rhys langsung menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Tidak apa-apa jika aku tidur di sofa."Isla terdiam sejenak dan gadis itu berjalan membuka lemari pakaiannya. Ia mengeluarkan sebuah selimut dari dalam dan memberikannya pada Rhys. "Kau mungkin akan merasa kedinginan. Jadi pakai saja se
Isla berusaha untuk fokus menulis dan mengabaikan ocehan gadis di sebelahnya. Teresa sedari tadi pun sibuk sendiri mengatakan berbagai hal mengenai lelaki bernama Alex yang berasal dari kelas lain. Gadis itu tidak menyerah dan bersikeras menjodohkan Isla dengan pemuda itu tanpa ada kapoknya, padahal Isla sendiri sudah berkali-kali berkata kalau dirinya tak menyukai Alex sedikit pun. Ia hanya menganggap lelaki itu sebagai teman dan rekan berbagai materi pembelajaran saat ada yang tak ia mengerti, namun Teresa justru selalu salah paham dan menganggapnya lebih."Berhentilah membicarakannya karena itu tidak ada gunanya sama sekali," ujar Isla.Teresa seketika mengatupkan bibirnya dan kedua pipinya menggembung. "Kau benar-benar tidak asyik. Kenapa kau terus menolak Alex?" balasnya.Isla seketika mendelik. "Teresa, kau juga tidak asyik. Kenapa kau selalu berusaha menjodohkan aku dengan Alex? Memangnya selama ini dia berkata kalau dirinya menyukaiku? Tidak, kan?
Isla menggigit permen kapas yang ia beli beberapa saat yang lalu bersama dengan Teresa. Mereka berdua menghabiskan waktu di sebuah taman bermain. Keduanya memang cukup sering menghabiskan waktu bersama setiap kali akhir pekan tiba. Jika sedang tidak ada tugas, maka keduanya akan langsung membuat rencana pergi berdua ke beberapa tempat untuk menghabiskan waktu.“Beberapa hari terakhir hujan terus saja turun di Goteborg, sementara ramalan cuaca selalu berkata kalau cuaca akan cerah sepanjang hari.” Teresa terlihat menggembungkan kedua pipinya dan terlihat kecewa. Gadis itu dan keluarganya sudah merencanakan liburan bersama namun selalu berakhir gagal karena terhalang cuaca yang buruk. Padahal awalnya Teresa begitu senang karena sang ayah sedang memiliki waktu luang bersamanya.Isla memelankan tempo kunyahannya begitu mendengar ucapan Teresa barusan. Gadis itu mendadak merasa tidak nyaman, entah kenapa. Ia merasa kalau cuaca yang mudah beruba