Share

Senjata Makan Tuan

Reya berjalan tertatih menaiki tangga, mengabaikan panggilan orang-orang. Ia juga menepis saat Alvaro atau pun mamanya yang berniat membantu. Reya gondok dengan papanya yang selalu memaksakan kehendak.

"Emangnya gue bocah kecil apa, pake bodyguard segala. Anak artis aja gak dikawal bodyguard aman-aman aja tuh, padahal emaknya banyak haters," gerutu Reya.

Reya menyeret kakinya masuk ke kamar, membanting pintu sampai menimbulkan bunyi dentuman keras. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan hiasan bintang dan benda-benda angkasa lainnya.

Masih jelas diingatan Reya, bagaimana ia dijauhi waktu kecil. Semua teman-temannya tidak mau bermain dengannya. Bukan karena Reya nakal, ia justru pendiam dulu. Tapi tak ada satu pun yang mau menjadi temannya, mereka semua takut. Takut pada bodyguard-nya.

Tentu saja, bodyguard Reya menyeramkan. Kalau kalian penasaran, kalian bayangin saja Thanos. Bodyguard Reya mirip banget dengan Thanos, badan besar, tinggi, tangannya kekar dan kepalanya botak mengkilap.

"Reya." Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

Reya beringsut ke kepala ranjang, menyenderkan punggungnya dan meluruskan kaki. Rasa nyeri begitu terasa ketika Reya menggerakkan sebelah kakinya yang di gips. Bahkan ia baru sadar jika lukanya separah ini.

"Reya, mama masuk ya." Pintu terbuka, Ana muncul dengan wajah sendu. Ia menghampiri Reya dan duduk di sebelahnya. "Kamu mau makan?" tanya Ana, tangannya membelai surai Reya secara lembut.

"Reya gak laper." Reya memalingkan wajah ke arah lain, melipat tangannya di depan dada.

"Kamu marah?"

"Hm."

"Cerita sama mama, kamu marah kenapa?" Ana menarik tangan Reya, menggenggam jemari mungil Reya. Mengusap-usap punggung tangannya. Tatapan Ana yang teduh membuat Reya tak kuasa menahan pemberontakan di dalam hati. Reya langsung menghambur memeluk Ana, sambil meracau mengutarakan isi hatinya.

"Ma, Reya bukan anak kecil lagi. Reya udah enam belas tahun Ma, masa masih pake bodyguard. Lagian papa kenapa si overprotective banget sama Reya?"

Ana tersenyum kecil, ia membelai kepala Reya. "Papa sama mama sayang banget sama Reya. Kita gak mau kalau kamu kenapa-napa. Kamu inget kan, waktu itu kamu pernah mau diculik?"

Reya melepaskan pelukannya, ia kembali duduk menghadap mamanya. "Tapi Reya sekarang udah gede."

"Tapi kamu perempuan, kamu rentan banget dijahatin orang. Apalagi kamu tahu sendiri kan pesaing papa kaya gimana?" Ana berusaha memberikan pengertian pada Reya, tapi ya namanya juga Reya yang keras kepala kaya papanya. Bocah itu tetap ngeyel dan menyanggah ucapan mamanya.

"Iya, si. Tapi tetep aja ma gak pake bodyguard segala. Alvaro aja udah bikin pusing ini malah tambah lagi mahluk asing yang gak tahu datengnya dari mana," gerutu Reya.

"Husss, kamu," tegur Ana. "Gak boleh gitu Reya. Gavin tuh anak baik, dia juga jago bela diri. Jadi mama yakin dia bisa jagain kamu kalau mama gak ada."

"Reya juga jago Ma, jago berantem malah. Mama gak lihat si waktu Reya ikutan war. Lihat tuh, otot Reya." Reya dengan bangga menunjukkan otot lengannya.

Ana menghela napas pendek, lelah menghadapi sifat Reya yang keras kepala persis seperti dulu ia menghadapi Rey. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, sepertinya pepatah itu benar. Tapi kenapa sifat Reya keseluruhan meniru papanya, tidak ada sifat Ana yang menurun pada Reya kecuali ketidakpekaannya.

"Tawuran maksud kamu? Terus pulang-pulang kepala kamu bocor kalau gak kaki kamu pincang, babak belur terus apa lagi?"

Reya menyengir, semua yang dibilang mamanya memang benar adanya. Reya selalu pulang dalam keadaan kacau, tapi ia sama sekali tidak kapok dan mengulanginya lagi.

"Lagian papa kenapa si manja banget Ma, ke mana-mana harus diintilin Mama." Reya mencebikkan bibirnya.

"Karena papa gak bisa jauh-jauh dari mama. Mama kan separuh jiwanya papa."

"Hillih," cibir Reya, geli sendiri mendengar ucapan mamanya.

"Pokoknya Kamu ikutin aja kemauan papa, Gavin gak mencolok kok. Dari pada om Reno yang jadi bodyguard kamu?" Reya langsung bergidik, membayangkan om Reno yang berbadan seperti Hulk. "Oh, ya. Kamu baik-baik ya sama Gavin. Dia baru aja kehilangan kedua orangtuanya, om Dipta kamu ingat kan?"

"Om ganteng?" beo Reya, mengingat wajah Dipta yang tampan seperti artis Hollywood.

Ana mengangguk, membenarkan. "Om Dipta sama istrinya kemarin kecelakaan, makanya papa sama mama gak pulang semalem. Jadi kamu jaga sikap sama Gavin ya, walau dia keliatannya kuat mama yakin dia masih terpuruk banget. Mengingat Gavin gak punya keluarga lagi."

Reya mengangguk, ia ingat kata papanya om Dipta dibesarkan di panti asuhan, sementara istrinya sudah yatim piatu dan tak tidak memiliki kerabat.

"Kalau gitu kamu bersih-bersih terus istirahat ya." Ana mengecup kening Reya, lalu berlalu meninggalkan kamar Reya.

-------

"Tembak goblok! Noob banget si!" gerutu Reya, matanya terus fokus menatap layar ponsel dan jemarinya memencet layar. "Di atap, musuh ... tembak. Yah Rembo noob!" teriak Reya kesal sendiri karena teman-temannya yang payah.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, Reya mengabaikannya. Ia masih fokus pada game, tapi ketukan itu terus terdengar dan mengusiknya. "Masuk!" suruh Reya, berdecak kesal pada orang yang berdiri di luar kamarnya karena telah menganggu.

Reya mengangkat wajah, melirik seseorang yang masuk ke kamarnya. Reya memandang cowok itu, cowok bernama Gavin yang kini berdiri di sampingnya.

"Apa?" Reya menaikkan sebelah alisnya, tatapan Gavin yang datar dan bibir yang terkunci rapat membuat Reya jadi semakin kesal.

Emangnya dia mau jadi patung tanpa ngomong sepatah kata pun?

"Yaaa, lo bisu?" Reya meletakkan ponselnya, mengalihkan fokus sepenuhnya ke Gavin yang masih berdiri kaku dengan nampan di tangannya. "Oh, gue tahu. Lo lagi sariawan ya?" tebak Reya. "Gue tahu obat mujarab buat sembuhinnya."

Gavin mendengus, sama sekali tak bereaksi akan ocehan Reya. Menurut Gavin tidak penting, tugasnya hanya membawakan Reya makan karena bocah itu tidak mau makan di bawah.

"Ciuman." Gavin hampir saja tersedak salivanya sendiri, matanya melebar karena mendengar ucapan Reya. "Lo mau gue cium? Biar sariawan lo sembuh?"

Oh, shit!

Gavin tak habis pikir, mahluk seperti apa sebenarnya yang sedang ia hadapi? Omongannya sama sekali tidak disaring, bagaimana bisa seorang cewek berbicara blak-blakan seperti itu dengan cowok yang belum ia kenal.

"Kenapa? Lo gak mau? Yaudah, gue sih cuma mau bantu. Tapi berhubung lo gak mau, ya gue gak maksa." Reya kembali fokus ke game-nya yang sudah mati. "Ah, sial. Woy, upin-ipin kok kalah si!!!" teriak Reya ketika menyalakan microphone.

Gavin mengembuskan napas kasar. Ia harus bersabar menghadapi gadis manja di depannya, andai saja bukan karena balas budi maka Gavin gak akan sudi menjadi bodyguard Reya. Cewek yang masuk kategori cewek yang harusnya Gavin hindari.

"Gue cuma mau nganter ini, disuruh tante Ana." Gavin akhirnya bersuara, ia meletakkan nampannya ke nakas. Gavin yang sudah berbalik hendak keluar berhenti melangkah ketika Reya memanggilnya, Gavin menoleh tanpa berkata apa pun.

"Suapin," kata Reya.

What?

Gavin masih berdiri di tempatnya, membuat Reya kesal dan mengulang kembali perkataanya. "Suapin, buruan."

"Lo punya tangan sendiri kan? Gunain tangan lo," tukas Gavin, wajahnya yang datar semakin terlihat menyebalkan di mata Reya.

"Yaaa! Lo gak liat, gue lagi main game dan tangan gue dua-duanya kepake. Jadi buruan suapin."

"Gak mau." Gavin kembali berbalik, meneruskan langkahnya untuk keluar dari kamar Reya. Ia tak tahan berlama-lama dengan cewek macam Reya. Membuat emosinya tersulut.

"Kalau gitu lo bilang ke bokap gue, lo gak sanggup jadi bodyguard gue. Gampang kan?" Ucapan Reya menginterupsi Gavin, ia berbalik menatap Reya dengan ekspresi kesal. "Why? Lo gak berani? Kalau lo mau jadi bodyguard gue, lo harus turutin semua kemauan gue. Semua ucapan gue itu perintah mutlak yang harus lo patuhi."

Reya tersenyum puas, ia berharap Gavin akan menolak dan bilang ke papanya kalau dia tidak sanggup. Rencana yang cukup jenius bukan? Tapi kesenangan Reya tak bertahan lama karena Gavin berbalik melangkah ke arahnya.

Yaaa, yaaa lo mau ngapain? jerit Reya dalam hati. Woy, berhenti, keluar aja ngapa balik lagi?

Reya melongo, ia terdiam. Bibirnya tiba-tiba kelu saat Gavin tanpa sungkan duduk di sebelahnya, mengambil piring di nampan dan menyuapkan sesendok nasi ke depan mulut Reya.

"Buka." Seakan tuli, Reya sama sekali tak mendengar ucapan Gavin, matanya masih terfokus pada wajah Gavin. "Buka atau gue suapin lo lewat mulut."

"Hah?!" Mata Reya seketika melebar, seakan jadi senjata makan tuan. Kali ini dia dibuat terkejut dengan ucapan Gavin yang ambigu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status