Share

6. Dream Brother

Luna berjalan pelan dengan kepala menunduk. Tidak bisa bebas dari ingatan, ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Dirinya menyesal ketidakberdayaan melawan Colin. Tubuhnya dipermainkan tanpa tanggung jawab. Sekarang ia perlu berpura-pura sehat, pelan-pelan melangkah dan mangkir dari pelajaran olahraga. Mana mungkin kewanitaannya tidak perih. Colin sama sekali tidak peduli dengan hasil perbuatannya sendiri, dia merajalela bahkan kurang dari 12 jam kepergian orang tua mereka.

Gadis itu melangkah malas menuju gerbang sekolah. Dirinya tertinggal jauh dari iringan teman sekelas yang juga pulang. Ia tak bersemangat kembali ke rumah. Ia tidak ingin menemui Colin. Sekarang rumah bukan lagi tempatnya berlindung melainkan penjara.

Lamunan menjadi membuatnya tertawan, tak sadar kakinya sampai di gerbang sekolah. Ia enggan mengangkat kepala. Ia tidak siap mendapati sedan Colin di sana. Ia tidak ingin naik kereta kematian. Setelah mempersiapkan hati, ia mengangkat kepala. Tidak ada mobil maupun pemiliknya terlihat di manapun. Ini sebuah keajaiban?

Daripada menemukan Colin, telinga Luna mendengar keributan di halte. Ada beberapa gadis di sekolahnya sedang bergosip. Sebuah dejavu, Luna mengingat saat Colin menjemputnya beberapa waktu lalu.

Satu pandangan ke arah kerumunan cukup untuk membuat Luna tersentak. Bukan Colin yang ia temukan, tetapi seorang Devin. Lelaki itu sedang bersandar di motornya. Motor itu entah datang dari mana, ia tak tahu. Tetapi hal yang terpenting baginya adalah kabur. Ia tidak ingin menemui siapapun.

Luna sangat tidak beruntung saat Devin mendapati sosoknya dari kejauhan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera mengejar Luna yang malah pergi ke arah berlawanan.

"Kudapat juga kau." Devin menyeringai. Ia membalik tubuh gadis yang ia tangkap, dan seratus. Dia memang Luna. Luna yang sedang menyesali dirinya karena kurang cepat kabur. "Kau tahu betapa lamanya aku menunggumu? Cepatlah." Devin menarik terlalu keras, tidak sadar dengan lawannya yang kalah ukuran. Ditambah dengan bekas memar di balik seragamnya, Luna hanya bisa meringis.

Kerumunan yang sebelumnya memperhatikan Devin kini berpindah menatapi Luna. Mungkin mereka iri, bisa juga memberikan penilaian-penilaian sepihak tentang betapa beruntungnya orang yang dijemput oleh Devin. Beberapa dari mereka juga ada saat Colin melakukan hal yang sama. Mereka mungkin iri. Luna hanya menyayangkan perasaan iri mereka yang tak tahu apa-apa.

Luna memandangi motor besar yang dibawa Devin. Dia tidak tahu darimana benda ini berasal. Ia tak ingat sang ayah punya motor ini. Dia juga tidak pernah melihatnya di garasi rumah. Lagi, ia tidak tahu apakah benda itu memang miliknya.

Sekali lagi Luna mengalami dejavu. Kejadian ini mirip dengan seminggu lalu, saat ia menaiki mobil Colin dan berakhir buruk. Ancaman Devin malam tadi sangat jelas terpatri di kepalanya, ia tidak akan berani untuk melakukan hal-hal aneh, apalagi yang membuatnya emosi.

"Cepatlah naik. Teman-temanmu mengira aku penjahat,” ucapnya datar, seraya memasang helm berwarna senada dengan seluruh pakaiannya, hitam. Auranya membuat Luna merinding. "Cepat." Devin mengulang katanya dengan sedikit menghardik. Luna ketakutan sehingga ia segera menurutinya.

Devin tampak terburu-buru, segera ia menyalakan mesin dan pergi dari sana. Ia mungkin punya insting yang kuat, merasa harus meninggalkan sekolah secepat mungkin atau akan ada sesuatu yang menghalangi. Benar saja, hanya beberapa menit berselang seseorang sampai di tempat yang sama.

Kerumunan para gadis penasaran yang mengerumuni Devin tadi berangsur menghilang, hanya tersisa beberapa orang yang menunggu bus datang. Di sanalah sebuah mobil menepi, kendaraan yang tidak lagi asing di sana.

Colin dengan sedan biru tua kesayangannya.

Pria itu tahu bagaimana caranya menebarkan aura yang memikat. Pada siswi yang sedang menunggu di sana, ia tersenyum ramah. “Apa kalian melihat Luna? Dia gadis yang sering bersamaku. Kurasa dia di tahun kedua.”

"Dia baru saja pergi,” jawab salah satu dari siswi di sana.

Dalam waktu singkat, senyuman di wajah Colin tersapu oleh udara. “Pergi? Dengan siapa? Kalian lihat siapa yang pergi bersamanya?”

"Seorang laki-laki. Dia berpakaian hitam, motor besar, dan banyak tindik di telinganya.”

“Sialan!” Sebuah umpatan diikuti oleh pukulan keras pada kemudi menjadi pelampiasan Colin. Para gadis yang melihatnya otomatis terkejut dan melangkah mundur.

Colin segera pergi dari tempat itu. Dirinya sangat murka, saat ini merasa bisa mematahkan leher seseorang.

.

.

.

.

.

Luna pada keahlian dua saudara itu mencari jalan yang sepi. Devin saat ini membawanya pergi entah ke mana. Ia juga terpaksa memeluk erat punggungnya, karena laju motor yang sangat menakutkan. Kecepatannya membuat Luna merinding. Lagi, ia tahu bahwa ini bukan arah jalan pulang. Bohong jika gadis itu tak gugup dan berpikiran bahwa dia akan dilukai lagi.

Namun kekhawatiran sedikit meregang saat mereka kembali memasuki kawasan perkotaan. Kecepatan motor juga melambat. Suasana menjadi sedikit melankolis, dengan udara yang bertiup sedang juga figur mereka yang terlihat romantis. Sedikit mengubah persepsi saudara menjadi sepasang kekasih.

Luna menikmati degupan jantungnya yang mulai tenang sampai tangan yang memeluk punggung itu diraih dan digenggam oleh pengemudi motor. Devin melirik pelan ke arah spion, mata mereka bertatapan tak langsung. Dia kemudian melirik Luna sesaat. “Hold me tight.”

Untuk beberapa alasan, hati kecil seorang gadis yang tak pernah merasakan cinta itu bergetar. Meski singkat, kalimat Devin membuat perasaannya campur aduk. Suara lembut itu membuat perasaanya terusik. Ia mungkin jatuh cinta.

Perasaan sesaat akan tetap jadi singkat saat kecepatan motor berangsur melambat dan berhenti. Lamunan akibat degupan tak bertanggungjawab itu harus disimpan bahkan dihapuskan karena kenyataan. Mereka berhenti di depan sebuah hotel!

Luna mematung menatap bangunan itu dari bawah hingga ke atas. “Ho-hotel?”

Devin terkekeh, "Si kaku itu pasti akan mencarimu ke rumah. Dia tidak akan bisa menemukan kita di sini,” jelasnya ramah dan santai.  Ekspresinya sama sekali tidak sama dengan orang yang memberikan ancaman kemarin. "Aku akan tunjukkan sesuatu padamu."

Devin menarik lengan Luna, dan membawanya masuk ke dalam hotel. Di lobby, beberapa orang terlihat terkejut melihat mereka, tetapi kemudian menyapa. Seperti orang yang berbeda, Devin sangat ramah pada semua orang. Beberapa karyawan hotel yang sudah berumur mengenalinya dan mereka sangat akrab.

Butuh beberapa waktu bagi Luna untuk menyadari kalau hotel itu adalah aset keluarganya. Ini hotel yang dibangun oleh kakek tirinya. Mereka benar-benar kaya. Sang ayah tiri adalah pengusaha sukses dan mempunyai anak-anak yang tampan. Adalah keberuntungan bisa menjadi bagian dari mereka. Hanya jika ia benar-benar dianggap sebagai saudara bagi mereka.

"Tuan Devin, lama tidak berjumpa dengan Anda." Sapa seorang pria sekitar awal 30an dengan seragam khas hotel berwarna emas. "Sudah lama sejak terakhir kali Anda kemari."

"Tolong siapkan kamar untukku."

"Baik, Tuan Devin."

Luna seperti seekor peliharaan yang mengikuti Devin ke mana pun. Mereka naik elevator dan pergi hingga ke lantai teratas. Ia ingin bertanya, tetapi ia tak yakin. Tangannya tidak dilepaskan sama sekali. Pikiran negatif kembali menghantui, Luna panik dan tak ingin dirinya disakiti lagi.

Mereka melewati koridor kamar. Tujuan Devin bukan salah satu dari mereka. Mereka memasuki koridor panjang yang tak ada seorangpun ada di sana. Luna yakin ia melihat tulisan 'Employees Only' sesaat sebelum ia memasuki koridor itu. Dan sekarang mereka berada di sana.

Di ujung koridor terdapat tangga kecil dan tangga itu menuju atap hotel. Luna tak punya ide apa yang mungkin mereka lakukan di sana.

Ketika pintu atap di buka olehnya, Devin akhirnya melepaskan genggamannya pada Luna. Atap hotel lima belas lantai itu menyuguhkan pemandangan pusat kota yang menyegarkan. Mata langsung dimanjakan oleh pemandangan yang tak akan bisa didapatkan di manapun.

Devin berlari kecil menuju pinggir atap, ia ceria. Ia meregangkan tangan dan tubuhnya bebas, bahkan berteriak melepaskan penat yang seakan-akan tidak tersalurkan dalam waktu lama. “Sudah lama sekali aku tidak ke sini,” ucapnya.

Luna mungkin senang dengan pemandangannya. Ia juga senang dengan ekspresi segar Devin. Namun tujuan mereka belum terungkap. Ia belum benar-benar aman. Devin masih tetap mengerikan baginya.

“Cobalah kau kemari. Kau bisa melihat seluruh kota dari sini,” ajak Devin.

Luna setuju. Devin benar tentang pemandangan ini. Tempat ini memang sangat baik untuk menenangkan hati. Juga, cukup romantis. Lagi, ada percikan yang tidak biasa dirasakan oleh si polos yang tak punya pengalaman cinta itu.

 "Aku sering kemari dulu. Tempat paling tenang di tengah kota sibuk seperti ini,” kata Devin seraya bersandar di pembatas atap. "Kau pasti belum pernah kemari, 'kan? Santai saja. Aku tidak akan melakukan apapun padamu."

Kalimat yang sulit di percaya jika dibandingkan dengan ancaman yang Luna terima kemarin di toilet restoran.

"Kau pasti takut." Devin terkekeh, "aku hanya bercanda kemarin."

"Be-bercanda?"

"Iya."

Devin menarik Luna mendekat. "Aku mungkin terlihat seperti berandalan tetapi aku bukan pria yang seperti itu. Aku ini pria baik-baik."

Luna masih tidak percaya. Mungkin karena dia berpengalaman dengan hasutan pria baik dan berakhir dengan di perkosa.

"Aku juga ingin dekat denganmu seperti kau dengan si kaku. Si kaku pasti memperlakukanmu dengan manis sampai kau tidak mau tinggal bersamaku."

"Kakak …."

"Hm?"

Devin saat ini dengan Devin kemarin benar-benar seperti Jekyll dan Hyde. Seperti dua kepribadian berbeda yang berada dalam satu tubuh!

"Kenapa, Kakak memakai tindik?"

"Terlihat menakutkan, ya? Haha." Di luar dugaan ia malah tertawa. Dan lagi, ia melepas satu persatu tindik telinganya! Tindik-tindik itu di letakkan di telapak tangan Luna yang heran. Semua tindik terlepas. Sekarang ia menjadi lebih tampan bagi Luna, dan semakin tampan ketika ia tersenyum.

"Lihatlah? Aku terlihat cantik, 'kan?"

Luna menggelengkan kepalanya, "tidak. Bagiku Kakak tampan."

"Thanks, Luna. Tetapi tidak semua orang beranggapan sepertimu. Teman-temanku di Amerika menganggapku terlalu cantik. Itulah alasan mengapa aku menindik telingaku. Setidaknya aku mendapat kesan garang. Kemudian aku menikmatinya, jadi aku memperbanyak tindikku. Apa aku terlihat menakutkan?" Devin kembali tersenyum kemudian melemparkan pandangan matanya pada pemandangan yang terlihat dari atap hotel. "Kau pasti sangat takut denganku karena ancaman kemarin. Percayalah, aku hanya bercanda."

"Mengapa melakukannya?" Luna tanpa berpikir banyak bertanya, seperti terlalu penasaran untuk merasakan takut diperkosa.

"Mengapa? Aku lihat kau sangat menurut pada si kaku. Jangankan berbicara padaku, menatapku saja kau takut. Dia mungkin mengatakan yang tidak baik tentangku padamu. Jadi, aku pikir, mengapa tidak sekalian saja aku mengerjaimu. Perutku sampai sakit karena melihatmu begitu ketakutan. Kau payah sekali."

"Kakak memang sangat menakutkan." Luna akhirnya bisa sedikit tersenyum. Percayalah, senyum itu keluar begitu ikhlas. Bagaimana bisa seorang Devin yang membuatnya gemetar hebat berubah menjadi seorang kakak yang ia impikan dalam waktu singkat?

"Tenang saja. Karena kau sekarang adikku, aku akan menjagamu.”

To be continued

by Ayasa

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status