Share

Bab 3. Cinta Ini Membunuhku

“Selamat pagi juga cucu kesayangan Nenek!” Bunda Anin memeluk cucu kembarnya. “Mommy kalian mana?” tanya Bunda Anin sambil celingukkan mencari ibu dari kedua cucunya.

“Aku diantar Om Nabil, Nek. Mommy dan Daddy lagi sibuk,” jawab Gara.

“Iya, Mommy dan Daddy sibuk di kamarnya. Jadi aku minta diantar ke sini aja sama Om Nabil,” timpal Bara.

Bunda Anin mengembuskan napasnya perlahan. Ia sudah paham dengan maksud dari cucunya. “Kalian udah sarapan belum?” tanya Bunda Anin pada cucunya.

“Udah, Nek,” jawab Bara dan Gara serempak.

Ke dua anak laki-laki yang berumur empat tahun itu menghampiri Sisil. “Tante, kalau tante udah sarapan kita main yuk!” ajak Bara pada Sisil.

“Tante udah kok sarapannya. Ayo kita main!” Sisil bangun dari duduknya, lalu menggandeng kedua anak laki-laki itu menuju halaman belakang.

“Al, kalian lagi berantem?” tanya Bunda Anin pada putranya. “Kalian kok diem-dieman gitu, nggak kayak biasanya.”

“Masa pengantin baru udah berantem, Bun,” sahut Ayah Rey. “Mungkin mereka cuma kecapean aja, Bun.”

“Iya, Bun. Aku dan Sisil cuma kecapean aja. Kemarin ‘kan tamunya banyak banget,” sahut Aldin sambil tersenyum. “Aku susul mereka dulu ya.” Aldin pun bangun dari duduknya. Lalu menyusul Sisil dan ke dua keponakan kembar itu agar Ayah dan bundanya tidak curiga.

“Halo keponakanku yang ganteng-ganteng!” sapa Aldin pada keponakannya. “Om boleh ikut main sama kalian nggak?” tanyanya sambil berjongkok untuk menyejajarkan tingginya dengan kedua anak kembar itu.

“Nggah ah, aku mau main sama Tante aja. Kasihan, Tante lagi bersedih,” jawab Bara sambil melirik tantenya yang sedang duduk di kursi panjang di bawah pohon mangga.

“Iya, aku sama Bara mau menghibur Tante dulu,” timpal Gara. “Aku mau bantuin Tante memukul orang jahat itu,” lanjutnya sambil memukuli Aldin.

“Kenapa Om yang dipukulin,” protes Aldin pada Gara sambil mengusap-usap tangannya berpura-pura kesakitan.

Gara dan Bara wajahnya sangat mirip, tidak ada yang bisa membedakan keduanya, kecuali orang tua mereka. Bara dan Gara memakai gelang yang ada inisial nama masing-masing agar orang lain mudah mengenalinya.

“Maaf, Om. Aku cuma nyontohin aja,” ucapnya sambil tertawa.

Gara dan Bara termasuk anak yang cerdas, bicaranya pun tidak cadel seperti anak lain yang seumuran dengannya. Wajah ke duanya sangat mirip dengan Haidar, tapi kelakuannya sangat mirip dengan Andin. Mudah bergaul dan sangat menyenangkan.

“Kalau Om mau main sama kita, Om bilang dulu sama Tante cantik.” Bara memberikan penawaran pada Aldin.

“Apa dia yang mengajarkan semuanya pada Gara dan Bara?” Aldin bertanya-tanya dalam hatinya.

'Enam tahun aku berjuang untuk mendapatkan cintamu, selama itu juga hatiku selalu setia mencintaimu. Tapi, sekarang aku nggak akan memperjuangkannya lagi. Aku udah capek Al. Terserah kamu aja, kalau kamu ingin aku menjauhimu, aku akan menjauh darimu. Cinta ini benar-benar membunuhku secara perlahan,' ucap Sisil dalam hatinya.

Aldin pun menghampiri Sisil dengan sangat terpaksa, ia tidak mau keponaknnya tahu kalau hubungannya dengan Sisil sedang tidak baik. Bara dan Gara berjalan di samping Aldin sambil menggenggam tangannya.

“Ayo, Om!” Bara dan Gara menarik tangan kakak dari mommy mereka karena Aldin berjalan dengan sangat lambat.

Aldin sedikit mempercepat langkahnya karena tangannya ditarik-tarik oleh laki-laki tampan yang masih berumur empat tahun itu.

“Tante, Om Aldin mau ikutan main sama kita, boleh nggak?” tanya Bara saat mereka sudah berdiri di hadapan Sisil.

“Om kamu nggak bisa ngomong ya?” tanya Sisil sambil menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Kenapa kamu yang bertanya.

Sialan!” umpat Aldin dalam hatinya.

“Ops.” Bara menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. “Aku cuma membantunya aja, Tante. Aku kasihan sama Om, dia nggak ada temenya.”

Tenggorokan Aldin mendadak sangat kering. Hingga ia susah menelan ludahnya sendiri. Ia pun menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan.

“Sil, aku boleh ikutan main sama kalian nggak?” tanya Aldin pada istrinya dengan malas. Kata taruhan itu selalu terngiang di telinganya. Cintanya yang besar kepada Sisil tertutup dengan kekecewaan yang teramat sangat.

“Om! Kalau membujuk orang tuh yang lembut ngomongnya,” kata Bara sambil bertolak pinggang.

“Iya nih. Om lagi berantem ya sama Tante cantik?” tanya Gara sambil bergantian melirik Om dan tantenya.

“Nggak kok,” jawab Aldin dengan cepat. “Kalau nggak percaya tanya aja sama Tante cantik!” kata Aldin sambil tersenyum.

“Bener itu Tante?” tanya Bara sedikit tidak percaya.

Sisil hanya menjawab dengan senyumam saja, lalu ia bangun dari duduknya. “Kita main di sana yuk!” ajak Sisil kepada anak dari sahabatnya yang sejak kemarin sudah menjadi adik iparnya. Sisil menunjuk sebuah saung gajebo yang teduh, penuh dengan kenangannya bersama Aldin.

“Terus Om gimana Tante?” tanya Gara sambil melirik Aldin.

“Biarin aja di sini, kalau dia nggak mau ikut main bareng kita,” jawab Sisil sambil tersenyum manis pada kedua anak kecil itu.

“Tunggu … my lovely! Aku boleh ikutan main bareng kalian nggak?” tanya Aldin dengan lembut sambil tersenyum manis.

Sisil hanya menganggukkan kepalanya tanpa menyahuti ucapan suaminya.

“Sil, kamu jangan coba-coba menghasut mereka untuk membenciku,” bisik Aldin pada istrinya saat mereka duduk di saung gajebo.

Sisil menoleh pada suaminya. “Aku nggak serendah itu. Kita udah lama bersama, apa kamu belum juga mengenaliku?” tanya Sisil dengan pelan. Ia takut keponakannya yang sedang asik menggambar mendengar perdebatannya.

“Selama ini aku selalu percaya sama kamu, tapi setelah hari kemarin, aku udah nggak mempercayaimu lagi. Bertahun-tahun kamu bohongi aku, kalian jadikan aku sebagai bahan taruhan,” kata Aldin sambil memandangi kedua keponakannya itu. Ia berbicara tanpa menoleh pada sang istri.

“Aku akui kalau aku dan Andin bertaruh untuk meluluhkan hatimu, tapi cintaku padamu tumbuh sebelum pertaruhan itu. Terserah kamu mau percaya atau nggak. Aku nggak akan memaksamu untuk memercayaiku. Setelah ibuku benar-benar sehat seperti dulu lagi, aku akan menjauhimu selamanya sesuai keinginanmu,” ucap Sisil dengan tenang. Tidak seperti semalam yang ucapannya sangat kasar.

Degg

Jantung Aldin seakan berhenti berdetak, dunia seakan berhenti berputar saat mendengar istrinya berbicara seperti itu. Ia memang begitu marah dengan istrinya, tapi ia tidak menyangka kalau sang istri bisa dengan gampangnya mengucapkan kata pisah.

Aldin menoleh pada sang istri. Ia terkejut dengan apa yang diucapkan sang istri. “Aku nggak akan menceraikanmu karena kamu adalah amanah dari ibumu,” kata Aldin pelan, tapi tegas.

“Aku akan tetap pergi dari hidupmu,” sahut Sisil dengan mantap. “Jika cinta ini hanya saling menyakiti untuk apa kita bersama. Aku akan menjauh darimu jika keberadaanku hanya akan menyakitimu.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Novi Jaya Yanti
jangan pisah dong sisil, sedih bacany
goodnovel comment avatar
Fareez AkuMu
Baca novel nya aja udah bikin sedih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status