Tuan Pemaksa
Hai, Nona Manis. Aku akan menjemputmu tepat jam 7 malam. Di mana aku harus menjemputmu? Di rumah? Di toko roti?
Queen membanting ponselnya ke atas meja. Apa ia harus memblokir nomor Rafael agar Tuan Pemaksa itu tidak bisa menghubunginya lagi? Ah, bukan pilihan tepat. Itu justru akan membuat Rafael bertindak semaunya sendiri.
Lagi-lagi terdengar bunyi beep dari ponsel. Rafael tidak mudah menyerah. Apa sebenarnya tujuan Rafael mendekatinya? Karena tertarik? Queen menggeleng, tidak mungkin. Pria seperti Rafael tidak akan menyukai gadis polos seperti Queen.
Tuan Pemaksa
Tidak dibalas? Oke, aku akan menjemputmu di toko. Jika kau tidak menungguku di sana, aku akan datang ke rumahmu. Bertemu dengan calon ibu mertua bukanlah ide buruk.
Gila! Apa kata Maura seandainya pria asing datang ke rumah untuk menjemput putrinya? Terlebih pria mesum seperti Rafael, Maura pasti dengan mudah mengendus kelakuan buruknya. Lantas, Queen sudah bisa menebak kalimat apa yang akan diucapkan Maura.
"Jangan sampai bergaul dengan orang yang salah, Queen. Kau tahu, banyak gadis di luar sana yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Banyak yang hamil di luar nikah. Jangan sampai hal itu terjadi pada anak Mama."
Oke, Queen sudah hafal kalimat itu di luar kepala. Seharusnya Maura tahu, Queen tidak mungkin melakukan itu. Ya, Queen tidak pernah menjalin hubungan dengan pria. Jangankan berbuat negatif seperti yang Maura takutkan, sekadar berciuman pun Queen tidak pernah merasakannya.
Semasa kuliah, ada senior yang nekat ingin mencium Queen. Dan tahu apa terjadi? Queen meninju wajah lelaki itu hingga bibirnya berdarah. Jadi, sebenarnya Maura tidak perlu menakutkan apa pun. Putrinya selalu memegang prinsip yang diajarkan.
Tuan Pemaksa
Tidak ada alasan untuk menolak. Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengantarkan gaun untukmu. Sampai nanti malam, Nona Manis!
"Ada masalah, Queen?" tanya Nara. Gadis itu seumuran dengan Queen, karenanya hubungan mereka cukup akrab, mengingat Nara adalah pendengar yang baik.
Queen mengusap rambutnya. "Menurutmu, apa alasan seorang pria mengajak seorang gadis makan malam?"
"Tujuh puluh lima persen, karena dia tertarik pada gadis itu."
"Tidak mungkin," dengus Queen.
"Jadi, ini tentang lelaki berjas hitam tadi?" Nara mengedipkan sebelah mata. "Kelihatannya dia memang tertarik padamu."
"Gadis biasa sepertiku jelas bukan type wanita idaman pengusaha kaya seperti dia."
"Kata siapa? Di dalam novel romance yang aku baca, justru banyak pria-pria kaya yang jatuh cinta pada gadis polos."
"Aish ... jangan samakan dunia nyata dengan fiksi."
"Tapi tidak ada salahnya waspada, Queen. Bisa jadi mereka hanya mengincar tubuh si gadis." Nara melirihkan suara, kemudian kembali sigap melayani pengunjung lain.
Sementara itu, Queen memijit kepalanya. Ia berniat meminta pendapat Joshua, akan tetapi ia segera membuang jauh-jauh pikirannya. Ia jelas sedang tidak ingin menghubungi Joshua. Atau Joshua akan mencecarnya, meminta jawaban atas ungkapan perasaannya kemarin malam.
Astaga! Pria-pria keluarga Alexander membuat Queen sakit kepala!
***
Apa Queen harus menyebut dinner kali ini begitu romantis? Entahlah. Boleh dibilang suasananya memang romantis, tetapi tidak dengan interaksi di antara mereka. Duduk berdua di café rooftop—sepertinya Rafael sengaja mengusir pengunjung lain. Ah, bukan mengusir, lebih tepatnya Rafael menyewa tempat ini sehingga tidak ada pengunjung selain mereka berdua.
Berteman candle light, dari puncak gedung mereka bisa menyaksikan pemandangan ibukota nan gemerlap, sementara langit bertabur bintang meski beberapa kali awan berarak menutupi rembulan. Romantis seandainya lelaki yang duduk di hadapannya adalah lelaki yang dicintai Queen.
"Lima menit lagi saya harus pulang. Tolong, jangan mempersulit saya," pinta Queen sungguh-sungguh. Ia menyuap sesendok red velvet cake. Menyantap hidangan penutup.
"Asal kau menjadi gadis penurut, tentu aku tidak akan mempersulitmu." Rafael menyesap Espresso dari cangkir.
"Tolonglah, Tuan. Mama tidak memberikan kebebasan pada saya untuk bergaul dengan lelaki. Saya−"
"Kau ingin merahasiakan pertemuan kita? Oke, tidak masalah. Asalkan kita masih bisa bertemu seperti kali ini."
Queen mengerutkan dahi. "Untuk apa bertemu lagi? Saya tidak tahu apa tujuan Anda sebenarnya."
"Aku tertarik padamu."
"Tertarik?"
"Sejak pertama kali aku melihatmu."
"Itu tidak mungkin."
"Tidak mungkin?" Rafael terkekeh. "Aku bukan Joshua yang bisa memendam perasaan selama bertahun-tahun, persis seperti seorang pecundang."
"Bagaimana jika saya tidak mempercayai Anda?"
"Aku akan membuatmu percaya. Sekarang pejamkan matamu," perintah Rafael. "Ingat, aku tidak suka dibantah."
Queen hanya menurut. Perlahan, matanya terpejam. Jantungnya berdetak begitu kencang. Oke, sejak Rafael menjemputnya di toko tadi, Queen sudah merasakan debaran yang tidak biasa. Tidak, bukan cinta, melainkan rasa cemas yang berlebihan. Cemas jika Maura sampai tahu, dan juga cemas karena harus berdekatan dengan lelaki berbahaya semacam Rafael.
Bohong jika Queen tidak mengagumi tubuh tinggi tegap yang terbalut kemeja putih serta jas hitam itu. Siapa pun pasti akan terpana oleh kesempurnaan Rafael. Bahkan sampai saat ini, Queen tidak bisa melupakan pahatan di perut lelaki di hadapannya. Bagaimana rasanya jika ia menyentuh perut itu?
Ah, Queen merinding membayangkannya. Dan sekarang, saat Rafael memintanya untuk memejamkan mata, debaran di dadanya semakin terasa. Jantungnya berpacu tiga kali lipat dibanding biasanya. Kira-kira apa yang akan dilakukan Rafael?
Di dalam film, saat seorang pria meminta kekasihnya untuk memejamkan mata, artinya pria itu sedang menyiapkan kejutan indah. Atau ... si lelaki akan menciumnya? Hei, kalau Rafael berani menciumnya, Queen bersumpah akan merontokkan gigi pria itu.
"Buka matamu."
Queen membuka mata, dan ia terpana saat itu juga. Tangan kokoh Rafael terulur di depan wajah Queen, memperlihatkan seuntai kalung yang begitu indah. Puluhan berlian berkilau di setiap untaiannya, disempurnakan dengan liontin yang menggantung di bagian ujung. Queen belum pernah melihat perhiasan seindah ini.
"Apa maksudnya?" lirih Queen tidak mengerti.
"Aku tahu ini terlalu cepat jika aku memintamu untuk menjadi kekasihku. Karena itu, aku ingin mengawali sebuah pertemanan denganmu. Be my close friend, please!"
"Lalu kalung ini?"
"Sebagai lambang persahabatan kita."
"Maaf, Tuan. Bukan hanya karena saya lebih miskin daripada Anda, lalu Anda bisa dengan mudah menyogok saya dengan berlian."
"Aku tidak menyogokmu."
"Anda pikir sebuah persahabatan bisa dibeli dengan harta?"
"Aku hanya−"
"Saya tidak tertarik berteman dengan Anda, jadi tolong jauhi saya sekarang."
Rafael meletakkan untaian kalung di meja. Queen berani memotong kalimatnya? Shit! Gadis ini benar-benar sulit ditaklukkan. Bahkan ia juga tidak terpengaruh oleh perhiasan bernilai puluhan juta rupiah?
"Jangan harap aku akan menyerah begitu saja." Rafael beranjak dari kursi, melangkah hingga sampai di samping tempat duduk Queen. Kedua tangan menyilang di depan dada, menatap Queen secara intens.
Jika sehari yang lalu Rafael berpikir Queen bukan gadis yang menarik, maka kali ini ia terpaksa harus mengubah ucapannya. Dengan sedikit sentuhan make up di wajah polosnya, kecantikan Queen meningkat dua kali lipat.
Terlebih dengan dress warna peach yang Rafael berikan. Sempurna! Dress selutut itu terlihat longgar di bagian bawah, sementara bagian atas memiliki style kerutan sebatas dada hingga perut.
Oke, style itu cukup untuk memperlihatkan lekuk tubuh Queen, terutama di bagian dada yang nampak padat dan berisi. Lantas, kulit yang terlihat putih mulus, ah ... lupakan itu, Rafael! Ingat, kau tidak tertarik pada Queen! Kau memiliki Selly!
"Padahal kalung itu akan terlihat cocok dengan lehermu yang mulus." Rafael menghela napas panjang. Sebelah tangan pria itu menyentuh leher Queen, membayangkan seandainya ia bisa memberikan gigitan kecil di sana.
"Saya ... harus pergi," lirih Queen. "Saya berjanji pada Mama agar tidak pulang terlambat."
Rafael memperhatikan bibir Queen bergerak seiring ucapannya yang terdengar sedikit gemetar. Ah, kelincinya mulai menggigil ketakutan. Dan kenapa itu justru semakin membuat Queen terlihat begitu menggemaskan? Bibirnya yang dipoles dengan warna natural, terlihat begitu mengundang.
Wajah polos yang memancing gairah Rafael. Crazy!
***
Queen menahan napas saat Rafael menyentuh sisi lehernya. Sentuhan ringan itu membuat syaraf-syaraf tubuhnya menegang. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyentuh Queen secara intens. Ah, perasaan macam apa ini, desiran di dalam darahnya terasa begitu asing.Di saat Queen masih sibuk memikirkan gejolak di dalam dirinya, tanpa diduga Rafael menunduk dan wajahnya semakin mendekat dengan Queen. Lantas, pria itu dengan lancang mengecup bibir gadis di hadapannya!Queen terbelalak. Ciuman pertamanya! Direbut secara paksa oleh lelaki brengsek yang tidak disukainya! Rafael kurang ajar! Refleks, Queen mendorong Rafael, lalu melayangkan tinju ke wajah pria itu.Rafael yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak, mundur selangkah sembari memegangi pipi. Luapan gairah beberapa saat lalu, digantikan rasa nyeri di wajahnya. Damn!Ternyata Queen bukan hanya polos, melainkan juga liar! Di saat semua wanita berebut ingin mendapat ciuman Rafael, Queen justru
Queen menghela napas kasar, menekan button pause di layar laptop. Drama Korea yang sedang ditonton sangat membosankan. Ah, bukan drama yang membosankan, tapi kissing scene yang membuat Queen jengkel. Demi apa, keromantisan itu mengingatkan Queen pada ciuman Rafael.Refleks, Queen menyentuh bibir. Seharusnya, ia memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang ia cintai, bukan pria asing yang menyebalkan. Sudah dua hari sejak peristiwa itu terjadi, dan untungnya Rafael tidak pernah mengganggu lagi. Barangkali pukulan di wajah Rafael membuat pria itu jera.Bunyi beep di ponsel membuat Queen mengalihkan perhatian dari laptop. Dengan cekatan jarinya mengusap layar ponsel. Pesan singkat dari Maura.MamaSebelum tidur jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Mama pulang besok sore.Sejak siang tadi, Maura pergi ke luar kota. Kebetulan ada undangan di sebuah acara demo mas
Pernahkah kalian membayangkan berada di dalam kuasa seorang pria berwajah tampan serupa Dewa Yunani? Rahang tegas dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi, dan hampir seluruh bagian wajah terukir sempurna, tanpa cela sedikitpun. Lalu, mata tajam yang tiba-tiba berubah menjadi sayu, seolah tengah menawarkan sebuah kesepakatan, 'Hello, Baby Girl! Please, come to me! Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu.'Harus Queen akui, Rafael terlalu pandai menguasai seseorang hanya dengan menatap matanya. Tatapan tajam dan menghunjam jauh di kedalaman mata lawannya. Seperti virus mematikan, dengan cepat menyebar hingga membuat lawan takluk di tangannya."Ahhhh ...." Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Queen, saat lidah Rafael dengan nakal menyusup lebih jauh melewati bibir Queen.Jadi ini rasanya berciuman? Tolong, Queen bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mendefinisikan rasa nikmat yang menggelenyar di sekujur tubuh. Yang ia tahu, ia merasakan panas,
Hari ke sepuluh sejak pertemuannya dengan Rafael. Queen memadamkan lampu kamar. Diambilnya kotak music snow globe pemberian Rafael, lantas ditekannya tombol di bagian bawah. Seketika, instrument musik mengalun merdu.Queen membaringkan tubuh di atas ranjang, matanya tidak pernah lepas dari snow globe yang kini memancarkan cahaya temaram warna warni. Indah, dan romantis. Instrument lembut itu dalam sekejap telah menyeret Queen pada kenangan malam itu. Saat Rafael menghujani kenikmatan untuk Queen.Queen bahkan tidak bisa melupakan aroma mint saat Rafael melumat bibirnya. Oh, apa yang sebenarnya Queen rasakan? Ia ingin membenci Rafael, tetapi kenyataannya ia justru tidak bisa melupakan kenangan terakhir mereka.Satu lagi yang mengganggu pikiran Queen. Kenapa Rafael tidak pernah lagi menemuinya? Barangkali Rafael merasa bosan pada Queen, karena saat itu Queen tidak membalas ciumannya. Pria brengsek seperti Rafael lebih meny
"Aku senang melihat gadis yang tidak terlalu pemilih pada makanan," komentar Elma.Queen tersenyum, menyantap hidangan penutup berupa red velvet cake. "Kue ini sangat enak, Nyonya. Saya menyukainya.""Mama sendiri yang membuat kue ini," timpal Joshua."Oh ya? Kau beruntung karena memiliki ibu yang pandai memasak, Jo!""Kau tahu apa yang membuat Papa jatuh cinta dan tergila-gila pada Mama?""Karena masakannya?""Benar. Papa sangat menyayangi Mama karena Mama pandai memanjakan perut Papa.”Seketika tawa riang terdengar memenuhi ruang makan. Awalnya, Queen pikir duduk di depan Nyonya Alexander akan sangat menegangkan. Ternyata ia salah. Nyonya Elma Alexander adalah seorang wanita ramah dan tidak pernah memandang seseorang dari rupa dan kasta.Lihatlah bagaimana cara ia tertawa, terlihat anggun dan penuh etika. Tawa lembut yang menyenangkan. Rambut panjangnya disanggul rapi. Anting berlian kecil yang menempel di telinganya menunju
22 TAHUN YANG LALU"Aku tidak suka bermain piano, Pa!" Seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun, merajuk pada ayahnya."Papa tidak mau tahu. Anak-anak Papa harus pandai dalam semua bidang, termasuk musik. Lagipula, kata Nona Elma kau cepat menangkap apa yang diajarkan olehnya.""Tapi, Pa! Aku bosan dan−""Jangan membantah, Rafael. Papa menginginkan yang terbaik untukmu."Rafael tidak menyukai alat musik. Ia lebih tertarik mengikuti les berbagai macam bahasa, seperti saran ibunya. Namun, belakangan ini ayahnya justru menambah satu daftar les lagi, yaitu les piano. Padahal Rafael sudah berkali-kali menolak, tetapi ayahnya seolah tidak mau tahu.Alexander tetap mendatangkan guru untuk Rafael, seorang pianis muda berwajah cantik. Namanya Nona Elma. Semakin hari, Rafael semakin membenci Elma. Bukan tanpa alasan. Rafael tidak menyukai kedekatan antara Elma dan Alexander. Bukan sekali dua kali bocah itu memergoki ayahnya duduk berpegangan tangan dengan E
Rafael mengusap wajah kasar, rasanya seperti mimpi, saat ia terbangun dalam keadaan tanpa busana. Wanita berambut kecokelatan yang berbaring di sisinya jelas bukan Selly. Setelah ingatannya terkumpul, kini ia tahu siapa wanita yang masih terlelap dengan selimut membungkus tubuhnya sebatas dada.Queen, tergolek lemah setelah berkali-kali Rafael menghujaninya dengan kenikmatan. Gadis polos yang menyerahkan keperawanan karena tipu daya Rafael. Saat ini Rafael bahkan tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Haruskah ia senang, sedih, atau menyesal?Rafael menyeringai, seharusnya ia merasa senang karena bisa mengalahkan Joshua. Akan tetapi, ketika mengingat Selly, Rafael merasa bersalah karena telah mengkhianati kekasihnya. Sungguh, kalau saja boleh memilih, Rafael juga tidak ingin menyentuh wanita selain Selly. Dia hanya menginginkan Selly, dan dia terpaksa mengambil keperawanan Queen hanya untuk menyakiti Joshua.Menyingkirkan rasa bersalah, Rafael meraih celana panja
Rafael kecil berdiri mematung di ujung tangga. Untuk kesekian kali, ia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar. Pertengkaran yang lebih hebat dari sebelumnya. Baru kali ini Rafael melihat ibunya berteriak histeris sembari menampar Nona Elma yang perutnya sudah membesar.Rafael tidak tahu apa yang mereka ributkan. Hanya saja, sepertinya bayi di dalam perut Nona Elma lah yang membuat mereka bertiga bertengkar hebat. Tetapi kenapa? Apa yang salah dengan bayi itu?"Aku tidak ingin bayi itu terlahir ke dunia!" Mama menunjuk perut Nona Elma. "Aku tidak akan pernah percaya jika dia anak Alexander!""Dia anakku!"Rahang Rafael gemetar. Bayi di dalam perut Nona Elma, anak Papa? Artinya Rafael akan memiliki adik? Rafael juga akan memiliki ibu baru? Tidak, Rafael hanya sayang Mama. Dia tidak ingin memiliki ibu lagi selain Mama. Bagaimana mungkin Nona Elma dan bayinya tega merebut Papa dari Rafael?"Pergi! Aku tidak ingin melihat wanita ini menginjakkan kaki di lant