Share

Bab 6. Bersikap Seperti Pelayan

Aldin pergi meninggalkan meja makan dengan penuh amarah. Ia tidak habis pikir, bundanya sendiri mengizinkan orang lain untuk mengambil istrinya. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.

“Aku mencintainya sangat mencintainya. Tapi, aku juga membencinya karena dia telah membohongiku!” teriak Aldin. “Aku nggak mau orang lain mengambil apa yang sudah menjadi milikku.” Aldin melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Ia sudah seperti orang gila yang kerasukan setan.

Aldin tidak suka kalau istrinya dekat dengan laki-laki lain, tapi ia juga tidak bisa bersikap manis pada istrinya. Bayangan wajah sang istri ketika tertawa bahagia saat memenangkan dirinya selalu terbayang dalam ingatan yang membuat ia semakin merasa terhina. Orang yang ia cintai telah mengecewakannya.

“Kenapa aku seperti ini!” teriak Aldin sambil mengacak-acak rambutnya. Ia marah pada diri sendiri karena tidak bisa mengendalikan emosinya saat berada dekat dengan sang istri.

Sementara di meja makan, Bunda Anin dan yang lainnya meneruskan makan. Mereka tidak memedulikan keadaan Aldin. Bunda Anin sangat kecewa dengan sikap anaknya yang bersikap semena-mena terhadap wanita yang baru satu hari dinikahinya.

“Sebaiknya saya pergi dari sini,” kata Nabil memecah keheningan di meja makan setelah kepergian Aldin. “Kehadiran saya mengganggu Tuan Aldin.” Nabil merasa tidak enak hati karena kehadirannya membuat suasana menjadi kacau.

Sejak lama Nabil memang menyukai Sisil, tapi tidak berani mengungkapkannya karena ia tahu sejak dulu, Sisil hanya mencintai Aldin. Ia juga sadar diri, kalau dirinya hanyalah seorang pelayan yang beruntung karena mendapatkan majikan yang begitu baik seperti Tuan Haidar.

“Jangan, Bil! Habiskan dulu makanmu! Maafin Bunda udah melibatkanmu,” ucap Bunda Anin pada Nabil.

“Kalau soal itu tidak masalah, Bu,” balas Nabil sambil tersenyum.

“Terima kasih, Nak.” Bunda Anin membalas senyuman Nabil. “Kamu anak yang baik.”

“Kenapa Bunda berbicara seperti tadi pada Aldin?” tanya Sisil pada mertuanya.

“Bunda udah tahu yang sebenarnya,” sahut Bunda Anin setelah mengelap bibirnya dengan tisu. Semuanya telah selesai makan, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak dari duduknya sebelum Ayah dan Bunda bangun dari duduknya terlebih dahulu.

“Maafin aku, Bun.” Sisil menundukkan pandangannya. Ia merasa bersalah karena telah mengecewakan mertuanya yang begitu baik padanya, bahkan sebelum ia menjadi menantu keluarga Pradipta.

“Bunda yang seharusnya minta maaf,” sela mertuanya sambil tersenyum pada sang menantu. “Bukannya mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya kamu dapatkan dari keluarga ini terutama dari suamimu, akan tetapi hanya penderitaan yang kamu dapatkan.”

“Semua keputusan ada di tangan kamu. Ayah nggak mungkin memaksa kamu untuk tetap menjadi istri Aldin kalau itu hanya membuatmu menderita, tapi Ayah berharap kamu tetap bertahan menjadi menantu Ayah.” Kini giliran ayah mertuanya yang menimpali. “Ayah punya rencana untuk memberi pelajaran kepada suamimu,” ucap Ayah Rey sambil menaikkan satu sudut bibirnya.

Ayah Rey yang jarang ikut campur dengan masalah anak-anaknya, kini ia harus turun tangan karena putra kebanggaannya telah menyakiti menantunya.

“Aku akan menuruti apa kata ayah,” sahut Sisil sambil tersenyum. Walaupun belum tahu apa yang akan direncanakan mertuanya, ia akan menurutinya untuk menyenangkan hati sang mertua sebelum melepas status sebagai menantu Pradipta.

“Baiklah. Nanti ayah kabari lagi.” Ayah Rey bangun dari duduknya, lalu pergi meninggalkan meja makan, diikuti oleh yang lainnya.

“Sil, lo yakin bisa bertahan dengan abang gue?” tanya Andin pada sahabatnya ketika mereka ada di saung gajebo.

“Gue bisa tahan dengan sikapnya, tapi gue nggak bisa tahan tidur malam di ruangan ber-AC,” jawab Sisil sambil menyeringai.

“Lo tidur di kamar si kembar aja, ntar gue kasih ke lo kuncinya.” Andin mengusap-usap punggung sahabatnya. “Maafin gue, Sil. Semua ini karena gue.”

“Ini bukan salah siapa-siapa. Udah jalan takdir gue seperti ini,” sahut Sisil. “Kalau gue pisah sama Aldin, lo nggak benci gue ‘kan?” tanyanya dengan serius.

“Gue sahabat lo. Dulu, sekarang dan selamanya lo tetap sahabat gue.” Andin memeluk sahabatnya sambil menitikkan air mata.

“Ngapain sih lo nangis? Rumah tangga lo dulu lebih tragis dari gue, hidup sama orang yang nggak lo cintai dan harus jauh dengan orang yang lo cintai.” Sisil melepas pelukan sahabatnya, lalu mengusap air mata yang menggenang di pelupuk mata Andin.

“Gue sedih, yang nyakitin lo ternyata abang gue sendiri dan semua itu karena gue,” ucapnya sambil terisak.

“Jangan panggil gue Sisil kalau gue nggak bisa membuat abang lo menyesal,” ucap Sisil dengan serius sambil menyunggingkan satu sudut bibirnya. Senyum penuh dendam.

“Tapi, jangan sampai abang gue gila karena lo, walau bagaimanapun dia abang gue dan sangat mencintai lo.” Andin menatap wajah sahabatnya dengan serius.

“Ya nggak lah bego! Gue juga masih cinta sama abang lo,” sergah Sisil. “Kesalahan terbesar gue, mencintai abang dari sahabat gue sendiri,” ucapnya sambil terkekeh. “Ayo kita masuk, gue ngantuk, semalam gue kedinginan nggak bisa tidur.”

Sisil turun dari saung gajebo, lalu melangkah pergi meninggalkan sahabatnya. Ia akan menutup mata dan telinganya atas sikap suaminya.

Diputarnya kenop pintu kamar dengan perlahan. Sisil melangkah masuk ke dalam kamar, ia terkejut melihat kamar Aldin yang kini menjadi kamarnya juga terlihat sangat berantakan.

“Busyet dah! Apa barusan ada gempa? Kenapa barang-barang semuanya berserakan di bawah?” Sisil memunguti satu persatu barang-barang yang berserakan. Ia merapikan kamarnya sambil bersenandung, tidak peduli suara cemprengnya akan mengganggu tidur sang suami.

Aldin mengerjapkan mata karena mendengar suara cempreng istrinya yang sedang bernyanyi lagu india. Sudah bisa dibayangkan suara cempreng itu menyanyikan lagu india dari sebuah film Bollywood terkenal akan seperti apa jadinya.

Aldin memperhatikan sang istri yang sedang merapikan kamarnya yang berantakan akibat ulahnya sambil tersenyum.

“Akhirnya selesai juga.” Sisil menepuk-nepukkan tangannya sambil melihat ke sekeliling kamar, sudah rapi atau belum. Tanpa sengaja ia melihat sang suami yang sedang menatapnya sambil tersenyum. “Maaf, saya mengganggu tidur, Tuan,” ucap Sisil sambil menundukkan kepala.

Aldin menautkan alisnya mendengar sang istri bersikap seperti pelayannya. Ketika ia ingin mengucapakan sesuatu, Sisil sudah pamit untuk ke kamar mandi.

“Saya mau bersih-bersih dulu, Tuan,” ucapnya. Lalu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

Setelah sepuluh menit Sisil keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju sofa dan membaringkan tubuh mungilnya di sana. Tidak butuh waktu lama, ia sudah terlelap dalam tidurnya. Semalaman ia kurang tidur karena tempat tidur yang tidak nyaman dan ruangannya sangat dingin.

Kenapa dia bersikap seperti seorang pelayan,” gumam Aldin dalam hatinya.

Aldin turun dari tempat tidur, lalu menghampiri sang istri dan menyelimutinya. “Maaf, kalau aku udah menyakitimu, tapi aku nggak bisa melupakan perbuatanmu. Aku sangat membencimu saat ini, tapi hatiku nggak merelakanmu pergi dari sisiku, apalagi dengan laki-laki lain.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status