Mereka bertiga pergi menggunakan mobil Honda Jazz Tante Dewi yang berwarna merah. Rahma duduk di depan samping Dewi.
Sementara Nayla masih membuka pagar untuk mobil itu keluar. Saat Nayla akan menutup pagar, sinden merah berdiri tepat di depan pintu rumah. Tatapan tajam mengarah padanya. Tapi Nayla merasa ada sesuatu yang berbeda dari sinden itu.
"Dia lagi? Tapi, sepertinya agak berbeda? Apa cuma perasaan aku yang merasa dia ada perbedaan?" batin Nayla. Sesekali ia melirik ke arah sinden itu dengan rasa takut.
"Nay, ayo naik!" panggil Tante Dewi dari dalam mobil.
"Iya, Tan. Maaf." Berlari kecil Nayla membuka pintu tengah mobil lalu masuk.
Karena jarak yang tidak terlalu jauh, mobil merah Tante Dewi sudah sampai di sebuah rumah makan soto Lamongan Cak Kholid yang sangat ramai pembeli. Setelah mendapatkan tempat parkir, mereka bertiga turun dan berjalan masuk ke dalam restoran.
"Ma, aku sama Mbak Nayla cari tempat duduk ya!" seru Rahma.
"Iya, biar mama yang pesan, kalian maunya minum apa?"
"Rahma es jeruk manis, Ma."
"Nayla es teh manis aja, Tante."
Rahma dan Nayla mendapat tempat duduk di paling sudut dekat kolam ikan.
"Ramai banget ya yang makan soto," kata Nayla sambil menarik kursi kayu.
"Iya Mbak Nay, wong sotonya gini," ujar Rahma dengan menunjukkan dua jempol tangannya.
Tak lama, Tante Dewi berjalan menuju mereka berdua. Wanita paruh baya yang masih terpancar aura kecantikan dan keibuannya itu duduk menghadap ke arah Nayla dan Rahma yang duduk berdampingan.
"Nay, gimana tadi?"
"Alhamdulillah, Tan, Nayla keterima kerja di bank ternama di Indonesia!" ucap Nayla dengan begitu gembira.
"Alhamdulillah, kamu sudah kasih kabar orangtua kamu?"
"Sudah, Tan. Bunda juga nanyain kabar Tante Dewi."
Sejenak pembicaraan Nayla dan Dewi terhenti, karena pelayan mengantarkan pesanan makanan dan minuman ke meja mereka.
"Oh ya, Tante nanti telepon bunda kamu. Sekarang kalian makan dulu," suruh Dewi.
Karena perut yang sudah lapar, soto itu langsung dilahapnya. Hingga tak sengaja Rahma menyenggol mangkok soto milik Nayla sampai kuah soto yang kuning tumpah di baju Nayla yang berwarna putih.
"Yah ... maaf, Mbak, maaf. Aku enggak sengaja," kata Rahma merasa bersalah.
"Rahma! Kamu hati-hati dong. Jangan buru-buru makannya. Kasihan 'kan Nayla itu bajunya jadi kotor kena kuah soto!" Dewi marah terhadap anaknya
"Udah, Tante, enggak apa-apa. Rahma juga 'kan enggak sengaja."
"Iya udah, mau Tante bantuin, Nay?" tawar wanita cantik itu.
"Hehehe enggak usah, Tan."
Nayla beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju toilet di ujung ruangan. Saat memasuki toilet, Nayla merasa buku kuduknya merinding dan ia mencium aroma wangi melati yang begitu menyengat.
Gadis cantik itu sampai menutup hidung karena tak menyukai aroma melati yang menurutnya adalah aroma makhluk halus seperti kuntilanak.
"Bau siapa sih ini? Parfumnya enggak enak banget. Kenapa harus memilih parfum wangi melati dari sekian banyak wangi parfum yang lain." Nayla terus mengomel sambil mengucek kaosnya yang kotor di wastafel.
Keadaan toilet tersebut sangat sepi dan hening. Dan Nayla baru menyadarinya. Bulu di seluruh tubuhnya menjadi berdiri merinding. Beberapa kali Nayla mengusap tengkuknya yang terasa dingin, seperti ada yang meniupnya.
Nayla menoleh ke kanan dan kiri. Kedua matanya mengedar ke sekitarnya.
"Enggak ada siapa-siapa," ucapnya pada diri sendiri.
Saat Nayla akan mencuci tangan di wastafel. Ia menyalakan kran air, sambil Nayla terus melihat ke kaca kecil yang berada di atas wastafel. Ia terus memperhatikan wajahnya yang terlihat lelah.
"Pasti seharian ini aku kurang istirahat."
Lalu ia sengaja untuk mencuci wajahnya. Dibasuhnya air tersebut ke wajah Nayla. Sejenak hidungnya mencium aroma tak sedap. Seperti bau anyir darah. Nayla terus mengendus-enduskan hidungnya.
Betapa kagetnya saat ia melihat wajahnya sudah berlumuran darah. Begitu juga air yang keluar dari kran wastafel tersebut berwarna merah seperti darah yang berbau amis dan anyir. Nayla berteriak kencang karena terkejut.
Sementara Tante Dewi dan Rahma yang menunggu Nayla merasa aneh karena Nayla tak kunjung keluar dari toilet.
"Rahma, kamu susul Mbak Nayla, deh. Kok lama betul!" suruh Tante Dewi.
"Paling kebelet kali, Ma. Kalau enggak gitu ya antri di toiletnya," ucap Rahma sambil menikmati soto.
"Eh ... orang mama lihat dari tadi enggak ada orang yang masuk ke toilet. Cepat sana, susul Mbak Naya!"
"Yah ... Mama. Ya udah Rahma ke toilet dulu."
Gadis manis itu beranjak dari kursinya. Lalu berjalan malas menuju toilet. Toilet yang sepi membuat Rahma sejenak menghentikan langkah kakinya.
"Benar kata mama. Sepi banget. Tapi ngapain Mbak Nayla kok lama? Pasti kebelet kali ya."
Rahma berjalan masuk ke toilet. Seketika ia kaget saat melihat Nayla duduk di sudut toilet. Kedua kakinya ditekuk di depan dada. Wajahnya dibenamkan di kedua lututnya.
Tampak tubuh Nayla bergetar. Terlihat dari kedua bahunya. Rahma menghampiri Nayla dan menyentuh pundak Nayla perlahan.
"Mbak Nay," panggil Rahma membuat Nayla terkejut.
"Daraaah ..." jerit Nayla kencang.
"Darah apa, Mbak?" tanya Rahma tak mengerti.
"Rahma! Ada darah di wastafel itu." Tunjuk Nayla.
Rahma mengarahkan pandangannya mengikuti arah tangan Nayla. Kran air masih dibiarkan menyala. Rahma yang sedang berjongkok langsung berdiri dan segera mematikan kran air tersebut.
"Air itu, Mbak, bukan darah."
Nayla kaget mendengar ucapan Rahma. Ia berusaha berdiri dibantu oleh saudaranya itu. Mereka berdua mendekati wastafel yang dimaksud Nayla.
Rahma menyalakan wastafel itu. Air jernih dan segar keluar dari kran dan bukan darah seperti yang dikatakan Nayla.
Nayla tercekat, ia menelan salivanya berkali-kali. Padahal jelas ia tadi melihat air itu berwarna merah seperti darah.
"Bukan darah 'kan, Mbak Nay."
"T-tapi aku benar melihat darah keluar dari wastafel, Ma."
"Ini air, Mbak. Itu 'kan air." Rahma sengaja mencuci tangannya dan mencipratkan sedikit ke wajah Nayla.
Sementara itu, Nayla masih bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya. Segera Rahma menarik tangan Nayla keluar dari toilet.
Dari kejauhan, Tante Dewi melihat anak dan keponakannya keluar. Perempuan cantik itu merasa lega melihat Nayla baik-baik saja. Senyum lembut mengembang di wajahnya yang masih terlihat cantik walaupun sudah berumur sekitar tiga puluh lima tahunan.
"Ma, jangan bilang Tante Dewi soal tadi di toilet ya."
"Yang Mbak Nayla melihat darah di wastafel?"
Nayla menganggukan kepalanya kuat. Lalu ia menoleh pada Rahma dengan wajah yang memelas seperti memohon.
"Iya iya. Aku enggak cerita sama mama. Jangan pasang muka gembel gitu ah!"
"Enak aja gembel!" seru Nayla pada Rahma.
Mereka berdua kembali duduk di kursi masing-masing. Tante Dewi langsung bertanya pada Nayla kenapa ia lama di toilet. Dengan alasan tiba-tiba kebelet, Tante Dewi pun percaya. Tanpa sepengetahuan Tante Dewi, Rahma dan Nayla saling berpandangan.
Bersambung
***
Mereka berdua kembali duduk di kursi masing-masing. Tante Dewi langsung bertanya pada Nayla kenapa ia lama di toilet. Dengan alasan tiba-tiba kebelet, Tante Dewi pun percaya. Tanpa sepengetahuan Tante Dewi, Rahma dan Nayla saling berpandangan.Sekitar hampir setengah jam mereka menyelesaikan makan dan saling mengobrol tentang tes Nayla hari ini."Tante senang, akhirnya kamu berhasil meraih cita-cita kamu," ujar Tante Dewi."Terimakasih, Tante. Nayla juga sangat bersyukur. Enggak menyangka bisa keterima di bank ternama."Setelah membayar, Dewi, Rahma, dan Nayla berjalan ke parkiran menuju mobil. Tante Dewi memberikan uang pada bapak tukang parkir yang sudah tua.Namun, saat Nayla berjalan melewati bapak tua, tiba-tiba lengannya ditarik oleh bapak itu. Membuat Nayla langsung menoleh ke arah yang menariknya."Ada apa, Pak?" tanya Nayla."Hati-hati. Kamu selalu diikuti oleh dia!"Pandangan mata bapak tukang parkir mengarah pada sesua
Nayla berjalan meninggalkan Tante Dewi dan Rahma yang masih duduk di ruang TV. Saat ia akan membuka pintu kamar. Nayla sejenak menoleh ke ruang dapur dan ruang makan. Nayla masih terbayang sosok sinden dan Wisnu yang sangat menyeramkan bagi Nayla.Tanpa sepengetahuan Nayla, Rahma tak sengaja melihat Nayla yang berdiri terdiam di depan pintu kamar. Kedua matanya menatap ke arah dapur. Tak lama, Nayla pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu."Pasti Mbak Nayla tadi berbohong soal kangen dengan Mas Wisnu. Ini pasti ada hubungannya dengan sosok sinden dan tusuk konde yang dimiliki Mbak Nay." kata Rahma dalam benaknya.***Malam mulai semakin merangkak naik. Suasana rumah itu sudah sangat sepi dan hening. Nampaknya semua penghuni rumah sudah terlelap dalam tidur masing-masing. Tapi tidak demikian dengan Nayla yang sepertinya tidak bisa tidur.Tampak gadis itu membolak-balikan tubuhnya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya. Tapi bayangan mengerikan te
Disaat Nayla penasaran dan bertanya-tanya tentang kabar Wisnu, terdengar sebuah suara memanggil namanya. Nayla menoleh ke asal suara. Angel yang turun dari taxi online berlari ke arah Nayla."Nay!" panggil Angel dengan melambaikan tangan.Nayla membalas lambaian tersebut sambil berusaha tersenyum, walaupun hatinya sedang gundah gulana. Sesekali ia melirik ke hpnya berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Wisnu."Nay, kamu sampai jam berapa?" tanya Angel saat sudah berhadapan dengan Nayla."Baru juga kok. Aku juga lagi nunggu kamu.""Oh ya udah, kita masuk yuk. Tunggu di dalam, adem. Di sini panas.""Eh, tau adem kamu?""Tau, sedikit, hehehehe. Ayo!" Angel langsung menarik tangan Nayla.Mereka berdua berlari kecil memasuki lobby rumah sakit. Di depan, mereka menuju ke bagian resepsionis administrasi. Angel dan Nayla langsung mendapatkan nomor antrian karena memang sudah terdaftar dari bank.Angel mengajak Nayla untuk mencari t
"Ya ampun ... paling juga orang iseng, Nay. Eh, tapi kalau itu orang yang mau kasih kabar tentang pacar kamu, gimana?" Angel melotot ke arah Nayla.Seketika kedua mata Nayla semakin membulat lebar."Oh ya ya, coba aku telepon lagi."Nayla kembali menelepon nomer tidak dikenal itu. Teleponnya lagi-lagi tidak diangkat. Nayla menggelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih pada Angel."Sudah tenang aja. Mungkin orang iseng." Angel berusaha membuat Nayla agar tidak bersedih.Saat Angel dan Nayla sedang menunggu nama mereka dipanggil. Hp Nayla bergetar. Ia langsung melihat hpnya. Tertulis sebuah nomer yang dari tadi berusaha ia telepon. Nayla pun segera mengangkat telepon itu."Halo.""Halo, apa benar ini nomer Mbak Nayla?" tanya seorang lelaki dari seberang telepon."Iya. Ini siapa ya?""Saya, Aldo, adik dari Mas Wisnu.""Wisnu? Dimana Wisnu sekarang, Do?" tanya Nayla begitu penasaran dan khawatir.Tiba-t
Saat Nayla akan masuk ke dalam rumah, kedua matanya melihat sosok sinden merah yang berdiri di depan pintu rumah Tante Dewi. Sosoknya begitu mengerikan dengan wajah pucat penuh luka."Oh tidak! Kenapa dia muncul lagi?" Nayla seketika menutup wajahnya melihat sosok mengerikan itu."Nay?" Angel menepuk bahu Nayla pelan."Ada sinden merah itu, Ngel," ujar Nayla yang masih menutupi wajahnya.Angel menoleh ke kakan dan kiri. Namun tak ada siapa pun."Enggak ada siapa-siapa kok, Nay. Kamu coba lihat aja," kata Angel.Perlahan Nayla mulai membuka kedua tangannya dari wajah. Ia sedikit menyipitkan mata untuk melihat. Sosok sinden itu sudah tidak ada di depan pintu. Nayla mengedarkan pandangannya ke segela arah.Melihat raut wajah Nayla yang ketakutan membuat Angel bertanya pada temannya itu."Kamu kenapa sih, Nay? Dari kemaren kamu kayaknya sebut-sebut sinden merah." Angel tampak sedang mengingat kejadian kemarin saat ia da
Nayla masih berdiri menatap Angel. Begitu juga dengan Angel yang masih menoleh ke belakang sambil melambaikan tangannya.Tiba-tiba raut wajah Angel berubah menjadi ketakutan saat melihat sinden merah itu berdiri di samping Nayla persis. Dengan kepalanya dan badannya yang berdarah.Setelah motor itu berbelok, Angel hanya terdiam. Tampak ada sesuatu yang sedang ia pikirkan."Nanti aku coba telepon Nayla aja deh," ucap Angel pada dirinya sendiri.Saat motor ojek Angel keluar dari perumahan, bersamaan dengan itu motor Rahma memasuki perumahan.Ketika Nayla akan menutup pagar, terdengar suara motor Rahma."Mbak, Nay!" panggil Rahma. Membuat gadis itu menoleh lalu membukakan pagar untuknya.Rahma memasukan motornya ke halaman. Melepas helm dan menaruhnya di lemari."Mbak, kenapa, kok menangis?" tanya Rahma saat melihat Nayla yang lesu dengan kedua mata yang berkaca-kaca ingin menangis.Nayla langsung memeluk Rahma, tangisny
"Bahaya gimana maksud kamu?" Nayla menoleh dan menatap pada Rahma."Ya, 'kan tusuk konde itu Mbak Nayla ambil di tempat yang terkenal angker. Apa enggak sebaiknya, tusuk konde itu dikembalikan ke tempat Mbak Nayla ketemu."Nayla sejenak terdiam. Ia seolah sedang memikirkan perkataan Rahma."Enggak, Ma. Sama aja. Mau aku buang di mana aja juga sama, Ma." sahut Nayla. Kemudian ia kembali masuk ke dalam kamarnya.Rahma hanya menatap punggung Nayla yang masuk ke dalam kamar."Mbak Nayla kalau dibilangin mesti ngenyel," keluh Rahma.Beberapa saat kemudian, terdengar suara mobil Tante Dewi yang baru saja pulang.Saat Dewi akan turun dari mobil untuk membuka pagar, dari dalam rumah tampak Rahma sudah keluar membukakan pagar untuknya."Sudah pulang, Sayang?""Sudah, Ma."Ia memakirkan mobilnya di garasi samping rumah, tepat sebelah motor Rahma."Katanya kamu ada kerja kelompok?" tanyanya saat turun dari mobil
"Oh ya, kamu kapan pulang?""Rencananya, nanti aku mau cari tiket kereta untuk pulang besok, Ngel.""Nay, aku boleh ikut kamu ke kampung enggak?""Hahhh?" Nayla begitu terkejut dengan ucapan Angel."Iya, Nay, aku sudah meminta ijin sama mama dan papa. Gimana, boleh enggak, Nay? Biar kamu juga enggak sendirian, Nay," ocehnya panjang lebar."Tapi rumahku di kampung jelek, Ngel, kamu enggak apa-apa?""Tenang aja, Nay, enggak masalah. Lagi pula besok kedua orang tuaku ada urusan bisnis ke luar kota selama seminggu. Dari pada aku sendirian, mending aku temenin kamu," jelas Angel."Makasih ya, kamu sudah mau temenin aku, Ngel. Ya sudah nanti aku sekalian carikan tiket buat kamu. Nanti kirimin foto KTP kamu ya.""Okey, Nay. Nanti aku transfer uang tiketnya ke kamu.""Gampang itu, Ngel. Ya sudah aku mau siapin baju sama cari tiket. Nanti aku kabarin kamu.""Okey, Nay. Aku kirim foto KTP sekarang.""Iya. Assal