Mereka berdua kembali duduk di kursi masing-masing. Tante Dewi langsung bertanya pada Nayla kenapa ia lama di toilet. Dengan alasan tiba-tiba kebelet, Tante Dewi pun percaya. Tanpa sepengetahuan Tante Dewi, Rahma dan Nayla saling berpandangan.
Sekitar hampir setengah jam mereka menyelesaikan makan dan saling mengobrol tentang tes Nayla hari ini.
"Tante senang, akhirnya kamu berhasil meraih cita-cita kamu," ujar Tante Dewi.
"Terimakasih, Tante. Nayla juga sangat bersyukur. Enggak menyangka bisa keterima di bank ternama."
Setelah membayar, Dewi, Rahma, dan Nayla berjalan ke parkiran menuju mobil. Tante Dewi memberikan uang pada bapak tukang parkir yang sudah tua.
Namun, saat Nayla berjalan melewati bapak tua, tiba-tiba lengannya ditarik oleh bapak itu. Membuat Nayla langsung menoleh ke arah yang menariknya.
"Ada apa, Pak?" tanya Nayla.
"Hati-hati. Kamu selalu diikuti oleh dia!"
Pandangan mata bapak tukang parkir mengarah pada sesuatu. Nayla mengerutkan kening. Lalu mengikuti arah pandangannya.
"Sinden merah itu!" desis Nayla lirih namun masih bisa didengar oleh bapak tukang parkir.
"Apa kamu mengenalnya, Cah Ayu?"
"Tidak, Pak. Saya tidak kenal. Tapi dia selalu mengikuti saya."
"Kamu harus hati-hati. Dia bukan orang yang baik. Dia jahat! Pasti ada sesuatu yang ia inginkan dari kamu. Lebih baik cepat kembalikan benda itu, sebelum terjadi sesuatu," ucap bapak itu dengan tegas.
"Maksudnya bagaimana, Pak?" tanya Nayla yang masih belum paham.
Namun, belum sempat pertanyaan Nayla dijawab, Tante Dewi sudah menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Nayla menurutinya dan ia kembali duduk di belakang.
Saat mobil Tante Dewi pergi meninggalkan restoran itu, tatapan mata bapak tukang parkir masih terus mengikuti Nayla dengan tajam.
"Mbak Nay, Bapak itu kenapa sih? Kok lihatin kita kayak gitu?" celoteh Rahma.
"Biasa itu, sudah enggak apa-apa, Ma," jawab Tante Dewi langsung.
Dalam hati Nayla bersyukur dan merasa lega. Karena Tante Dewi tidak menanyainya dengan pertanyaan macam-macam. Malah cenderung tidak mencurigai Nayla. Ia masih bersyukur jika Dewi masih percaya padanya.
Karena peringatan bapak tadi. Hati Nayla menjadi tidak tenang. Ia menjadi kepikiran dengan kata-kata bapak tua itu.
"Apa maksudnya ya, dia orang jahat? Ada sesuatu miliknya yang ada di aku. Tapi apa?" Nayla terus memikirkan kata-kata yang masih terngiang di kepalanya.
"Tusuk konde!" pekik Nayla.
"Apa Nay?" tanya Tante Dewi sesekali menoleh ke belakang sambil menyetir.
"Eh, enggak apa-apa, Tan," jawabnya gugup dan sengaja berbohong.
"Tadi Tante kayak dengar kamu ngomong sesuatu."
"Enggak kok, Tan. Nayla enggak ngomong apa-apa."
Karena jarak yang tak terlalu jauh, hanya beberapa menit, mobil Tante Dewi sampai di rumah. Nayla turun untuk membukakan pintu pagar. Lalu ia berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kalian besok jadi pada berangkat pagi?" tanya Tante Dewi.
"Iya!" sahut mereka bersamaan.
"Ya sudah, besok Mama buatkan sarapan dulu untuk kalian. Oh ya, Nay, di kulkas ada susu steril kaleng. Kamu minum ya sebelum tidur. Biar besok medical check-up kamu lancar." Dewi mengingatkan.
"Iya, terimakasih, Tan."
"Sama-sama, Sayang. Jangan lupa di minum pokoknya. Ya sudah, kalian masuk kamar," suruh Dewi yang juga masuk ke dalam kamarnya.
Namun saat mereka akan masuk ke dalam kamar masing-masing. Tercium aroma busuk seperti bangkai kucing. Membuat ketiga perempuan itu menutup hidungnya.
"Bau apa ini?"
Dewi mengurungkan niat untuk membuka pintu kamarnya. Ia berbalik badan, mendekati Nayla dan Rahma.
"Enggak tau, Ma. Perasaan rumah kita sudah bersih, Ma. Bi Yem tadi sudah bersih-bersih semua," jawab Rahma.
"Coba temanin mama ke dapur, Nak. Siapa tau ada bangkai di dapur pas kita tinggal keluar tadi," ajaknya pada Rahma.
Nayla hanya berdiri di depan pintu kamar sambil memperhatikan Tante Dewi dan Rahma. Hingga kedua matanya melihat sosok sinden merah yang berdiri di antara ruang makan dan dapur. Nayla terhenyak melihat sosoknya kali ini.
Ada seseorang yang sangat Nayla kenali tepat di belakang sinden merah tersebut.
Ketika Tante Dewi dan Rahma melewati ruang makan, sosok sinden merah itu bagai tertembus oleh Tante Dewi dan Rahma. Begitu juga sosok seseorang di belakang sinden merah yang sangat Nayla kenal.
"Mas Wisnu," desis Nayla lirih.
Nayla melihat Wisnu berada tepat di belakang sinden merah. Seolah ada tali pengikat di pergelangan Wisnu yang sangat transparan, tapi masih dapat terlihat oleh Nayla.
Wajah Wisnu tidak seperti biasanya. Begitu pucat dan tampak keriput. Kedua mata Wisnu meneteskan darah, Nayla masih berdiri di tempat. Dirinya terus memperhatikan kedua sosok yang di lihatnya. Sampai kedua sosok itu menghilang dalam sekejap mata.
"Mas Wisnu!" teriak Nayla. Tiba-tiba tubuhnya langsung ambruk ke lantai.
Tante Dewi dan Rahma yang sedang berada di dapur terkejut mendengar teriakan Nayla. Mereka berdua segera keluar dari dapur dan menghampiri keponakannya yang sudah menangis sambil terduduk di lantai.
"Loh, Nay, kamu kenapa ini?"
"Mbak Nay, kok duduk di lantai?"
Nayla tak menjawab satu pun pertanyaan dari Dewi atau pun Rahma. Kemudian wanita cantik penuh keibuan itu meminta tolong Rahma untuk membantu membawa Nayla ke kursi di ruang depan TV.
"Nay, kamu kenapa kok nangis sih?"
"Wisnu, Tante," jawab Nayla yang masih menangis. Anak dan ibu itu saling berpandangan.
"Kenapa Wisnu? Kalian berdua ada masalah?"
"Enggak, Tante." Nayla menggelengkan kepalanya.
"Terus kenapa kamu nangis, Nay?" tanya Dewi menatap wajah Nayla lekat-lekat.
Nayla masih terdiam. Ia seperti sedang berpikir. Jika ia mengatakan yang sejujurnya kepala Tante Dewi, pasti Nayla akan dimarahin oleh tantenya itu kalau ia sudah berbohong tentang menemukan benda yang bukan miliknya.
"Nay cuma kangen sama Mas Wisnu, Tante," jawab Nayla yang lagi-lagi berbohong.
"Ya ampun, Nay. Tante kira kamu kenapa. Sampe nangis di lantai." Tante Dewi menepuk jidatnya sendiri dan tertawa.
"Sekarang hapus air mata kamu. Sana kamu ke kamar, telfon Mas Wisnu biar rasa kangenmu agak berkurang," suruh Dewi sambil menghapus air mata di pipi Nayla.
"Baik, Tante, Nayla ke kamar dulu "
Saat Nayla berdiri. Tante Dewi menahan tangan Nayla. Sehingga Nayla menoleh pada wanita lembut itu.
"Ini susu buat kamu, jangan lupa diminum ya, Nay." Dewi memberikan susu steril kaleng pada Nayla yang tadi diambilnya di kulkas saat berada di dapur.
"Terimakasih banyak, Tan. Nanti pasti Nayla minum sebelum tidur. Nayla masuk ke kamar dulu, Tante. Selamat malam," ucap Nayla.
"Iya sayang, selamat malam," balas Dewi sambil memeluk Nayla.
"Good night, Mbak!" sahut Rahma sambil tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi Rahma yang putih bersih.
"Good night too, Ma."
Nayla berjalan meninggalkan Tante Dewi dan Rahma yang masih duduk di ruang TV. Saat ia akan membuka pintu kamar. Nayla sejenak menoleh ke ruang dapur dan ruang makan. Nayla masih terbayang sosok sinden dan Wisnu yang sangat menyeramkan bagi Nayla.
"Pasti Mbak Nayla tadi berbohong soal kangen dengan Mas Wisnu. Ini pasti ada hubungannya dengan sosok sinden dan tusuk konde yang dimiliki Mbak Nay." kata Rahma dalam benaknya.
Bersambung
****
Nayla berjalan meninggalkan Tante Dewi dan Rahma yang masih duduk di ruang TV. Saat ia akan membuka pintu kamar. Nayla sejenak menoleh ke ruang dapur dan ruang makan. Nayla masih terbayang sosok sinden dan Wisnu yang sangat menyeramkan bagi Nayla.Tanpa sepengetahuan Nayla, Rahma tak sengaja melihat Nayla yang berdiri terdiam di depan pintu kamar. Kedua matanya menatap ke arah dapur. Tak lama, Nayla pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu."Pasti Mbak Nayla tadi berbohong soal kangen dengan Mas Wisnu. Ini pasti ada hubungannya dengan sosok sinden dan tusuk konde yang dimiliki Mbak Nay." kata Rahma dalam benaknya.***Malam mulai semakin merangkak naik. Suasana rumah itu sudah sangat sepi dan hening. Nampaknya semua penghuni rumah sudah terlelap dalam tidur masing-masing. Tapi tidak demikian dengan Nayla yang sepertinya tidak bisa tidur.Tampak gadis itu membolak-balikan tubuhnya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya. Tapi bayangan mengerikan te
Disaat Nayla penasaran dan bertanya-tanya tentang kabar Wisnu, terdengar sebuah suara memanggil namanya. Nayla menoleh ke asal suara. Angel yang turun dari taxi online berlari ke arah Nayla."Nay!" panggil Angel dengan melambaikan tangan.Nayla membalas lambaian tersebut sambil berusaha tersenyum, walaupun hatinya sedang gundah gulana. Sesekali ia melirik ke hpnya berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Wisnu."Nay, kamu sampai jam berapa?" tanya Angel saat sudah berhadapan dengan Nayla."Baru juga kok. Aku juga lagi nunggu kamu.""Oh ya udah, kita masuk yuk. Tunggu di dalam, adem. Di sini panas.""Eh, tau adem kamu?""Tau, sedikit, hehehehe. Ayo!" Angel langsung menarik tangan Nayla.Mereka berdua berlari kecil memasuki lobby rumah sakit. Di depan, mereka menuju ke bagian resepsionis administrasi. Angel dan Nayla langsung mendapatkan nomor antrian karena memang sudah terdaftar dari bank.Angel mengajak Nayla untuk mencari t
"Ya ampun ... paling juga orang iseng, Nay. Eh, tapi kalau itu orang yang mau kasih kabar tentang pacar kamu, gimana?" Angel melotot ke arah Nayla.Seketika kedua mata Nayla semakin membulat lebar."Oh ya ya, coba aku telepon lagi."Nayla kembali menelepon nomer tidak dikenal itu. Teleponnya lagi-lagi tidak diangkat. Nayla menggelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih pada Angel."Sudah tenang aja. Mungkin orang iseng." Angel berusaha membuat Nayla agar tidak bersedih.Saat Angel dan Nayla sedang menunggu nama mereka dipanggil. Hp Nayla bergetar. Ia langsung melihat hpnya. Tertulis sebuah nomer yang dari tadi berusaha ia telepon. Nayla pun segera mengangkat telepon itu."Halo.""Halo, apa benar ini nomer Mbak Nayla?" tanya seorang lelaki dari seberang telepon."Iya. Ini siapa ya?""Saya, Aldo, adik dari Mas Wisnu.""Wisnu? Dimana Wisnu sekarang, Do?" tanya Nayla begitu penasaran dan khawatir.Tiba-t
Saat Nayla akan masuk ke dalam rumah, kedua matanya melihat sosok sinden merah yang berdiri di depan pintu rumah Tante Dewi. Sosoknya begitu mengerikan dengan wajah pucat penuh luka."Oh tidak! Kenapa dia muncul lagi?" Nayla seketika menutup wajahnya melihat sosok mengerikan itu."Nay?" Angel menepuk bahu Nayla pelan."Ada sinden merah itu, Ngel," ujar Nayla yang masih menutupi wajahnya.Angel menoleh ke kakan dan kiri. Namun tak ada siapa pun."Enggak ada siapa-siapa kok, Nay. Kamu coba lihat aja," kata Angel.Perlahan Nayla mulai membuka kedua tangannya dari wajah. Ia sedikit menyipitkan mata untuk melihat. Sosok sinden itu sudah tidak ada di depan pintu. Nayla mengedarkan pandangannya ke segela arah.Melihat raut wajah Nayla yang ketakutan membuat Angel bertanya pada temannya itu."Kamu kenapa sih, Nay? Dari kemaren kamu kayaknya sebut-sebut sinden merah." Angel tampak sedang mengingat kejadian kemarin saat ia da
Nayla masih berdiri menatap Angel. Begitu juga dengan Angel yang masih menoleh ke belakang sambil melambaikan tangannya.Tiba-tiba raut wajah Angel berubah menjadi ketakutan saat melihat sinden merah itu berdiri di samping Nayla persis. Dengan kepalanya dan badannya yang berdarah.Setelah motor itu berbelok, Angel hanya terdiam. Tampak ada sesuatu yang sedang ia pikirkan."Nanti aku coba telepon Nayla aja deh," ucap Angel pada dirinya sendiri.Saat motor ojek Angel keluar dari perumahan, bersamaan dengan itu motor Rahma memasuki perumahan.Ketika Nayla akan menutup pagar, terdengar suara motor Rahma."Mbak, Nay!" panggil Rahma. Membuat gadis itu menoleh lalu membukakan pagar untuknya.Rahma memasukan motornya ke halaman. Melepas helm dan menaruhnya di lemari."Mbak, kenapa, kok menangis?" tanya Rahma saat melihat Nayla yang lesu dengan kedua mata yang berkaca-kaca ingin menangis.Nayla langsung memeluk Rahma, tangisny
"Bahaya gimana maksud kamu?" Nayla menoleh dan menatap pada Rahma."Ya, 'kan tusuk konde itu Mbak Nayla ambil di tempat yang terkenal angker. Apa enggak sebaiknya, tusuk konde itu dikembalikan ke tempat Mbak Nayla ketemu."Nayla sejenak terdiam. Ia seolah sedang memikirkan perkataan Rahma."Enggak, Ma. Sama aja. Mau aku buang di mana aja juga sama, Ma." sahut Nayla. Kemudian ia kembali masuk ke dalam kamarnya.Rahma hanya menatap punggung Nayla yang masuk ke dalam kamar."Mbak Nayla kalau dibilangin mesti ngenyel," keluh Rahma.Beberapa saat kemudian, terdengar suara mobil Tante Dewi yang baru saja pulang.Saat Dewi akan turun dari mobil untuk membuka pagar, dari dalam rumah tampak Rahma sudah keluar membukakan pagar untuknya."Sudah pulang, Sayang?""Sudah, Ma."Ia memakirkan mobilnya di garasi samping rumah, tepat sebelah motor Rahma."Katanya kamu ada kerja kelompok?" tanyanya saat turun dari mobil
"Oh ya, kamu kapan pulang?""Rencananya, nanti aku mau cari tiket kereta untuk pulang besok, Ngel.""Nay, aku boleh ikut kamu ke kampung enggak?""Hahhh?" Nayla begitu terkejut dengan ucapan Angel."Iya, Nay, aku sudah meminta ijin sama mama dan papa. Gimana, boleh enggak, Nay? Biar kamu juga enggak sendirian, Nay," ocehnya panjang lebar."Tapi rumahku di kampung jelek, Ngel, kamu enggak apa-apa?""Tenang aja, Nay, enggak masalah. Lagi pula besok kedua orang tuaku ada urusan bisnis ke luar kota selama seminggu. Dari pada aku sendirian, mending aku temenin kamu," jelas Angel."Makasih ya, kamu sudah mau temenin aku, Ngel. Ya sudah nanti aku sekalian carikan tiket buat kamu. Nanti kirimin foto KTP kamu ya.""Okey, Nay. Nanti aku transfer uang tiketnya ke kamu.""Gampang itu, Ngel. Ya sudah aku mau siapin baju sama cari tiket. Nanti aku kabarin kamu.""Okey, Nay. Aku kirim foto KTP sekarang.""Iya. Assal
Tiba-tiba Rahma datang dan mengajak Nayla serta mamanya untuk makan. Rahma mengajak makan bakmi jawa sambil mencarikan tiket untuk Nayla.Dewi dan Nayla pun setuju dengan usulan Rahma. Mereka bertiga lantas bersiap-siap.Tak berapa lama kemudian, mereka bertiga sudah siap dan akan pergi.Tak sengaja tusuk konde itu terbawa oleh Nayla di saku belakang celananya.Nayla berlari untuk membuka pagar, tak lupa ia juga menguncinya. Setelah itu Nayla berlari kecil masuk ke dalam mobil.Malam hari itu, jalanan Malang cukup ramai. Sehingga mobil Tante Dewi melaju dengan kecepatan sedang.Hampir sekitar dua puluh menit perjalanan, mobil Honda Jazz berwarna merah itu pun memasuki sebuah restoran.Setelah mendapatkan tempat parkir, mereka bertiga pun turun dari mobil. Restoran bakmi jawa itu tak begitu ramai. Sehingga, pesanan makanan mereka segera dibuatkan.Mereka duduk di sudut ruangan. Tidak menunggu lama, seorang pelayan laki-lak