Share

Part 8

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, lima puluh, wah! Lea dapet tujuh ratus lima puluh!” Alea girang, ia baru saja menghitung upah hasil dari cuci baju dan setrika baju milik tetangganya.

“Kalau tiap hari aku dapet segini terus, aku bisa cepet lunasin hutang aku sama Juna!” ucap Alea. Ia senang bukan main. Ini adalah penghasilan terbesarnya selama ia bekerja sebagai buruh cuci baju dan setrika baju tetangganya. Bahkan saat ia masih bekerja di tempat laundry milik Bu Sari, Alea hanya mendapatkan upah sebesar delapan puluh ribu tiap harinya.

“Minggu depan aku gajian dari kafe! Uang aku jadi banyak nih, Kak!” Alea heboh sendiri. Ia memamerkan penghasilannya kepada Sean.

Sean terkekeh melihat kehebohan Alea. Pacarnya itu heboh sendiri ketika menghitung penghasilannya hari ini. Mungkin Alea senang karena dapat uang dari hasil keringatnya sendiri. Selain itu upahnya kali ini lebih besar dari upah sebelumnya.

Mereka saat ini sedang berjalan di sekitaran kompleks tempat tinggal Alea. Sean menjemput Alea dari rumah tetangganya karena kekasihnya itu sudah selesai bekerja.

Berangkat dari rumah jam tujuh pagi dan jam tiga sore Alea baru selesai keliling rumah tetangganya, jadi ia meminta Sean untuk menjemputnya sekalian jalan-jalan sore, kebetulan Sean memang menunggu Alea di rumah perempuan itu.

Mereka berjalan beriringan dengan Sean yang merangkul gadisnya. Sementara itu Alea dari tadi sibuk mengoceh, menghitung, dan membagi-bagi penghasilannya untuk ia alokasikan.

“Dua ratus ribu buat ongkos plus makan, lima ratusnya buat nyicil hutang ke Juna” ucap Alea. Sean diam saja mendengar kekasihnya itu berkicau, sesekali Sean tertawa melihat wajah menggemaskan Alea tengah menghitung uang.

Sean bangga dengan pacarnya itu. Di usianya yang masih muda dan seharusnya masih menjadi tanggungan orang tua, Alea sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Padahal ia tahu, Alea adalah anak orang kaya. Om Fian pemilik perusahaan percetakan, kakek Alea dari pihak papa adalah pengusaha batu bara. Sementara itu, kakek Alea dari pihak mama pemilik restoran dan tempat rekreasi yang cukup terkenal di Indonesia.

“Udah, masukin uangnya ke dalam tas, nanti jatuh lho!” Sean memperingati pacarnya agar memasukkan uang gajiannya ke dalam tas.

“Hehe, iya Kak, ini juga mau dimasukin kok,” balas Alea seraya menyimpan uangnya ke dalam tas selempang kecilnya.

“Mau langsung pulang atau masih mau muter-muter?” tanya Sean. Barangkali Alea masih ingin jalan-jalan sore.

“Kita beli makan aja dulu yuk! Lea laper, nanti makannya di rumah,” jawabnya.

Sean mengangguk, mengiyakan ucapan Alea. “Iya, Kakak juga laper, nih. Kamu mau makan apa?”

“Yang murah aja 'lah, kita makan nasi padang. Aku bakal traktir Kakak khusus hari ini, ini ada sisa lima puluh ribu. Hehe,” ucapnya sambil mengipas-ngipas uang itu di depan Sean.

Astaga bahagia sekali Alea hari ini, Sean tidak bisa untuk tidak tertawa melihatnya.

“Uangnya Lea simpan aja, biar kakak yang traktir” kata Sean. Bukannya ia gengsi ditraktir oleh Alea, namun Sean tahu Alea mendapatkan uang itu dengan susah payah. Jadi Sean tidak mau jika Alea menghamburkan uangnya. Lebih baik uangnya Alea simpan.

“Yah, padahal Lea mau traktir kak Sean tahu! Kapan lagi coba Lea bisa traktir Kak Sean.” Alea mengerucutkan bibirnya kesal, rencananya untuk mentraktir Sean gagal.

Sean gemas sekali melihatnya, ia tak segan-segan mengacak rambut Alea karena saking gemasnya.

“Ih, Kak Sean! Jangan diacak-acak dong rambut Lea-nya, nanti Lea kelihatan jelek!” Alea memberengut kesal seraya merapikan kembali rambutnya.

“Haha, enggak kok. Lea tetap cantik, di mata Kakak,” ucap Sean bangga seraya merentangkan kedua tangannya.

“Idih, Kak Sean gombal deh!” cibir Alea sambil memukul pelan bahu Sean, namun rona di wajah Alea jelas terlihat.

Padahal Alea sudah sering digombali oleh Sean, namun ia masih suka salah tingkah tiap kali Sean menggodanya.

Begini saja cukup untuk Alea, bahagianya cukup seperti ini. Ada Sean di sampingnya itu lebih dari cukup untuk Alea.

****

Tadi malam Fian pulang ke rumah, Alea sendiri pun terkejut karena Alea pikir papanya itu tidak akan pulang lagi.

Tadi malam juga Alea tidur sambil dipeluk oleh papanya dan sekarang Alea tengah sarapan nasi goreng buatan papa, makan bersama papa di meja makan yang sama. Alea benar-benar bahagia, terbukti dengan senyuman yang terus terukir di wajah ayu miliknya.

“Lea sekolahnya gimana sayang?” tanya Fian pada putri kesayangannya itu.

Alea menelan terlebih dahulu nasi di dalam mulutnya sebelum akhirnya menjawab, “baik kok Pa. Kemarin Alea dapet nilai ulangan tertinggi di kelas” ucapnya sambil tersenyum bangga.

Alea ingin membuat papanya bangga dengan prestasi yang ia raih. Dengan begitu, papanya akan lebih sayang padanya, ia akan kembali menempati posisi tertinggi di hati papanya.

Qila itu bodoh, tidak sepintar dirinya. Buktinya saja ia tidak masuk kelas unggulan sepertinya. Setiap hari di sekolah Qila kerjanya Cuma pacaran sama Leon, tidak belajar.

Ah, Leon juga sama bodohnya dengan Qila, tapi Leon sedikit lebih mendinglah dari pada Qila.

Qila hanya pintar cari muka kepada orang-orang. Jual cerita sedih tentang dirinya dan juga mamanya sehingga orang-orang iba padanya lalu membencinya Alea.

“Anak Papa emang hebat, Papa bangga sama Lea,” ujar Fian sambil mengusap kepala putrinya.

Alea tersenyum, ia bahagia sekali pagi ini.

“Lea sayang banget sama Papa,” kata Alea yang membuat senyum di bibir Fian semakin melebar.

“Walaupun Papa sering bohongin Lea,” lanjutnya dalam hati.

“Papa juga sayang Lea, sayang banget,” balas Fian.

Ah, melihat putrinya tersenyum seperti ini Fian jadi ragu untuk menanyakan perihal uang SPP yang katanya tidak dibayarkan oleh Alea. Bibir Fian sebenarnya gatal ingin menanyakan hal itu, namun ia takut Alea tersinggung.

Fian berpikir, masa iya Alea seperti itu. Tidak mungkin sekali. Fian tahu bagaimana Alea, tidak mungkin Alea melakukan itu. Alea adalah putri kebanggaannya.

Namun ucapan Qila, putri bungsunya itu terus terngiang-ngiang di otaknya. Tidak mungkin juga Qila berbohong. Fian tidak pernah mengajari Qila untuk berbohong.

Fian jadi bingung jadinya. Fian bingung harus mempercayai siapa? Alea, putri sulungnya sekaligus putri kebanggaannya, atau Qila putri bungsunya?

“Nasi gorengnya enak, Lea suka,” puji Alea. Papanya itu memang pintar sekali membuat nasi goreng yang enak. Alea suka sekali nasi goreng buatan papanya.

Walaupun Fian tidak terlalu bisa memasak, namun Lea akui jika nasi goreng terenak adalah buatan papanya.

Fian lagi-lagi mengusap rambut putri sulungnya dengan sayang, meneguk air putih yang ada di depannya lalu Fian mengambil tissue untuk mengusap minyak yang ada di bibirnya.

Mata Alea terpejam tatkala Fian memberikan kecupan di keningnya sambil berucap, “anak Papa.”

Alea bersumpah ini adalah hari terindah semenjak mamanya meninggal.

Semoga saja papanya tetap seperti sekarang ini. Semoga saja Fian tidak pulang ke rumah si pelakor itu lagi. Walaupun Alea tahu itu mustahil, tapi apa salahnya Alea berharap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status