Setelah deadline pekerjannya selesai. Aya memutuskan pergi ke kafe pojok yang letakknya memang di pojok ruko sesuai dengan namanya. Ia hendak mengisi perutnya sebelum kembali pulang ke apartemen. Ruko itu kini sudah banyak berubah, setelah mengalami pergantian pemilik hampir beberapa kali. Setidaknya itu yang ia dengar dari para seniornya.
Aya setengah berlari, ketika melihat pintu harmonika ruko tersebut tertutup separuh. Padahal jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, karena biasanya kafe tersebut baru tutup sekitar jam sebelas malam.
“Lin, kok ditutup separuh?” tanya Aya pada Linda, salah satu pelayan yang sudah di kenalnya. Aya tidak hanya mengenal Linda sebenarnya, tapi ia sudah mengenal seluruh penghuni yang ada di kafe tersebut. Ya, Aya memang seramah dan sehumble itu dengan siapapun, sama seperti Bintang.“Ini juga mau di buka, mbak. lagi pada briefing di atas. Tapi baru selesai.” Jelasnya lalu menyuruh satu lagi pelayan yang bernama Budi untuk membuka pintu harmonika dengan lebar.
“Tumben,” Aya melangkah masuk menuju meja yang biasa ia duduki. Namun ia urungkan karena ada laptop dan beberapa berkas di atasnya. Meja itu sudah ada penghuninya terlebih dahulu. “Bakso keju seperti biasa ya, Lin. Mie-nya double.”
“Oke.”
Setelah mencatat pesanan Aya yang selalu itu-itu saja, dan tidak pernah berubah. Linda pergi ke pantry dan menyerahkannya ke bagian counter untuk diproses.
Belum ada lima menit Aya duduk di kursi dekat tangga. Ada seorang pria yang menarik kursi di hadapannya. Aya meletakkan ponselnya di meja. Menatap lamat-lamat pria yang saat ini juga melihatnya. Tidak kunjung mendapat petunjuk, dan pria itu juga hanya diam saja. Aya berinisiatif mengawali percakapan.
“Mas siapa ya?”
Sudut bibir pria itu kontan terlipat, ia seperti menahan sesuatu. Namun tak lama tawanya pecah, melihat Aya yang hanya bengong.
“Masa’ ayang lupa sama bebebnya sendiri.”
Dengan mata terbelalak lebar Aya bangkit. Menghampiri pria itu dan mengacak-acak rambut yang sudah tidak lagi gondrong.
“Bang Andra? Sumpah! Pangling! Gak kenal! Mana kumis sama jenggotnya juga habis gini.” Aya tanpa segan memegang rahang Andra dengan kasar dan menggerakkannya ke kanan dan kiri. “Astaga! kalau abang gak ngomong mana aku tahu!”
Andra hanya tertawa membiarkan Aya melakukan apapun pada pada wajah pria yang berusia 30 tahun itu.
“Habis kesambet apaan bang?”
“Bang Andra mau nikah, besok dia pulang ke Malang, nikahnya minggu depan.” Kata Linda meletakkan semangkuk bakso dan satu lagi mangkuk berisi mie. Tidak lupa segelas orange juice yang selalu jadi minuman favorit gadis itu.
Aya berdecak sambil memukul meja, ia lalu menjatuhkan bokongnya di kursi yang bersebelahan dengan Andra. “Hari ini, aku kenapa dapat kabar orang-orang pada mau nikah semua sih?”
“Emang sudah fitrahnya gitu. Lo juga, nanti kalau udah ketemu jodohnya pasti nikah.”
Wajah Aya sontak bersemu merah, membayangkan dirinya dan Astro bersanding di pelaminan. Dulunya, Aya mengira perasaannya kepada Astro hanya sebatas rasa sayang yang sama, seperti dirinya menyayangi Asa. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin dewasa, Aya sadar kalau rasa sayangnya kepada Astro berbeda. Dan dengan seluruh keberaniannya, Aya mengatakan semua perasaannya kepada Astro sehari setelah hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas.
--
Hari itu, Bintang meminta Astro untuk menjemput Aya di kediaman Kaisar, untuk makan malam keluarga di rumah kakek nenek mereka. Seperti itulah ritual tiap tahunnya. Asa dan Aya akan merayakan ulang tahun bersama sang bunda terlebih dahulu. Keesokan harinya, barulah mereka berdua akan berpencar merayakannya di rumah ayah masing-masing.
Astro tidak langsung menancapkan gasnya saat Aya sudah masuk ke dalam mobil. Ia memutar tubuh menatap Aya lekat-lekat, membuat gadis itu salah tingkah.
“Ngapain lihat-lihat?”
“Kamu pake lipstik, Ay?”
“Eh, itu …” Aya menunduk sebentar lalu mengangkat wajah mencari sesuatu. Ia menarik selembar tisu dari tempatnya. “Jelek yaa? Aku nyomot lipstik bunda sih, tadi.”
Astro mencegah tangan Aya yang hendak menghapus lipstik berwarna peach itu dari bibirnya. “Cantik, gak usah dihapus. Cewek kan harusnya begini. Kamu itu kebanyakan gaul sama Asa, jadi terlalu cuek sama penampilan.”
Aya sudah tidak mampu lagi memuntahkan kalimatnya. Jantungnya berdegup liar, sampai tidak sadar kalau mobil yang ia tumpangi sudah berhenti di parkiran sebuah gedung apartemen. Keduanya memang tidak membicarakan hal apapun selama perjalanan. Hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Ayo turun.”
Meskipun terkesan janggal, tapi Aya menurut dan mengikuti Astro masuk ke dalam gedung. “Kita mau ke mana kak? Ke tempat siapa?”
“Apartemenku.”
“Ngapain?”
Astro tidak menjawab, ia hanya mengusak puncak kepala Aya dan merangkul gadis itu masuk ke dalam lift. Sepanjang lorong pun, Astro menggandeng tangan Aya dan melepasnya setelah memasuki kamarnya.
Astro mengambil sebuah kotak putih dengan list berwarna gold membentuk pita ditengahnya. Ia lantas menyerahkannya pada Aya, “Ganti bajumu, panggil aku kalau sudah selesai.”
Aya hanya bengong tidak menjawab. Setelah Astro keluar dan menutup pintungnya, Aya membuka kotak tersebut. Ada sebuah lace dress berwarna putih dengan round neck yang begitu cantik di dalamnya. Aya lantas membuka kancing kemejanya satu persatu berikut celana jeansnya. Memakai dress berlengan tiga perempat yang jatuh tepat di atas lututnya dengan cepat, lalu memanggil Astro.
Pria itu langsung memberi siulan panjang kepada Aya, sembari menghampiri dan berhenti tepat di depan gadis itu.
“Cantik.”
“Makasih.”
Astro meraih jemari Aya. Bermaksud membawa gadis itu agar segera pergi ke rumah kakek mereka.
“Kak.”
Panggilan Aya itu, membuat Astro tidak jadi melangkahkan kakinya. Pria itu memutar tubuh dan menatap penuh tanda tanya.
“Aku … suka sama Kak Astro.”
“Aku juga suka sama kamu.” Astro tersenyum, mencubit pipi Aya yang masih chubby tidak setirus saat ini.
Aya menggeleng. “Bukan, maksudnya, aku sayang sama Kak Astro. Aku … aku, cinta sama kakak.” Kepalanya tertunduk malu, merutuk sekaligus merasa lega karena sudah mengungkapkan perasaannya.
Astro mengangkat dagu Aya dengan telunjuknya. “Ingat kata-kataku ini, jangan pernah tundukkan kepalamu saat berbicara dengan orang, ngerti?”
“Ngerti.” Jawab Aya sambil mengangguk kecil dan menatap lurus pada manik Astro.
“Sekarang, ulangi lagi kata-katamu barusan.” Perintahnya namun lembut.
“Aku … cinta sama kakak.”
“Cinta?” Astro tersenyum tipis hampir menyerupai seringai. “Apa buktinya?”
“Bu—kti?” Aya menelan ludahnya yang tiba-tiba tercekat. Apa setiap calon pengacara harus meminta bukti jika ingin menunjukkan sebuah kebenaran. Bagaimana kalau Aya tidak mempunyai bukti apapun untuk menunjukkan rasa cintanya pada Astro. Apakah hal itu nantinya akan dianggap kebohongan belaka?
“Bukti yang gimana?” tanya Aya lagi dengan kerjaban polosnya. Seumur hidupnya ia hanya menyukai Astro seorang. Jadi Aya tidak mengerti harus memberikan bukti seperti apa.
Dengan menarik lembut jemari Aya, Astro duduk di tepi ranjang. Membawa gadis itu duduk di pangkuannya. Ibu jari Astro berjalan di sepanjang garis bibir Aya dan maniknya pun hanya memandang benda penuh nan sensual tersebut.
“Bibirmu, siapa yang pernah menyentuhnya? Menciumnya?”
Tubuh Aya menegang, merasakan semua sentuhan lembut jemari Astro. Tubuh Aya meremang, saat satu tangan Astro yang mengalung pada pinggangnya, tiba-tiba meremas kulitnya begitu lembut.
“Bibirku … belum pernah ada yang nyentuh.”
“Ahh,” desahan paham terlontar dari bibir Astro. “Buka sedikit bibirmu, dan ikuti semua yang aku lakukan.”
Aya menggigit bibirnya sejenak, lalu membukanya sesuai permintaan Astro. Detik itu juga, Aya merasakan suatu yang bergejolak, saat Astro menyatukan bibir mereka. Pria itu memberi Aya sebuah pengalaman pertama yang sangat lembut, dan berkesan, dengan membelit hangat lidahnya.
“Kak, ini …” Aya terengah, sibuk meraup udara. Ia tidak bisa memikirkan hal apapun lagi, Masih larut dalam euforia hasrat yang masih tertinggal di tiap ruas bibir dan mulutnya.
“Aku tahu apa yang kamu rasain sekarang, karena aku juga ngerasain hal yang sama.” Astro memberikan senyum lembutnya. “Jangan pernah ngelakuin hal ini dengan siapapun kecuali aku. Dan, ini akan jadi rahasia kecil kita, karena kamu masih harus sekolah dan meneruskan pendidikan yang lebih tinggi lagi. ngerti?”
Aya mengangguk paham, lalu mereka kembali mengulang hal yang sama, sampai Bintang menelepon, menanyakan di mana posisi mereka saat ini.
—You’re the only one, who can keep me (in)sane—Abraham Yasa ChandrakeswaraSeorang pria menepuk punggung Andra dengan keras, setelah Aya melenggang pergi dari kafe.“Cewek tadi, siapa? akrab banget.”“Ciyeeh si boss, tadi ada orangnya gak diajakin kenalan. Sekarang udah pergi jauh, panas sendiri.”Yasa, sang pemilik kafe pojok berdecak sebal, ia lantas duduk di depan Andra, sang manajer kafe waralaba miliknya. “Gak gitu, Ndra. Aku kayaknya pernah lihat, tapi di manaaa gitu ya.”“Makanya sering-sering nengokin kafe, kalau aku gak cuti, gak mungkin kamu ke sini.”“Tinggal jawab, Ndra. Gak usah muter-muter.”Selagi Yasa masih mengingat-ingat, Andra mengeluarkan ponselnya dan membuka sebuah aplikasi media sosial. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Andra menyodorkan benda pipih itu kepada Yasa.“Dia wartawan Metro. Cahaya Bhan
Begitu melihat sepasang suami istri dan anak laki-lakinya yang selalu terlihat kompak itu, memasuki restoran. Yasa segera berdiri, memasang senyum ramahnya dengan hormat.“Rombongan nih, pak?” tanya Yasa sembari menyalami sepasang suami istri yang tertawa menanggapi pertanyaannya. Tidak lupa Yasa ber-hi five pada bocah yang berusia 14 tahun itu.“Kebetulan nyonya besar mau nyalon di sebelah, jadi sekalian.” Bintang mengerling pada sang istri yang memberikannya cebikan bibir merahnya. Lalu mereka duduk mengitari meja dan memesan minuman. “Mereka belum datang?” tanyanya pada Daisy.“Telat dikit, Aya sama Asa pulang ke rumah. Jadi, Sinar lagi ceramah sebentar, sebelum si kembar siam itu menghilang lagi dari rumah.”Kalau dirunut ke belakang, justru Asa dan Aya-lah yang lebih terlihat seperti anak kembar. Kedua kakak beradik itu selalu saja kompak, dan kerap terlihat bersama-sama dari pada si kembar yang sebenar
Zetta menghampiri Astro yang masih berkutat dengan laptopnya di ruang tengah. Kedua tangannya mengapit dua buah piring berisi nasi goreng seafood, yang baru saja dibuatnya untuk makan malam. Ia meletakkan kedua piring tersebut berjajar dengan laptop yang ada di meja kaca.“Makan dulu.” Zetta duduk bersila di atas karpet. Meletakkan dagunya pada paha Astro yang duduk di sofa. Kelopak matanya mengerjab beberapa kali, memperhatikan layar datar yang tengah dibaca Astro. “Milliar Paper? Kenapa dari dulu kamu terus ngurusi masalah ini? Emang belum selesai-selesai gitu kasusnya?”Astro mengusap kepala Zetta dan mengecupnya sebentar. “Kasus ini bahkan selesai sudah lama, tapi banyak yang janggal di dalamnya.”“Dan, hampir sepuluh tahun kamu belum nemu di mana janggalnya?”“Lebih sepuluh tahun. Dan, yaa, aku mau buka lagi kasus ini! Sebentar lagi, sedikit lagi.” Zetta mengerucutkan bibirnya tidak
"Papi gak ngelarang kalian jatuh cinta, dan pacaran dengan siapapun di luar sana. Tapi satu yang harus kalian ingat, papi ngelarang kalian untuk jadi bodoh! Don’t let that fvcking love, ruins your future!"Sederet kalimat Pras yang kerap dilontarkan pria itu, ketika Aya dan Asa menginjak usia pubertas, seketika terngiang di kepala Aya.Kini, hasratnya harus berperang dengan logika. Kaos dan celana jeansnya kini sudah tergeletak entah ke mana. Tangan besar Astro, sudah menjelajah di tiap inchi kulit tubuhnya tanpa bisa ditolak. Raganya seakan berkhianat dengan otaknya. Nafsunya tidak sejalan dengan nalar di kepala.“Jaga kehormatanmu, Ay! Dengan begitu, suamimu juga akan menghormatimu.”Saat kalimat Pras tidak mempan menyadarkan Aya. Kini, kalimat singkat sang bunda langsung tepat menampar otak besarnya. Aya buru-buru mendorong tubuh Astro dengan keras, saat pria itu baru saja membuka pengait pakaian dalam yang berada di punggungnya
Aya menjatuhkan separuh tubuhnya di atas meja front office. Deadline kerjanya sudah selesai satu jam yang lalu, tapi Aya masih malas melangkah untuk pulang ke apartemennya. Sudah tiga hari sejak kejadian dengan Astro berlalu, tapi pria itu seolah menghilang dari jangkauanya.Astro tidak pernah lagi mampir ke unit apartemennya. Pria itu juga tidak mengangkat telepon ataupun membalas chat dari Aya. Ingin sebenarnya mendatangi kantornya, tapi, pria itu belum tentu ada di sana.Dengan menutup mata sembari menghirup napas begitu dalam, Aya memutuskan kembali mencoba untuk menelepon Astro. Namun, lagi-lagi nihil, karena pria itu tidak kunjung mengangkat teleponnya.Di satu sisi, Aya merasa begitu bodoh. Secara logika, Aya mengaku kalau ia memang sangat bodoh dalam urusan cinta. Tapi, sebagai seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaan, ia merasa semua yang dilakukannya tidaklah salah. Menghubungi pria yang dicintainya, dan menurunkan ego untuk memperbaiki sebuah h
“Sayang, bangun …”Zetta sudah berulang kali menepuk pelan pipi Astro untuk membangunkan pria tersebut. Namun yang dibangunkan, tidak kunjung menampakkan manik kelamnya untuk melihat Zetta.“Kamu gak ke kantor? Ini sudah jam delapan.”Akhirnya Astro menggumam, membuka segaris tipis kelopak matanya menatap Zetta yang sudah mengenakan pakaian kerja. “Kapan kamu mau resign?”Zetta memberi senyum hangatnya untuk Astro, yang sudah membuka maniknya dengan sempurnya. Beranjak dari tepi ranjang menuju meja rias. Menarik kursinya dan duduk di sana. “Setelah kita nikah, baru aku ajuin resign.”Gadis itu memejamkan matanya sebentar dan menyemprotkan face mist ke wajah manisnya.Masih enggan bangkit dari ranjang, Astro hanya memiringkan tubuhnya dengan malas, lalu menatap Zetta. “Aku mau dipercepat, jadi minggu depan aku lamar kamu, teruus … persiapan sebulan sepertinya cukup.” Ta
Zetta dengan wajah beceknya, melempar kumpulan foto-foto Astro dengan Aya, tepat di wajah pria itu, ketika Astro memasuki rumahnya.“Kamu itu, menjijikkan!” Muntahan kalimat yang dilemparkan oleh Zetta membuat kedua tangan Astro mengepal. Pria itu lantas berjongkok, untuk mengambil kumpulan foto yang sudah jatuh berserakan di kakinya. Rahangnya mengetat, ketika melihat kesemua foto itu berisi pose mesra dirinya dengan Aya.“Zetta …”“Aku kurang apa sama kamu selama ini!” Zetta terisak, tubuhnya terjatuh begitu saja di lantai ubin. Menatap nanar dengan pandangan yang sudah mengabur. "Belum-belum kamu sudah selingkuh!"Astro menghampiri Zetta dan berjongkok di hadapan gadis itu. “Zetta, a—ku minta ma—”“Keluar dari rumahku, bawa semua barang-barangmu dari sini dan jangan pernah temui aku lagi.”Astro menahan napasnya sejenak. Tangannya masih mengepal erat dengan ura
I Love me, my self and I ... also my family, of course!-Fernando Yeva-Aya sudah terbangun satu jam yang lalu.Namun, ia masih tidak beranjak dari ranjangnya. Gadis itu hanya meringkuk dalam tangis, terbalut selimut yang membungkus tubuhnya yang masih polos. Enggan beranjak meskipun dering ponselnya sedari tadi sudah berkali-kali memanggilnya.Pergelangan tangannya memar. Tubuhnya sakit, bagian intinya terlampau perih, hatinya terluka … Dan di atas itu semua, harga dirinya sudah hancur. Astro telah merenggut mahkotanya dengan sangat kasar. Tidak ada sedikitpun kelembutan di dalamnya.Semua sandiwara. Selama ini, sikap sempurna Astro hanyalah sandiwara belaka. Pria itu membenci dirinya juga sang bunda. Dan, Astro juga menyebut nama Pras di dalamnya.Samar-samar Aya mendengar suara pria memanggilnya. Aya menggeleng horor. Tubuhnya tremor saat suara tersebut semakin mendekat ke kamarnya. Ia meremat erat selimut yang melingku