Share

PART 2

Sial! Berkali-kali Queen merutuk dalam hati. Siapa arsitektur yang mendesain rumah milik keluarga Alexander? Kenapa harus dibuat semewah dan serumit ini? Apa sebelumnya mereka tidak mempertimbangkan jika rumah sebesar ini bisa membuat orang baru tersesat?

Queen menghela napas kasar. Ia menghentikan langkah, lantas menatap lukisan burung merak di dinding sebelah kanan. Beberapa saat lalu, ia melihat lukisan serupa, begitu pula dengan meja kecil di sudut ruangan. Tiga pot kaktus kecil tertata rapi di meja. Artinya, sejak tadi Queen hanya memutari rumah ini. Queen tersesat dan tidak tahu di mana jalan keluarnya.

Seharusnya Queen membiarkan Joshua mengantarnya pulang, setidaknya sampai di pintu gerbang. Ia bergegas mengambil ponsel dari saku celana, lalu mendial nomor Joshua. Sialnya, Joshua mengabaikan panggilan Queen. Barangkali pria itu tidak mendengar dering ponselnya.

Queen memutuskan melanjutkan langkah tanpa Joshua. Ia berharap bertemu dengan seseorang yang bisa menunjukkan jalan keluar dari labirin di rumah ini. Tiba di ambang pintu berhiaskan ornament ukiran unik, Queen memijat keningnya. Ragu, antara mengambil langkah ke kanan atau sebaliknya.

"Sepertinya kau tersesat, Nona Manis?"

Queen berjingkat. Matanya tertuju pada sumber suara, seorang pria yang sedang berdiri dan bersandar di dinding. Ah ya, Queen ingat, pria berotak mesum yang sempat menonton permainan pianonya.

"Di mana Joshua? Membiarkan gadisnya berkeliaran seorang diri? Tidak takutkah jika diam-diam ada serigala lapar yang mengincarnya lalu menerkamnya?" Pria itu terkekeh sembari menyugar rambut.

"Maaf, ke arah mana pintu keluar?" tanya Queen dengan suara gemetar.

Pria itu mendekat. "Mau aku antar?"

Queen menggeleng cepat. Ia menelan salivanya, lantas menggigit bibir bawahnya. Aroma musk yang menguar dari tubuh berkemeja biru motif garis-garis itu mengganggu indra penciumannya. Dan apa tujuan pria itu membiarkan seluruh kancing kemejanya terbuka? Tak urung, tatapan Queen terjatuh pada perut berotot yang terpahat sempurna.

"Aku akan mengantarmu pulang." Pria itu mengulang kalimatnya.

"Tidak, cukup tunjukkan ke arah mana ... pintu keluar."

"Kau takut padaku, hum? Oke, namaku Rafael, kakak Joshua. Jadi tidak alasan bagimu untuk takut padaku."

Tidak takut bagaimana? Queen menggeram dalam hati. Tampang pria ini memang tidak menakutkan, tetapi entah kenapa alarm bawah sadar Queen memberikan peringatan keras agar menjauhi pria mesum bernama Rafael itu.

"Maaf, Tuan. Ini sudah malam dan saya harus segera menemukan pintu keluar."

"Berapa kali harus kubilang, Nona Manis? Aku dengan senang hati akan mengantarmu pulang."

Rafael semakin mendekat, matanya menatap Queen tajam, seolah ingin menguliti gadis itu hidup-hidup. Queen semakin dibuat salah tingkah, ia menundukkan wajah, dan sialnya tatapannya malah terjatuh lagi di perut Rafael. Bulu-bulu halus yang tumbuh di bawah pusar itu menciptakan kesan seksi dan−

Oh, astaga! Hati-hati, Queen! Otak sucimu akan ternodai jika kau masih saja berpikir ke mana bulu-bulu halus itu bermuara!

Queen cepat-cepat mengalihkan pandangan. Sebisa mungkin mengingat ke arah mana ia tadi berjalan. Seingatnya, ia mengambil arah kiri, artinya sekarang ia harus berbelok ke kanan. Mengabaikan Rafael, Queen melangkah mengikuti kata hati. Semoga kali ini tidak salah lagi.

"Kau tidak mempercayaiku, huh?" Rafael mendengus, berjalan membuntuti Queen. "Sampai kakimu patah pun, kau tidak akan menemukan pintu keluar. Kau berjalan di arah yang salah, Nona Manis."

"Oke, kalau begitu antar saya menuju pintu keluar." Queen menyerah.

"Aku sudah menawarkan bantuan itu sejak tadi." Rafael tersenyum penuh kemenangan, lantas menarik pergelangan tangan Queen. "C'mon."

Tergesa-gesa Queen berusaha mengimbangi langkah panjang Rafael. Keringat dingin membasahi dahinya, jantungnya berdetak cepat. Astaga, baru kali ini ada pria yang berani menggandeng tangannya. Selama ini, Queen selalu menjaga jarak dengan lelaki. Meski dekat dengan Joshua, tetapi Queen selalu memberikan batasan.

Setelah melewati beberapa ruangan besar, mereka tiba di luar rumah. Queen mendesah lega.

"Tunggu di sini, aku akan mengambil mobil di garasi." Rafael melepaskan genggaman tangannya. "Jangan ke mana-mana."

"Oke." Queen mengangguk singkat.

Akan tetapi, ternyata Queen tidak menepati ucapannya. Begitu Rafael datang bersama Ferrari kesayangannya, gadis itu sudah tidak ada di tempat semula.

"Sial! Ke mana perginya kelinci itu?" Rafael merasa gusar. Baru kali ini ada gadis yang berani menolak ajakannya.

Queen benar-benar berbeda dengan gadis kebanyakan. Persis seperti kelinci liar, terlihat manis dan menggemaskan, tetapi sulit ditaklukkan. Dengan lincah menjauh saat didekati, seolah memiliki radar khusus untuk mendeteksi bahaya yang mengincarnya.

Rafael menginjak pedal gas. Security bergegas menekan tombol otomatis pembuka pintu gerbang. Ferrari itupun melaju kencang ke jalanan. Rafael menyeringai saat menemukan kelincinya tengah berdiri di tepi jalan. Ia pun menghentikan mobilnya tepat di depan Queen.

Rafael membuka jendela mobil. "Naiklah!"

"Maaf, saya sudah memesan taksi."

Sejak kapan para gadis lebih senang naik taksi daripada duduk di mobil sport yang dikemudikan seorang pria setampan Rafael? "Seorang gadis tidak baik naik taksi sendirian saat larut malam. Terlalu berbahaya."

"Terima kasih sudah mengingatkan." Queen memilih untuk mengabaikan ajakan Rafael.

Rafael pun hilang kesabaran, turun dari mobil dan berdiri di samping Queen. Saat dilihatnya sebuah mobil lain berhenti tidak jauh dari sana, Rafael terlebih dahulu menghampirinya. Diketuknya jendela depan, pengemudi pun membukanya.

Rafael mengulurkan lima lembar uang seratus ribuan pada pengemudi. "Pergilah, gadis ini penumpangku."

"Tuan Rafael!" Queen memprotes. "Saya akan pulang naik taksi."

"Aku sudah membayarmu, gadis ini penumpangku. Jika tidak, ...." Rafael meletakkan telapak tangan di lehernya, memberi isyarat jika ia akan membunuh siapa pun yang berani membantahnya.

Wajah sopir taksi berubah pias, cepat-cepat mengangguk dan menutup jendela mobil. Hanya dalam hitungan detik, mobil itu melaju meninggalkan Rafael dan Queen.

"Apa yang Anda lakukan?" Queen mengusap wajah kasar.

"Masuklah, aku tidak menerima penolakan." Rafael membuka pintu mobil untuk Queen. Ia yakin, gadis itu tidak akan mampu menolak lagi. Dan benar saja, tanpa banyak bicara, Queen duduk di kursi penumpang. Woah, kelincinya yang penurut!

Sepanjang perjalanan, Queen lebih banyak diam. Gadis itu bahkan memasang handsfree di telinga, sementara matanya menerawang ke jalanan yang mulai lengang.

Lagi-lagi Rafael mendengus. Pepohonan di jalanan nampaknya lebih menarik di mata Queen, sehingga gadis itu menganggap Rafael tidak ada. Atau lebih parah jika Queen menganggap Rafael tak ubahnya seperti seorang sopir taksi. Sial!

"Turunkan saya di pertigaan jalan," ucap Queen.

"Di mana rumahmu?"

"Tidak jauh dari sana."

"Akan aku antar sampai depan rumah."

"Tidak! Tetangga saya akan berpikiran macam-macam jika melihat saya turun dari mobil mewah bersama seorang pria."

"Peduli apa dengan ucapan tetangga? Bukan mereka yang memberimu makan."

"Tuan!"

"Percayalah, mereka hanya iri."

"Turunkan saya di sini!"

Rafael menepikan mobil, Queen cepat-cepat turun setelah mengucapkan terima kasih. Rafael menggertakkan gigi, lantas turun menyusul Queen. Berjalan di trotoar membuntuti gadis bertubuh proporsional itu.

Rambut panjang berwarna kecokelatan itu berombak seiring langkahnya. Tubuhnya memang tidak terlalu seksi, tetapi tidak terlalu buruk untuk ditarik ke atas ranjang. Tentu saja, kalau bukan gadis pujaan hati Joshua, Rafael pun enggan mengejar-ngejar gadis biasa seperti Queen. Tidak ada kata mengemis cinta dalam kamus hidup Rafael.

Mendadak, Queen menoleh ke belakang. Memergoki Rafael yang tengah membuntutinya sembari menilai tubuhnya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Oke, kalau harus jujur, Rafael harus mengakui bagian yang menarik dari wajah Queen, yaitu mata, hidung, bibir, serta dagu dengan belahan di bagian tengahnya.

"Anda membuntuti saya?"

"Aku tidak terbiasa menurunkan gadis di tengah jalan. Harus kupastikan dia sampai di rumah dengan selamat."

"Saya sudah menyebutkan alasannya tadi. Tetangga saya−"

"Akan aku bungkam mulut tetangga yang berani bergunjing tentangmu."

Queen berdecak kesal, melirik jam di pergelangan tangannya. "Anda meninggalkan mobil mewah di jalanan. Di daerah sini sering terjadi pencurian."

"Mobil hilang bukanlah masalah besar, aku bisa membelinya lagi. Lain halnya jika kau yang hilang."

"Huh, keras kepala."

"Jika sudah tahu, kenapa masih menolakku?" Rafael melepaskan jas hitamnya, lantas memasangnya di kedua pundak Queen hingga menutupi punggung gadis itu. "Udara malam dingin, tidak baik untuk kesehatan."

"Tapi−"

Rafael merunduk dan berbisik di telinga Queen, "Menurut saja. Jika terlalu banyak membantah, aku akan membungkam bibirmu dengan ciuman."

Queen menghentikan langkah, refleks mendongak dengan mata membulat lebar. "Apa Anda selalu mengucapkan kalimat itu pada semua gadis?"

"Tidak, hanya kepadamu."

Boom! Kalimat Rafael tepat sasaran. Di bawah redupnya cahaya lampu, Rafael menemukan semburat merah di kedua pipi Queen. Oke! Rupanya tidak terlalu sulit bagi Rafael untuk menaklukkan Queen. Cepat atau lambat, kelincinya akan terjebak di dalam perangkapnya. Rafael hanya perlu bergerak beberapa langkah lagi. C'mon! Gadis mana yang tidak tertarik pada pesona Rafael?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status