Share

Sudah Punya Pacar?

Begitu melihat sepasang suami istri dan anak laki-lakinya yang selalu terlihat kompak itu, memasuki restoran. Yasa segera berdiri, memasang senyum ramahnya dengan hormat.

“Rombongan nih, pak?” tanya Yasa sembari menyalami sepasang suami istri yang tertawa menanggapi pertanyaannya. Tidak lupa Yasa ber-hi five pada bocah yang berusia 14 tahun itu.

“Kebetulan nyonya besar mau nyalon di sebelah, jadi sekalian.” Bintang mengerling pada sang istri yang memberikannya cebikan bibir merahnya. Lalu mereka duduk mengitari meja dan memesan minuman. “Mereka belum datang?” tanyanya pada Daisy.

“Telat dikit, Aya sama Asa pulang ke rumah. Jadi, Sinar lagi ceramah sebentar, sebelum si kembar siam itu menghilang lagi dari rumah.”

Kalau dirunut ke belakang, justru Asa dan Aya-lah yang lebih terlihat seperti anak kembar. Kedua kakak beradik itu selalu saja kompak, dan kerap terlihat bersama-sama dari pada si kembar yang sebenarnya, yakni Akhil dan Arsya.

“Sinar protes, harusnya Aya gak perlu dibelikan apartemen biar selalu pulang ke rumah.” rungut Daisy masih melanjutkan ocehannya.

“Jarak rumahnya ke kantor itu jauh, kasihan kalau harus bolak balik, apalagi pulang malam. Lagian, apartemennya juga dekat dengan Astro, jadi ada yang ngawasin. Asa juga pulangnya ke sana, amanlah.”

Daisy berdehem, melirik pada Yasa dengan wajah tidak enak hati. “Maaf, ya Yas. Maklum ibu-ibu suka rempong ngurusin anak cewek satu-satunya ini.”

Yasa yang tidak mengerti apapun yang dibicarakan, ia hendak bertanya sebenarnya. Akan tetapi, niatnya diurungkan karena Daisy segera mengangkat ponselnya yang berdering di dalam tas. Wanita itu hanya menjawab 'oke' lalu kembali memasukkan benda persegi itu ke dalam tasnya.

“Mereka udah di depan.” Daisy menangkup wajah Cakra, putra keduanya dengan Bintang, lalu memberi kecupan pada kedua pipinya. Setelah Cakra selesai, giliran satu kecupan mendarat di pipi sang suami.

“Hati-hati, suruh Aya nginap di rumah nanti malam.”

“Aya baru pulang, pasti dikekep Sinar di rumah lah, gak boleh ke mana-mana.” Setelah berpamitan dengan ketiga lelaki yang ada di meja, Daisy tergesa pergi ke luar untuk segera menemui Sinar, Era dan Aya. Mereka harusnya pergi berempat dengan Ai, namun, karena istri Elo itu harus menemani sang suami ke luar kota maka Ai membatalkan janjinya.

Daisy datang-datang langsung melepas cepolan rambut Aya yang sama sekali tidak kelihatan rapi itu.

Ahh ... gadis itu benar-benar membuat mata Daisy jengah, bila melihat penampilannya.

“Mama! Gerah tau.” protes Aya memberengut.

“Hmm, omelin aja Dai, aku udah capek dari tadi ngoceh, cuma di jawab he’eh, iya, hu’uh.” Kepala Sinar menggeleng berulang kali, sembari melihat Aya, yang memang sangat sudah diatur jika sudah membicarakan masalah penampilan. Kecuali saat pemotretan brand DailYou, barulah gadis itu sedikit bisa diatur. Karena mau tidak mau, Aya harus menyesuaikan penampilannya dengan apa yang dikenakan pada saat pemotretan.

Sementara itu, Sinar sudah menyeret Era, istri iparnya itu, untuk masuk terlebih dahulu ke dalam salon. Lantas giliran Daisy yang menggeleng heran menatap Aya.

“Ini bukannya kaos Asa?” Daisy menarik sekilas, ujung jersey basket yang dikenakan anak tirinya itu.

Aya menarik kerah kaos itu ke atas dan menggigitnya sambil mengangguk. Meringis dengan menampilkan wajah polos, tanpa rasa bersalah sama sekali.

Daisy berdecak, mengarahkan tatapannya sekali lagi dari ujung rambut sampai ujung kaki gadis itu. Dan, tatapan Daisy berhenti pada Chelsea boots yang dipakai Aya. “Seenggaknya kamu bisa pake Peep Toe or Ankle boots, dengan itu kamu bisa kelihatan sedikit feminim, Ay.”

“Oh come on, mam. I’m a journalist, and this Chelsea just perfect!” tunjuknya dengan menunduk melihat lagi boots berwarna abu tuannya itu.

Daisy meraih siku Aya. Menuntun gadis itu untuk menyusul Sinar dan Era yang telah masuk terlebih dahulu ke dalam salon. “Tahu kan, kalau ada yang namanya flat shoes, dan dengan itu kamu bisa kelihatan lebih feminin dari pada pake boots gituan.”

“Orang-orang tahu kalau aku itu cewek, so what the heck with this feminism.”

“Ck!” Daisy lagi-lagi berdecak, berdebat dengan Aya tidak akan ada ujungnya. Gadis itu akan selalu saja memberi sanggahan, lagi dan lagi. Sama seperti sang bunda, namun lebih bebal. “Nanti gak ada cowok yang mau sama kamu.”

“Ada kok!”

Jawaban pasti Aya itu, seketika membuat Daisy tidak jadi mendorong handle pintu kaca untuk memasuki salon. Ia mengerjab-ngerjab sebentar memandang Aya. “Kamu udah punya pacar? Siapa? anak mana? Metro juga?” cecar Daisy antusias sekaligus tidak sabaran.

“Ehh, enggaak.” Aya menggeleng sekaligus mengibaskan kedua tangannya. “Aku masih jombie, mam. Tapi yang mau yaa adalah.” Kekeh Aya yang buru-buru masuk ke dalam salon menghampiri Sinar dan Era, agar tidak di introgasi lebih lanjut oleh Daisy.

--

“Jadi, sekali lagi saya mohon maaf, pak, kalau undangannya harus mendadak seperti ini. Karena pihak Kementrian Perdagangan juga baru kasih info kalau di business matching nanti akan kedatangan pihak partnership yang program bisnisnya di bawah Kementrian Luar Negeri Jepang.”

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya seorang Abraham Yasa bertemu dengan Bintang. Keduanya sudah pernah beberapa kali dipertemukan dalam forum bisnis. Namun, selama itu mereka tidak pernah berbicara empat mata seperti kali ini. Hal inilah yang membuat Yasa bersikap sangat formal kepada pria setengah baya itu.

Yasa malah lebih dulu mengenal Daisy daripada Bintang. Berawal dari pihak DailYou yang tengah mencari catering harian untuk makan siang para karyawan konveksinya. Dari situlah awal perkenalan keduanya, dan Daisy sampai saat ini masih mempercayakan makan siang para pekerjanya, pada catering milik Yasa.

“No problem, selama jadwal saya gak tabrakan sama yang lain saya usahakan datang. Dan satu lagi, kalau istri saya mengizinkan.”

Keduanya pun tertawa, namun tawa Yasa tidak lepas seperti Bintang. Itu berarti, kedatangan Bintang dalam business matching di Bali belum bisa dipastikan. Pria itu masih harus meminta pesetujuan sang istri agar bisa menghadiri pertemuan itu.

“Jadi, kira-kira Bu Daisy ngasih izin gak, Pak?”

Bintang kembali tertawa melihat air muka khawatir Yasa. “Pasti! karena saya akan ajak istri sama anak saya juga ke Bali, sekalian liburan.” Tangan Bintang terulur mengusak kepala putranya yang masih sibuk menghabiskan steaknya.

Yasa akhirnya bisa bernapas lega. Semuanya rencana yang telah disusunnya semua berjalan sesuai dengan rencana.

“Tapi Yas, kenapa tiba-tiba kamu banting setir ke dunia bisnis? Setahu saya, kamu dulu kuliah hukum dan sudah menyelesaikan semua syarat untuk menjadi pengacara.” tanya Bintang tiba-tiba, dan terlihat penasaran. Ada sesuatu di dalam diri Yasa yang membuatnya tertarik.

Ayah Yasa, dulunya adalah seorang Hakim Agung, yang pernah menjabat sebagai ketua MA -Mahkamah Agung-. Dan, tentu saja Bintang juga mengenal Hatta Kamil -ayah Yasa- karena profesinya sebagai wartawan dan konsultan politik dahulu kala.

“Jadi pengacara itu passionnya papa, bukan saya.” Yasa menjawab tanpa keraguan sedikitpun.

“Ahh! Pantas! Papamu dulu sempat curhat sampai emosi waktu ketemu saya. Dia bilang, kamu cuma menghabiskan uangnya saja.”

Yasa tertawa pelan, dengan menggelengkan kepalanya. “Yaa, begitulah papa, bukannya saya gak sanggup jadi pengacara, pak. tapi kalau bukan dari sini.” Yasa menepuk dadanya berulang kali. “Sepertinya beraaat kaki melangkah untuk menunaikan kewajiban, jadi yaa beginilah saya. Awalnya buka lapak kecil, kongsi sana sini, sampai bisa jadi seperti ini.”

“Pernah ketipu, Yas?”

“Waah, 1 M lebih, pak. semua aset sampai saya jualin semua. Satu tahun saya balik lagi tinggal sama papa, masang muka tembok karena gak punya uang sepeserpun. Tiap hari makan sindiran terus. Sampai kenyang saya.”

"Pak Abraham juga bereaksi sama dengan papa kamu?"

"Opa ketawa aja dengernya. Tapi beliau minjemin modal, dan harus balik utuh dalam waktu satu bulan. Gak lebih, gak kurang. Di situ saya muter otak, Pak. Gimana gak muter, kalau cuma dikasih uang satu juta?"

Keduanya kembali tertawa, kali ini benar-benar lepas. Sudah tidak ada rasa sungkan di hati Yasa.

"Tapi, dari situlah, saya bisa seperti sekarang." lanjut Yasa lagi.

Seketika tercetus sebuah pemikiran di otak Bintang, lantas pria itupun mengalihkan topik.

“Berapa usiamu sekarang, Yas?”

Yasa membuka mulutnya sembari memijat leher bagian belakang. “30 pak.” terkadang Yasa merasa tidak nyaman bila ada yang menanyakan perihal usianya. Itu karena sang ayah selalu saja memaksanya untuk segera menikah.

“Sudah punya pacar, atau yaa sebentar lagi mungkin mau …”

Bintang menghentikan kalimatnya saat melihat gelengan kepala Yasa.

“Saya masih single, pak. gak punya pacar ataupun sedang dekat dengan siapapun. Saya, masih sibuk ngurusin karir dulu.”

Bintang mengangguk-angguk, memberi Yasa senyuman penuh maksud. “Baiklah, kalau begitu sampai ketemu di Bali.”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
DHE butik
puyunghai terlalu banyak nama, katanya nga ada hub nya sama my arogant lawyer dan ini lanjutan nya sang sekretaris tapi kok tokoh nya dari my arogant lawyer sih jadi pusing, mesti di buat silsilah dulu kak di awal biar pembaca nya ngerti.
goodnovel comment avatar
Naina Naina
Pras punya anak dua kaisar SM permaisuri sampai sampai kai SM Mai punya anak .sinar ga hamil LG.dan sinar waktu nikah SM bintang hamil tp keguguran.cahaya anak siapa sebenarnya aing sakit kepala .disini cahaya katanya anak perempuan satu satunya .heiii permaisuri dikemanain.
goodnovel comment avatar
Byla
Nama nama dalam cerita ini harus extra ngingetnya wkwkwk.. Blinger gww
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status