Share

Begitu Kontradiktif

—You’re the only one, who can keep me (in)sane—

Abraham Yasa Chandrakeswara

Seorang pria menepuk punggung Andra dengan keras, setelah Aya melenggang pergi dari kafe.

“Cewek tadi, siapa? akrab banget.”

“Ciyeeh si boss, tadi ada orangnya gak diajakin kenalan. Sekarang udah pergi jauh, panas sendiri.”

Yasa, sang pemilik kafe pojok berdecak sebal, ia lantas duduk di depan Andra, sang manajer kafe waralaba miliknya. “Gak gitu, Ndra. Aku kayaknya pernah lihat, tapi di manaaa gitu ya.”

“Makanya sering-sering nengokin kafe, kalau aku gak cuti, gak mungkin kamu ke sini.”

“Tinggal jawab, Ndra. Gak usah muter-muter.”

Selagi Yasa masih mengingat-ingat, Andra mengeluarkan ponselnya dan membuka sebuah aplikasi media sosial. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Andra menyodorkan benda pipih itu kepada Yasa.

“Dia wartawan Metro. Cahaya Bhanuresmi, anak-anak manggilnya Ayang.” Kekeh Andra melihat ekspresi terkejut Yasa saat melihat ponselnya.

“Ini …” Yasa mengeser foto demi foto yang dilihatnya dengan tatapan tidak percaya. “Serius ini cewek tadi?”

Jelas saja manik Yasa membeliak tidak percaya. Penampilan Aya yang baru saja ia lihat, berbeda 180 derajat dengan tampilan di instagram yang ditunjukkan oleh Andra. Aya yang berprofesi sebagai wartawan, hanya memakai pakaian kasual, dengan wajah polos yang nampak lelah, setelah bergelut dengan deadline. Sedangkan, yang kini dilihat oleh Yasa, pada benda persegi itu, adalah sosok Aya yang begitu elegan. Masih sama-sama cantik namun dengan aliran fashion yang begitu kontradiktif.

“Hmm, tahu brand DailYou kan? Nah, si Ayang itu, sering dipake buat jadi modelnya.” Terang Andra yang sepertinya masih hendak melontarkan banyak informasi kepada pria berusia sama dengannya.

“DailYou? Butik tas sama sepatu punyanya Ibu Daisy?” tanya Yasa memastikan. Tangannya terus saja men-scroll tampilan foto-foto Aya yang ada di dalam ponsel Andra.

“Yaah, aku mana tahu siapa yang punya, tapi gosipnya si Ayang itu anaknya yang punya butik itu. Jadi ya wajar kalau dia sekalian jadi modelnya. Tapi …” Mulut Andra tiba-tiba ragu untuk mengutarakan isi pikirannya.

“Tapi apa?” Sambar Yasa cepat.

“Tahu Pak Kaisar? Rival kakekmu dulu waktu pencalonan gubernur tahun … tahun kapanlah itu aku—”

“Iya, iya aku tahu.” Sela Yasa tidak sabar. “Siapa yang gak kenal Pak Kaisar, mantan gubernur itu, kenapa?”

“Nah! Ada juga yang bilang kalau dia itu cucunya beliau.”

“Ngaco lah kamu tuh, Bu Daisy sama Pak Kaisar itu gak ada hubungan apa-apa. Aku kenal sama papa Bu Daisy, namanya Pak Lewis.” decak Yasa mengembalikan ponsel milik Andra, lalu beranjak meninggalkan pria itu sendiri. Yasa kembali ke meja pojok, untuk bergelut dengan laptop yang berisi laporan dari berbagai bisnis waralaba yang dimilikinya.

Andra ikut bangkit dari tempat duduknya menyusul Yasa. “Gak ada lagi yang mau ditanyain, Yas?”

“Gak ada,” Yasa mengalihkan tatapannya dari laptop sejenak, memandang lurus untuk beberapa detik. Setelahnya, ia mendongak menatap Andra yang berdiri di samping mejanya, sambil melipat tangan di depan dada. “Cuti jangan ngaret, aku ada business matching* di Bali setelah itu.”

Andra gemas dengan sikap jaim yang ditunjukkan oleh sahabat sekaligus bosnya itu. Yasa tidak akan pernah bertanya tentang seorang gadis, jika pria itu tidak benar-benar menaruh perhatian kepada gadis tersebut. Tapi, mengapa setelah sedikit bertanya, Yasa seperti tidak lagi tertarik untuk meneruskan rasa penasarannya yang sempat ada.

Andra memutuskan duduk di sebelah Yasa dan menutup laptop pria itu. “Kamu, sudah gak penasaran lagi sama Cahaya Bhanuresmi? aku bisa tanyain sama anak Metro kal—”

“Thanks, Ndra. Model itu, di mana-mana sama aja.” Yasa berujar datar dan kembali membuka laptopnya.

“She’s not a model, she’s a journalist, man! Model itu cuma sidejob.” gemas Andra yang ingin sekali menggetok kepala Yasa, yang hanya bergeming tanpa mau melihatnya. “Kalau dia mau, bisa aja dia jadi model, tapi gak kan? Dia lebih milih jadi wartawan. Kenapa begitu? b’coz she’s smart! Aku gak bilang kalau model itu bodoh loh ya. But yaa, you know lah.”

“Mending kamu pulang, Ndra. Tidur, biar besok gak telat bangun, dan ketinggalan pesawat!”

“Payah!” Andra memukul meja, namun tidak keras untuk melampiaskan rasa kesalnya. “Aku tuh, sampai sekarang masih gak ngerti. Kenapa kamu alergi banget sama cewek-cewek yang bergelut di dunia entertain. Padahal setahuku, kamu gak pernah pacaran sama mereka sekalipun. Jadi—”

Yasa menutup laptop berlambang apel tergigitnya dengan sedikit keras. Membuang napas sedikit kesal, lalu menatap Andra. “Aku nitip apel Malang sama kripik tempe kalau kamu balik dari sana, jangan sampe lupa.” Ia lalu berdiri membawa laptopnya. “Tolong beresin berkasnya, aku mau pulang.”

Tanpa menoleh lagi, langkah tegap Yasa begitu pasti saat keluar dari kafenya. Memasuki Rubicon kesayangannya, lalu menghela napas panjang sejenak dengan menutup kedua kelopak mata. Bayangan wajah Aya yang tertawa lepas tanpa rasa jaim saat bersama Andra, berkelebat di benaknya. Lantas Yasa tersenyum kecil, menggeleng cepat untuk menyingkirkan semua lamunannya.

Bagi Yasa, secantik atau sepintar apapun seorang gadis, bila bergelut di dunia model dan sejenisnya. Yasa akan menarik diri dengan cepat, say no and goodbye.

--

“Pulang satu, baru pulang semua!" hardik Pras, namun wajahnya tetap saja datar, tidak menunjukkan emosi apapun. "Kalian berdua ini, Ck! ternyata masih ingat kalau punya rumah.”

Asa meringis horor, berusaha meredam kekiannya di hadapan ayah tirinya itu. Sedangkan Aya, gadis itu malah dengan santainya berlari kecil dan menghambur ke pelukan Pras. Sedari kecil, Aya memang tidak pernah merasa takut dengan siapapun, bahkan dengan ayah tirinya itu sekalipun. Karena Aya tahu, meskipun wajah suami ketiga bundanya itu, selalu terkesan datar dan antagonis, Pras sangat sayang kepadanya juga Asa.

“Papi, jangan marah-marah, entar cakepnya ilang.”

Pras membuka telapak tangan kanannya, kemudian menjauhkan kepala Aya yang bergelung manja di dadanya.

“Gak usah peluk-peluk, kamu begini cuma kalau ada maunya.” Decih Pras lalu meninggalkan Asa dan Aya untuk pergi ke rumah belakang.

Aya terkikik, tetap saja gadis itu menyusul Pras, sembari melingkarkan tangan di pinggang pria yang sudah berumur, namun masih saja terlihat tegap dan gagah. Sebenarnya, bukan hanya Pras yang masih terlihat tampan di usia yang tidak lagi muda. Kedua ayahnya yang lain pun sama, terutama Elo, ayah kandung Asa -suami pertama sang bunda-, yang memang memiliki usia yang jauh lebih muda dari pada Bintang dan Pras.

Dikelilingi oleh tiga pria tampan. Huh! Untuk yang satu itu, Aya sangat iri terhadap sang bunda. Terlebih, semuanya adalah orang yang sangat berpengaruh di tiga dunia yang berbeda, yakni politik, bisnis dan industri pertelevisian. Apa sebenarnya yang dilakukan bundanya di masa lalu, sehingga bisa menjadi istri dari ketiga orang penting tersebut.

Tapi, ada satu hal yang sampai sekarang masih menjadi ganjalan di hati Aya. Meskipun hidupnya kini bahagia, dan terasa sempurna diberbagai aspek. Dalam artian, tidak pernah kekurangan materi maupun kasih sayang dari seluruh keluarga besar. Ia masih saja tidak dapat menerima kalau sang bunda harus bercerai dengan papanya, Bintang. Apa sebenarnya yang terjadi?

Tidak ada satupun diantara keluarga besar, yang mampu memberi penjelasan tersebut padanya.

“Masih ingat jalan pulang, Mbak?”

Akhil, si kembar yang wataknya hampir mirip dengan Pras, begitupun wajahnya itu berceletuk, saat melihat sang ayah dan kakak perempuannya itu masuk ke ruang tengah. Pras dan Akhil itu sama, selalu saja memuntahkan kalimat sarkas, yang mampu membuat orang menjadi kesal seketika. Like father like son.

Aya melepas rangkulannya di pinggang Pras, dan membiarkan pria itu menuju kamarnya. Sedangkan Aya bertolak pinggang menghadapi segerombolan bocah yang bergelimpangan pada karpet bulu di ruang tengah.

“Aku sibuk kerja, gak kayak kalian yang kerjanya cuma maen PS aja di rumah!” Aya ikut bergabung dengan ke enam bocah yang hampir setiap weekend selalu saja berkumpul seperti ini.

Enam? Yaah total ada enam bocah yang berkumpul di rumahnya ketika weekend seperti ini.

Selain si kembar, ada Kailash, saudara satu ayah dengan Aya. Juga ada Elio, adik Asa dari penikahan ayahnya dengan Ai. Lalu Rama, anak Bima dan Era, yang memang sedari bayi selalu saja dititipkan kepada Sinar dan Pras dikala weekend. Pun sampai sekarang. Rama bahkan lebih sering menghabiskan waktu bersama Rendra, adik bontot Aya, dari pada di rumahnya sendiri.

Keempat bocah itu bisa akrab, karena para ibu dengan kompak menaruh mereka di sekolah yang sama. Mereka juga mendapat kelas yang sama. Rendra, Rama, Kailash dan Elio mereka lahir di tahun yang sama, hanya berbeda bulan saja. Dan Rendra-lah yang paling tua diantara keempatnya.

“Bodyguardmu ke mana, Mbak?” Arsya yang sibuk dengan tabletnya bertanya tentang keberadaan Asa tanpa menoleh sama sekali.

“Di rumah depan, paling nyangkut di kolam renang.”

“Renang?” Rendra berceletuk dan meletakkan stik PS nya. “Gantiin woi, aku mau berenang ke depan.”

Tidak ada yang mau menggantikan Rendra untuk bermain PS. Karena keempat bocah yang sama-sama berusia 16 tahun itu dengan kompak berlari ke rumah depan. Ruangan tengah seketika menjadi hening. Akhil sibuk dengan laptopnya sedangkan saudara kembarnya, Arsya, sibuk dengan tabletnya.

“Aya!”

Yang dipanggil meringis lebar. Berdiri kemudian berbalik, mengubah ringisannya menjadi senyum yang begitu sumringah, saat melihat wanita paruh baya yang masih saja terlihat sangat cantik meskipun usianya tidak lagi muda. Terlebih, wanita itu sudah memiliki lima anak, dari tiga pernikahannya.

“Bunda, aku kangeeeen.”

Aya berlari kecil menghampiri Sinar, hendak memeluk sang bunda.

“Stop!”

Tubuh Aya berhenti seketika. Berdiri statis saat hidung sang bunda membaui dirinya begitu teliti, mendengus bagian leher dan jaket denim yang dikenakan putrinya, lalu berdecak. “Kamu tuh cewek, jangan jorok! Mandi dulu sana.”

“Aku gak bau, buund, jaketnya aja yang emang belum dicuci dari ... gak tau dari kapan.” kata Aya dengan melebarkan cengirannya.

Tangan Sinar lalu menjewer telinga Aya yang hendak berbalik melangkah pergi. “Dibilang mandi, kok malah ke depan.”

“Aww! aku sekalian berenang di depan, bund, jadi sekalian mandi.” Kata Aya beralasan sembari menjauhkan tangan sang bunda dari telinganya.

“Mandi di kamarmu biar cepat, habis ini ikut nyalon sama bunda.”

“Berangkat sekarang aja kalau gitu, gak perlu mandi!” pupil netranya membesar dengan kilatan riang. “Aku mau spa, jadi mandinya sekalian di sana aja.”

Hembusan napas kecil disertai gelengan heran, selalu saja ditujukan pada Aya yang sudah berlari cepat ke rumah depan. Berbeda dengan Sinar dan Bintang, yang selalu memperhatikan penampilan. Sedangkan Aya, anak gadis mereka itu, sangat cuek menata dirinya. Hari-hari gadis itu hanya dihiasi oleh jeans, kemeja longgar dan boots. Ditambah, ikatan rambut yang hanya ditata ala kadarnya.

Astaga, melihat Aya, Sinar jadi teringat Tari. Gadis tomboy yang dulu juga berprofesi sebagai wartawan di Metro. Bahkan desk job Aya dan Tari saat ini sama-sama ditugaskan di bidang ekonomi.

Karma apa ini? Padahal, hubungan Sinar dan Tari dahulu kala baik-baik saja. Tapi kenapa penampilan dan gaya berpakaian putrinya itu bisa mirip seperti Tari. Ahh, sudahlah, yang terpenting bagi Sinar adalah, putrinya itu bahagia dan selalu berlimpah dengan kasih sayangnya. Sinar tidak ingin Aya hidup seperti dirinya dahulu kala, yang tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
bantu jawab mba, ini beda cerita sama. sy dulu juga mengira sama saling berhubungan ternyata tdk, sy malah sdh baca yg ke 3 kalinya ini ... (memang karakter namanya ada yg sama)
goodnovel comment avatar
Nurlelah Nur
Apakah pras nikah lagi setelah dengan sinar, anaknya kan kaisar sama permasuri
goodnovel comment avatar
Setya Radja
aku pikir aku aja yg Bingung, ternyata semuanya bingung, apa lgi nama2 nya mirip2, Aya, asa, Yasa, sinar bintang Pras, Yasmin mumet bener, blm lg ayah nya byk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status