“Saya terima nikah dan kawinnya Sisilia Sandra binti Ahmad Munawar dengan mas kawin uang tunai seratus juta rupiah dibayar tunai.” Aldin mengucapkannya dengan satu kali tarikan napas.
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya Pak penghulu ke pada orang yang menghadiri acara ijab kabul dari pernikahan Aldin dan Sisil.
“SAH!”
Seketika ruangan itu menjadi riuh, sorak sorai kebahagiaan dari pihak keluarga dan para tamu undangan yang menghadiri acara pernikahan itu.
Kini Sisil sudah sah menjadi istri dari laki-laki yang sudah lama ia cintai dalam diam. Aura kebahagiaan terpancar dari wajah kedua mempelai. Akhirnya cinta mereka berlabuh di pelaminan.
Setelah acara selesai yang diadakan di kediaman keluarga Pradipta, para tamu dan kerabat yang menghadiri pernikahan itu satu persatu meninggalkan tempat resepsi. Sisil dan Aldin pun sudah masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
“Al, tolong bantu aku membuka siger ini.” Sisil telah berdiri di depan sang suami yang jangkung dan gagah, sehingga ia semakin terlihat mungil di depan sang suami.
“Kita sudah menikah, jangan panggil aku dengan sebutan nama saja!” bisik Aldin di telinga sang istri.
Sisil merasakan embusan napas dari sang suami yang membuat ia berdebar-debar. Detak jantungnya terasa berhenti sejenak saat bibir sang suami menempel pada kulit telinganya.
“Hubby, tolong bukain dulu sigernya! Aku udah pegel nih.” Sisil sedikit menggeser tubuhnya. “Baru begini aja, jantung gue serasa mau copot, apalagi dijilat-jilat kayak si Andin,” batin Sisil.
“Baiklah, My lovely.” Dengan telaten Aldin membuka siger dan riasan rambut istrinya. "Sudah selsai."
“Makasih, Hubby. Aku mandi dulu ya.” Sisil berbalik badan menghadap suaminya. kemudian ia berjinjit dan mencium pipi suaminya sekilas, lalu berlari masuk kamar mandi dan mengunci pintunya.
“Nakal kamu ya!” Aldin mengejar sang istri, tapi Sisil sudah lebiih dulu mengunci pintu kamar mandi. “My lovely, buka dong pintunya!” panggil Aldin dengan mesra sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Aldin terus saja membujuk sang istri agar istrinya mau membuka pintu untuknya. “Buka dong! Aku juga gerah nih, mau mandi.”
“Kalau gue bukain pintu, yang ada nggak jadi mandi, malah main raba-rabaan kayak si Andin dan Bang Ar,” gumam Sisil sambil membayangkan malam pertamanya dengan sang suami. “Jual mahal sedikit, Sil, walaupun dia itu suami lo. Jangan main sosor aja,” gumamnya sambil terkekeh.
Beberapa menit kemudian Sisil keluar dari kamar mandi. Ia celingukkan ke kanan dan ke kiri mencari suaminya. “Kemana dia?” Sisil pun segera masuk ke ruang ganti untuk segera berpakaian.
“Sil! Lo di mana sih?” teriak Andin di dalam kamar Sisil.
“Ngapain tuh si gesrek masuk kamar pengantin. Mau gangguin gue kayaknya nih anak,” gumam Sisil dari ruang ganti. Sisil pun segera keluar dari ruang ganti setelah selesai berpakaian.
“Ada apa sih?” tanya Sisil pada sahabat yang kini menjadi adik iparnya. “Mau gangguin malam pertama gue, lo ya,” tuduh Sisil pada Andin.
“Yeh si kupret! Gue mau ngasih ini buat lo.” Andin memberikan paper bag kepada kakak iparnya.
“Apa ini?” Sisil menerima paper bag itu lalu melihat isi yang ada di dalamnya. “Busyet dah! Lo kira badan gue buah apel cuma dibungkus pake ginian. Kalau gue masuk angin gimana.” Sisil membentangkan isi dalam paper bag itu, yang tak lain adalah sebuah lingerie berwarna hitam.
“Udah pake aja! Biar abang gue klepek-klepek,” kata Andin sambil terkekeh.
“Ayan dong laki gue,” sahut Sisil yang juga ikut tertawa. “Oke deh ntar gue pake.”
“Ini tantangan terakhir dari taruhan kita. Gue tantang lo buat merayu Abang gue lebih dulu.”
“Siap!” sahut Sisil. “Ternyata taruhan itu bisa membuat gue jadi lebih dekat sama Abang lo.”
Tanpa mereka tahu ternyata Aldin sedang menguping pembicaraan kedua sahabat itu dari balik pintu.
“Lo emang keren!” Andin mengacungkan jempolnya pada Sisil. “Lo bisa menaklukkan beruang kutub itu,” imbuhnya sambil terkekeh.
“Iya, akhirnya dia jatuh cinta juga sama si mungil yang cantik jelita ini,” ucap Sisil dengan percaya diri.
“Narsis banget lo!” Andin menoyor kepala Sisil hingga kakak iparnya itu hampir terjengkang.
“Gue udah jadi kakak ipar lo, bego!” Sisil kembali menoyor kepala sahabatnya itu.
“Maaf Kakak ipar,” ucap Andin dengan lembut. Kemudian Andin dan Sisil tertawa terbahak-bahak. Kedua wanita cantik itu tidak tahu kalau ada hati yang terluka mendengar obrolan mereka berdua.
“Udah lo sana! Gue mau jualan serabi anget dulu.” Sisil mendorong Andin supaya segera keluar dari kamarnya.
“Selamat menikmati kenikmatan dan kepedihan,” ucap Andin asal ceplos.
“Kok kepedihan?” protes Sisil.
“Iya, nanti lubang lo pasti perih karena gesekan yang gede panjang,” jelas Andin sambil terkekeh.
“Bego, lo!” umpat Sisil.
Andin pun keluar sambil tertawa terbahak-bahak, ia tidak melihat kalau ada kakaknya di samping kiri pintu kamar.
Setelah Andin keluar, Aldin masuk, lalu mengunci pintu kamarnya.
“Hebat kamu!” puji Aldin sambil tepuk tangan. Ia bukan memuji kecantikan atau apa pun, tapi ia menyindir sang istri yang telah membohonginya.
Sisil menoleh ke belakang saat mendengar suara sang suami ketika ia sedang bercermin sambil menempelkan lingerie di tubuh mungilnya.
“Hubby kamu dari mana?” Sisil mendekati suaminya sambil menunjukan lingerie yang diberi oleh adik iparnya. “Apa aku harus memakai ini?” tanyanya sambil membentangkan baju yang menerawang itu.
Aldin menyunggingkan satu sudut bibirnya. “Aktingmu bagus juga.”
“Akting?” Alis Sisil bertaut. Ia tidak mengerti dengan ucapan suaminya. “Maksudnya apa?” Sisil hendak menyentuh tangan sang suami, tapi Aldin dengan cepat menepisnya.
“Nggak usah pura-pura lagi! Aku udah tahu semuanya,” kata Aldin dengan ketus.
“Hubby, kamu marah gara-gara nggak aku ajak mandi bareng.” Sisil memeluk Aldin yang sedang marah. Sisil pikir, Aldin marah karena ia tidak mau mandi bareng dengannya. Ia tidak tahu kalau dari tadi Aldin menguping pembicaraannya dengan Andin.
Aldin melepas pelukan wanita yang baru saja sah menjadi istrinya dengan kasar, hingga Sisil terpental ke tempat tidur.
“Hubby, kamu kenapa?” tanya Sisil dengan suara yang bergetar karena ketakutan. Suami yang baru beberapa menit lalu berkata dengan lembut dan mesra tiba-tiba saja menjadi kasar dan tidak berperasaan.
Tak terasa air mata Sisil sudah menganak sungai di pelupuk matanya. “Kamu kenapa? Jangan bikin aku takut?” Sisil berusaha mendekati suaminya lagi, tapi Aldin mendorong Sisil hingga istrinya jatuh terlentang di kasur.
“Jangan pernah menyentuhku!” tegas Aldin dengan sangat emosi. Ia berubah menjadi kasar dan tidak berperasaan karena hatinya telah dilukai.
Jangankan binatang, manusia pun akan berubah menjadi kasar jika ada yang menyakitinya.
****
Hai semuanya salam gesrek dari Nyi Ratu. Selamat datang di novel terbaruku. Ini merupakan spin off dari novel Pengantin Tuan Haidar. Dukung terus karyaku ya!
Aldin segera masuk kamar mandi untuk berendam air hangat agar ia lebih rileks dan bisa meredam amarahnya. Ia tidak bisa menahan emosi, walau sebenarnya ia tidak tega memperlakukan wanita yang sangat ia cintai dengan kasar. Tapi, ia sudah terlanjur kecewa dengan wanita yang baru beberapa jam lalu sah menjadi istrinya.Iya begitu mecintai istrinya dengan tulus, tapi sang istri mendekatinya hanya karena sebuah taruhan. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak oleh seorang wanita. Terlebih dia adalah istrinya, orang yang sangat ia cintai, wanita pertama yang ia cintai setelah Bunda dan adiknya.Setelah selesai mandi dan berpakaian. Aldin menghampiri istrinya yang sudah terbaring di tempat tidurnya. Tapi, bukan untuk tidur di samping sang istri, melainkan untuk mengambil bantal dan selimut.“Hubby kamu mau tidur di mana?” tanya Sisil pada Aldin. Ia berbicara dengan lembut kepada suaminya, mencoba melupakan perlakuan kasar sang suami k
“Selamat pagi juga cucu kesayangan Nenek!” Bunda Anin memeluk cucu kembarnya. “Mommy kalian mana?” tanya Bunda Anin sambil celingukkan mencari ibu dari kedua cucunya. “Aku diantar Om Nabil, Nek. Mommy dan Daddy lagi sibuk,” jawab Gara. “Iya, Mommy dan Daddy sibuk di kamarnya. Jadi aku minta diantar ke sini aja sama Om Nabil,” timpal Bara. Bunda Anin mengembuskan napasnya perlahan. Ia sudah paham dengan maksud dari cucunya. “Kalian udah sarapan belum?” tanya Bunda Anin pada cucunya. “Udah, Nek,” jawab Bara dan Gara serempak. Ke dua anak laki-laki yang berumur empat tahun itu menghampiri Sisil. “Tante, kalau tante udah sarapan kita main yuk!” ajak Bara pada Sisil. “Tante udah kok sarapannya. Ayo kita main!” Sisil bangun dari duduknya, lalu menggandeng kedua anak laki-laki itu menuju halaman belakang. “Al, kalian lagi berantem?
“Aku nggak akan melepaskanmu begitu aja setelah kamu menyakiti hatiku,” ucap Aldin dalam hatinya sambil melirik sang istri dengan sinis.“Bara! Gara! Ayo kita masuk, Sayang!” ajak Sisil pada keponakannya.“Iya, Tante,” jawab Bara dan Gara serempak. Lalu mereka pun turun dari saung gajebo itu.“Om, ayo kita masuk!” ajak Gara pada Aldin yang melihat om kesayangannya masih duduk di saung gajebo dengan kaki yang menjuntai ke bawah.Aldin pun tersenyum sambil menganggukkan kepala menanggapi ajakan keponakannya. Ia terpaksa mengikuti kemauan sang keponakan, walaupun hatinya akan terasa perih lagi jika melihat wajah istrinya.“Bara, kamu pegang tangan Om ya!” Aldin melepas genggaman tangan keponakannya itu. Kemudian digantikan dengan tangannya. Ia menggandeng tangan Sisil sambil meremasnya dengan kuat.Sisil meringis kesakitan saat tangannya diremas oleh
Aldin dan Sisil tidak menyadari kalau dari tadi ada yang menguping pembicaraannya. Dia adalah Bunda Anin, ibu dari Aldin. “Aldin Putra Pradipta, yang terhormat. Dengarkan aku! Kamu akan menyesal karena udah menyakiti hati istrimu ini,” kata Sisil dengan tegas sambil menunjuk dirinya sendiri. “Kamu akan menyesalinya seperti aku yang sangat menyesal karena terlalu mencintaimu.” Setelah mengucapkan semua itu, Sisil pergi meninggalkan suaminya yang diam mematung setelah mendengar ungkapannya. Aldin pergi ke kamar diikuti oleh bundanya. Bunda Anin ikut masuk ke kamar anaknya, ia sangat kecewa dengan kelakuan sang putra. “Al … Bunda kecewa sama kamu,” ucap Bunda Anin tanpa basa-basi. Alis Aldin betaut, ia bingung dengan ucapan bundanya. “Emangnya Abang ngelakuin apa sama Bunda?” tanya Aldin penuh dengan keheranan. “Bunda tahu apa yang kamu lakukan sama
Aldin pergi meninggalkan meja makan dengan penuh amarah. Ia tidak habis pikir, bundanya sendiri mengizinkan orang lain untuk mengambil istrinya. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.“Aku mencintainya sangat mencintainya. Tapi, aku juga membencinya karena dia telah membohongiku!” teriak Aldin. “Aku nggak mau orang lain mengambil apa yang sudah menjadi milikku.” Aldin melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Ia sudah seperti orang gila yang kerasukan setan.Aldin tidak suka kalau istrinya dekat dengan laki-laki lain, tapi ia juga tidak bisa bersikap manis pada istrinya. Bayangan wajah sang istri ketika tertawa bahagia saat memenangkan dirinya selalu terbayang dalam ingatan yang membuat ia semakin merasa terhina. Orang yang ia cintai telah mengecewakannya.“Kenapa aku seperti ini!” teriak Aldin sambil mengacak-acak rambutnya. Ia marah pada diri sendiri karena tidak
“Tante cantik … Tante cantik!” kita main yuk!” Bara dan Gara mengetuk kamar Aldin dan Sisil sambil memanggil tantenya.“Tante cantik! Buka dong pintunya!” Bara berteriak sambil mengetuk pintu kamar tanpa henti.Sebelum Sisil menjadi istri Aldin. Mereka memang sudah sangat dekat dengan Sisil karena sang mommy bersahabat dengan tantenya.“Mungkin Tante lagi tidur, ayo kita main sama mommy aja!” ajak Gara pada adiknya. Gara memnag sedikit lebih kalem dari Bara. Ia anak yang penurut dibandingkan dengan Bara, adik kandungnya.“Tapi, aku mau main sama Tante cantik.” Bara tidak mau pergi walaupun Gara memaksanya untuk tidak mengganggu sang tante.Berkali-kali Bara mengetuk pintu sambil berteriak memanggil Sisil, tapi tidak ada sahutan dari dalam, sehingga Bara masuk ke kamar tantenya tanpa izin.
Sisil menghampiri anak kembar dari sahabatnya yang sekarang resmi menjadi adik iparnya. “Sayang, katanya mau main sama Tante, tapi kenapa kalian pergi?”“Tadi kata Om Al, mainnya ntar sore aja,” sahut Gara yang sedang belajar menulis sementara Bara sedang bermain robot-robotan.“Oh begitu ya.” Sisil duduk di antara mereka, memerhatikan kedua anak kembar dari sahabatnya itu.“Iya, Tante, makanya kami pergi dari kamar Tante.” Kini Bara yang menimpali.Sisil mengganggukkan kepalanya, lalu mendekati Gara. “Tulisanmu bagus, Sayang,” puji Sisil sambil membelai rambut Gara. “Bara kenapa nggak belajar juga kayak abang?” Sisil menoleh pada Bara yang sedang asyik dengan mainannya.“Belajar tuh ngebosenin, Tante,” jawab Bara dengan santainya. “Aku nggak suka belajar,” imbuhnya.
Sisil masuk ke dalam kamar sambil bersenandung. Tidak peduli lagi dengan masalahnya. Ia akan berusaha melupakan semuanya. Melupakan pernikahan, dan bahkan suaminya.Hatinya terlalu sakit saat orang yang paling ia cintai tidak memercayainya bahkan begitu tega menyakiti raga dan batinnya.“Sisil!” panggil Aldin pada gadis mungil yang melenggang dengan santai di hadapannya menuju kamar mandi.Sisil menoleh pada suaminya tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Aldin, menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Tapi, Aldin tidak kunjung bersuara juga.Melihat Aldin hanya bengong saja tanpa berbicara sepatah kata pun, Sisil kembali melanjutkan langkahnya.“Seeorang istri nggak boleh pergi dengan laki-laki lain tanpa izin suaminya.”Ucapan Aldin menghentikan langkah kaki Sisil. Kemudian ia membalikkan badannya menghadap Aldin.