Share

Biang Onar

Jangan menggangu macan yang sedang tidur, kecuali kau siap menanggung resikonya.

—Reyana—

Terik matahari begitu menyengat, Reya duduk di tepi lapangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya yang sedang bermain basket, padahal biasanya Reya yang ikut bertanding. Reya menunduk, menatap kakinya. Dua hari yang lalu Dokter Adrian baru saja melepas gipsnya, tapi tetap saja Reya belum boleh berlari.

"Woy, Mail. Lempar!" teriak Remi, menyuruh Michael mengoper bola basket ke arahnya.

Tapi yang Michael lakukan justru melempar bola ke ring dan hasilnya jelas meleset. Teman-temannya mengumpati Michael, gara-gara dia tim mereka tertinggal jauh.

"Lo gimana si Il? Jadi kalah kan kita, harusnya tadi lo oper ke Rembo kalau gak ke gue." Candra mengomel dengan deru napas memburu, sudah setengah permainan dan poin mereka jauh tertinggal dari lawan.

"Ya maap, gue gak fokus. Capek," jawab Michael.

"Ngeles mulu lo kaya bajay," celetuk Cakra yang juga kesal, karena Michael terus main sesuka hati dan tidak mau mengoper bola ke yang lain.

"Mending lo istirahat aja, biar si Boim yang gantiin," ucap Ricky, mungkin dia yang paling tenang diantara mereka.

"Dari tadi kek. Makasih bebeb Ichi, muaachhh." Ricky bergidik ketika Michael hendak menciumnya, ia mendorong Michael dengan cepat sebelum bibirnya nyaris menyentuh pipi.

"Najisin lo, dasar homo!" gerutu Ricky.

Michael terkekeh, ia berlari keluar lapangan sambil melambaikan  tangan ke Ricky dan memberikan ciuman jarak jauh.

"Sinting tuh anak!" maki Ricky, tak tahan dengan kelakuan Michael yang terkadang menggelikan.

"Udah ayok main lagi, kita musti kejar poinnya," kata Remi, menepuk punggung Ricky. Mereka pun kembali melanjutkan permainan setelah melakukan pergantian pemain.

Michael menghampiri Reya, duduk disebelahnya. Ia mengatur napasnya yang tersenggal sembari mengibas-ngibaskan tangan  di depan wajah.

"Capek," keluh Michael.

"Lembek banget si lo," cibir Reya. "Kelas kita jadi kalah kan."

"Eh betina kampret, bukan gue yang lembek. Emang kelas mereka aja pada jago, lagian lo gak lihat noh ada ketua tim basket sekolah." Yang dimaksud Michael itu Alvaro, ketua tim basket sma Rajawali. "Ditambah tuh murid baru, gila jago banget mainnya. Alus," komentar Michael.

Reya mengalihkan pandangannya ke orang yang dimaksud Michael, Reya mendecih saat matanya melihat ke arah Gavin. "Dia? Yang kaya gitu lo bilang jago." Reya mencebikkan bibirnya, seolah mengejek permainan  Gavin.

Ya, emang jago si. Hati kecilnya tidak bisa berbohong, apalagi saat melihat Gavin melakukan jump shoot dan bola tepat masuk ke ring. Suara teriakan anak-anak menyadarkan Reya.

Reya mendecih, merutuki dirinya sendiri. Kenapa jadi dia terpesona sama Gavin coba, menyebalkan!

"Ngomong-ngomong, lo berdua beneran pacaran?" tanya Michael yang sejak tadi memperhatikan perubahan ekspresi pada wajah Reya.

"Hah?" Reya menoleh, matanya melebar. "Gue?" Tunjuknya pada diri sendiri. "Pacaran sama dia?" Telunjuk Reya beralih mengarah ke tengah lapangan, tepatnya ke Gavin. "Mustahil!"

"Masa?" Michael menatap Reya penuh selidik. "Terus ciuman waktu itu?"

Reya terdiam, mengingat kejadian di depan kelas saat ia mencium pipi Gavin. "Oh, itu cuma pura-pura, soalnya kan ada Gilang. Jadi gue sengaja manas-manasin dia, emang cuma dia aja yang bisa cipika cipiki."

"Gilang?" beo Michael.

Reya mengangguk, memalingkan wajahnya ke Michael.

"Perasaan gak ada Gilang deh," gumam Michael, ia sangat yakin kalau waktu itu memang tidak ada Gilang di sana.

"Apa?" Mata Reya melebar, ia tidak salah dengar kan? Yang dikatakan Michael barusan, kalau waktu itu tidak ada Gilang di sana.

Michael yang sadar dengan cepat memalingkan wajahnya, ngeri melihat wajah Reya berubah jadi garang. " Duh, gue tiba-tiba haus. Kantin dulu ya, bye Reya." Michael berdiri, ia langsung lari terbirit-birit sebelum Reya mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

"Woy, Mail bin Slamet. Jangan kabur lo!" teriak Reya, tapi Michael keburu pergi. Reya mengembuskan napas kasar. Kini matanya beralih manatap Gavin dengan nyalang, bertepatan saat Gavin juga melihat ke arah Reya. "Awas aja lo Gavindra Pradipta, gue bakal buat perhitungan sama lo!"

————————

Seperti biasa, Reya dan teman-temannya akan ke kantin saat bel istirahat berbunyi. Reya yang tiba lebih dulu langsung menduduki tempat favoritnya yang berada di tengah. Dari sini ia bisa memperhatikan seluruh penjuru kantin, tak akan ada yang lepas dari pantauan matanya.

"Upin, bakso jumbo satu porsi!" teriak Reya ketika gerombolan teman-temannya masuk ke kantin.

Candra mengacungkan jempolnya, ia dan teman-temannya mengantri memesan makanan. Enaknya punya temen  cowok begini, selalu diprioritaskan dan diperlakukan layaknya princess.

"Matur thank you," ucap Reya saat Candra memberikan bakso pesanannya.

"Nih, gak pake gula," kata Ricky, meletakkan es jeruk ke depan Reya.

"Maacih, Ichi tahu aja kesukaan gue." Reya langsung menyeruput esnya.

"Giliran sama Ricky aja manis, gue jadi curiga. Jangan-jangan lo berdua ...."

"Gak!"

"Gak!"

Reya dan Ricky saling berpandangan, lalu kembali menatap Candra. "Kita gak ada apa-apa kok," kata Reya. "Lagian lo baper amat si, yaudah besok-besok gue manis ke lo. Kalau perlu gue bawa persedian gula emak gue, biar makin manis."

Candra mendengus geli. "Jayus lo."

Reya berdecak, ia tak mau menanggapi. Reya lebih memilih menghabiskan bakso yang sudah melambai-lambai minta dikunyah.

"Itu bukannya si Reya?" Beberapa gerombolan cewek yang duduk di barisan belakang menoleh ke meja Reya.

"Oh, yang katanya mantannya kak Gilang itu bukan si?"

"Kayanya iya, wah saingan lo tuh Sel." Cewek itu menyenggol temannya, yang disenggol mengangkat wajahnya melihat ke arah Reya.

Cewek bernama Selin itu mendecih, memalingkan wajahnya. "Sorry gak level, cantikan gue ke mana-mana," ucapnya dengan percaya diri. "Buktinya Gilang lebih milih gue dari pada dia."

"Iya deh yang udah balikan lagi sama Kak Gilang."

"Ciie ... cieee." Gerombolan itu begitu heboh, suaranya jelas sampai ke meja Reya karena jarak mereka yang dekat.

"Bener sih, secara si Reya kan tepos sementara Selin ... body goals," ucap temannya.

Selin tersenyum bangga. "Gilang juga bilang gitu, katanya sama yang ono gak ada rasanya. Yaiyalah, datar gitu kaya papan tripleks gimana mau ada rasanya."

Uhuk!

Reya tersedak bakso yang baru saja ia kunyah, ucapan Selin barusan menyulut emosinya. Tadi dia bilang apa? Papan tripleks? Reya menunduk, menatap baju seragamnya. Benar, memang datar dan tak berlekuk, apalagi seperti gitar spanyol, yang ada mirip sapu ijuk. Tapi tetap saja, Reya tak terima dibilang seperti itu. Memangnya dia siapa bisa body shaming seenak jidat.

"Re, mau ke mana?" tanya Ricky yang duduk di sebelahnya, ia mendongak ketika Reya tiba-tiba berdiri.

"Buang sampah," jawab Reya, matanya menatap lurus ke meja barisan paling belakang.

Mendengar kata 'buang sampah', sontak saja ke empat cowok itu saling berpandangan. Mereka tahu arti dari kata buang sampah, itu artinya Reya akan melabrak seseorang.

"Biar gue aja." Ricky sudah beranjak berdiri, tapi Reya mendorong bahunya agar duduk kembali. 

"Ini urusan cewek, cowok dilarang ikut campur," tukas Reya.

Michael menoleh ke belakang, mengikuti sorot mata Reya. Ia mengerjapkan matanya berulang kali saat melihat Selin dan teman-temannya yang duduk di meja belakang. Jangan-jangan ....

Michael terperanjat saat melihat Reya sudah menghampiri meja mereka dan menyiram Selin dengan es jeruknya. Kantin yang tadinya ramai seketika hening, mereka melongo melihat tindakan Reya barusan.

"Sudah gue duga," celetuk Remi.

"Gila! Gila, gila, gila." Michael berdecak, sambil geleng-geleng kepala.

Reya menyunggingkan senyumnya, puas melihat Selin yang hampir ingin menangis karena perbuatannya yang membuat  wajah Selin basah. Bukan hanya itu, baju seragamnya juga semakin menjiplak saat Reya kembali menyiramnya dengan es jeruk milik temannya yang ada di meja.

"Ini baru es jeruk, bisa lo bayangin kalau ini air keras. Mungkin muka dan aset yang lo bangga-banggain itu ancur semua." Kata-kata Reya jelas membuat Selin semakin menegang, Reya jelas sedang memperingatkannya.

"Lo apa-apaan si?" Salah satu teman Selin berdiri, tak terima dengan perlakuan Reya ke Selin.

"Apa?" Reya mengangkat dagunya, seolah menantang.

"Kalau udah mantan, move on. Gak gini bego!" Cewek itu beralih menatap Selin. "Lo gak apa-apa kan?" Selin menggeleng.

Reya mendecih, muak melihat drama mereka. "Lo siapa? Juru bicaranya? Lagian yang gak bisa move on itu siapa? Jelas-jelas temen lo yang nyenggol gue duluan, pake segala ngatain gue papan tripleks. Lo kira gue gak denger, hah?!"

"Tapi kan gak gini caranya———" Cewek itu tercekat karena Reya menyiram es teh ke wajahnya.

"Kaya gini." Reya menatap tajam cewek itu.

"Yaaaaaaa!!!" hardik cewek itu. "Kurang ajar lo!" Cewek itu mendorong Reya, jelas Reya tidak terima dan balik mendorong. Hingga keduanya saling baku hantam.

Gavin yang baru saja masuk bersama dengan Alvaro dan kedua temannya, Jeremi dan Alvin. Mereke terkejut saat melihat keributan antara Reya dan beberapa cewek, ditambah juga dengan teman-teman Reya yang berusaha melerai.

Fokus Gavin jelas ke Reya, dia langsung melangkah menghampiri Reya yang sedang saling pukul dengan  salah satu cewek.

"Stop!" bentak Gavin, keduanya menoleh. Tapi hanya sebentar sebelum kembali melanjutkan baku hantam. Gavin mendengus, mengusap wajahnya dengan kasar. Reya benar-benar biang onar, apa dia tidak bisa sehari saja membuat hidupnya tenang

"Reya berhenti ...-"

Bugh!

Hening.

Reya terdiam, menatap Gavin yang menyeka hidungnya. Ia yang berniat meninju cewek di depannya justru salah sasaran dan mengenai Gavin yang berusaha memisahkannya.

"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika darah segar itu mengalir dari kedua hidung Gavin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status