Share

Bab 7. Cintaku Menyakitimu

“Tante cantik … Tante cantik!” kita main yuk!” Bara dan Gara mengetuk kamar Aldin dan Sisil sambil memanggil tantenya.

“Tante cantik! Buka dong pintunya!” Bara berteriak sambil mengetuk pintu kamar tanpa henti.

 Sebelum Sisil menjadi istri Aldin. Mereka memang sudah sangat dekat dengan Sisil karena sang mommy bersahabat dengan tantenya.

“Mungkin Tante lagi tidur, ayo kita main sama mommy aja!” ajak Gara pada adiknya. Gara memnag sedikit lebih kalem dari Bara. Ia anak yang penurut dibandingkan dengan Bara, adik kandungnya.

“Tapi, aku mau main sama Tante cantik.” Bara tidak mau pergi walaupun Gara memaksanya untuk tidak mengganggu sang tante.

Berkali-kali Bara mengetuk pintu sambil berteriak memanggil Sisil, tapi tidak ada sahutan dari dalam, sehingga Bara masuk ke kamar tantenya tanpa izin.

“Kita masuk aja yuk!” Bara memutar kenop pintu kamar, lalu mendorongnya secara perlahan.

“Bara, jangan masuk sembarangan! Nanti Om marah,” cegah Gara saat Bara hendak melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Gara takut dimarahi karena sudah masuk kamar orang lain tanpa permisi.

“Om ‘kan ada di bawah lagi nonton tv di ruang tamu, dia nggak bakal tahu kalau kita masuk.” Bara tetap masuk ke dalam kamar tantenya walau Bara sudah melarangnya berkali-kali.

“Bara, kamu nakal. Kalau Om sampai tahu gimana?” Gara terpaksa masuk ke dalam kamar menyusul adiknya. Bara memang sedikit berbeda dengan Gara. Bara tidak takut apa pun atau siapa pun, dia akan melakukan apa yang dia inginkan tanpa peduli ocehan orang lain.

Bara mencari-cari keberadaan tantenya di dalam kamar. “Tante di mana ya?” Matanya menyapu seluruh ruangan untuk mencari istri dari omnya. Senyumnya merekah saat ia melihat sang tante tertidur di sofa. Bara segera menghampiri wanita cantik yang sedang meringkuk di sofa dibalut selimut yang tebal.

Gara menghampiri adiknya yang sedang berdiri dekat sofa panjang yang ada di dalam kamar. “Kenapa Tante tidur di sini?” tanya Gara pada Bara.

“Aku juga nggak tahu. Aku ‘kan baru masuk juga,” sahut Bara yang takut disalahkan abangnya.

“Ya udah, kita keluar aja!” Gara menarik tangan Bara agar adiknya itu tidak mengganggu sang tante yang sedang tidur.

“Apa Om Al ngelarang Tante cantik untuk tidur di kasur itu.” Bara menunjuk tempat tidur Aldin dengan tangan kirinya. Tangan kanannya ditarik Gara agar segera keluar dari kamar.

Saat mereka hendak keluar, Aldin masuk dan memergoki keponakannya di dalam kamar. “Kalian ngapain di sini?” tanya Aldin pada kedua keponakan kembarnya.

“Kita mau ngajakin Tante main, tapi dia lagi tidur,” jawab Gara pelan. Ia takut omnya memarahi mereka berdua.

“Om, kenapa Tante tidur di sofa? Om ngelarang Tante tidur di tempat tidur Om ya?” tuduh Bara sambil menunjuk wajah omnya.

“Bara, jangan bilang seperti itu.” Gara menoleh pada adiknya dan mengedipkan mata agar Bara berhenti menuduh omnya.

 Aldin berjongkok untuk menyejajarkan tingginya. “Siapa yang bilang?”

Suara mereka bertiga mengusik tidur Sisil. Ia mengerjapkan mata karena mendengar suara keponakannya. Sisil bangun dan terduduk, lalu menoleh ke arah pintu. Suami dan keponakannya sedang berbicara sesuatu yang belum Sisil mengerti.

Sisil menghampiri Bara dan Gara sambil menutup mulut dengan telapak tangan karena sebenarnya ia masih sangat mengantuk. “Sayang kalian nyariin Tante ya?” ucap Sisil dengan suara serak khas bangun tidur.

Bara dan Gara menoleh pada tantenya. “Maafin kita ya, Tante jadi keganggu,” ucap Gara pada tantenya dengan raut wajah yang penuh penyesalan.

“Kenapa Tante tidur di sofa? Tante nggak boleh tidur di kasur sama Om Al ya? Kini Bara yang bertanya pada tantenya.

“Nggak kok, tadi tante lagi main hape sambil rebahan di sofa, terus Tante ketiduran,” jawab Sisil. “Om Al, baik kok buktinya Tante diselimutin.” Sisil melirik suaminya sambil tersenyum manis.

“Aku kira tante nggak boleh tidur di situ,” kata Bara sambil menunjuk tempat tidur.

Sisil tersenyum pada keponakannya. “Kalian mau main sama Tante ya?” tanya Sisil pada kedua anak kembar itu untuk mengalihkan pertanyaan Bara dan dijawab dengan anggukkan kepala oleh keduanya. “Tunggu sebentar ya, Tante mau cuci muka dulu.” Sisil pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

“Sayang, Om dan Tante ada perlu sebentar, jadi mainnya nanti sore aja ya. Nanti Om ajakin makan es krim mau nggak?” Aldin membujuk keponakannya untuk pergi dari kamarnya karena ia mau berbicara dengan istrinya.

Kedua anak kembar itu pun menurut pada Aldin untuk meninggalkan kamarnya. Aldin segera menutup pintu kamar dan menguncinya.

Sisil keluar dari kamar mandi sudah tidak menemukan keponakannya lagi di dalam kamar. “Kemana dua anak itu,” gumamnya pelan.

Sisil melangkahkan kakinya melewati Aldin yang sedang duduk di tepi tempat tidur, seolah-olah tidak ada orang lain di kamar itu.

“Sil, tunggu sebentar!” ucap Aldin tanpa ekspresi apa pun. Ia tetap memandang lurus ke depan.

Sisil berhenti melangkah, lalu membalikkan badannya menghadap sang suami. “Ada apa, Tuan? Apa ada yang bisa saya bantu,” ucap Sisil sambil menundukkan kepalanya.

Aldin bangun, lalu mendekati Sisil. Tangannya mencengkram dagu gadis mungil yang baru sehari dinikahinya itu, lalu mendongakkannya agar sang istri menatapnya.

“Aku suamimu, jangan sebut aku seperti itu!” tegas Aldin dengan sorot mata yang tajam menatap manik mata istrinya yang jernih.

Sisil menepis tangan suaminya dengan kasar. “Seorang suami nggak akan menyakiti istrinya. Kamu nggak layak disebut seorang suami!” Sisil tidak kalah emosi dengan suaminya. Amarahnya meledak-ledak, ia sakit hati atas perlakuan laki-laki yang sangat ia cintai itu.

“Aku nggak akan menyakiti orang lain jika orang itu nggak menyakiti hatiku,” sahut Aldin penuh emosi.

Sisil menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. “Aku akan bertahan di sini selama enam bulan saja agar keluargamu nggak terlalu malu mempunyai menantu hanya sebentar saja. Setelah itu aku akan keluar dari rumah ini. Kita akan berpisah untuk selamanya. Maaf jika cintaku menyakiti hatimu.”

 Setelah mengucapkan semuanya Sisil keluar dari kamar meninggalkan Aldin yang hanya diam saja mendengar ucapannya.

“Mungkin setelah kita berpisah, kita tidak akan saling menyakiti. Semoga kamu mendapatkan penggantiku,” gumam Sisil dalam hatinya sambil menyeka buliran bening yang tidak terasa menetes begitu saja.

Aldin duduk terdiam di lantai kamarnya. Ia sangat mencintai Sisil, tapi entah kenapa ia tidak bisa mengendalikan emosi setiap berhadapan dengan sang istri. Bukan perpisahan yang diinginkan. Aldin hanya ingin istrinya merasakan apa yang dirasakannya saat ini.

“Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak mau  merelakannya pergi dari hidupku. Tapi, jika dia terus bertahan di sini, aku hanya akan menyakitinya,” gumam Aldin pelan, tatapannya kosong ke depan.

“Al! Kenapa kamu menjadi jahat seperti ini!” teriak Aldin sambil mengacak-acak rambutnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
siti upik
mertua kaya gini,boleh ga sih dikasih minum sianida aja???? ampun deh ngeselinnya ga ketulungan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status