Share

BAB III

Hari demi hari telah kulalui bersama dengannya tapi kenapa perasaan ini masih saja belum muncul ke permukaan.

—Mark Lee.

-o-

Matahari pun mulai muncul menggantikan tugas bulan yang telah selesai. Laki-laki bernama lengkap Mark Lee masih terlelap dalam tidurnya. Jam di dinding kamar inapnya menunjukkan pukul 07.25 a.m.

"Mark, aemi datang. Bagaimana keadaanmu 'nak?" tanya Wendy.

Mark yang merasakan ada sebuah tangan mengelus surai hitam miliknya, membuka matanya perlahan. "Eomma? Sejak kapan?" Mark ingin duduk tapi di tahan oleh Ibunya.

"Ne, aemi baru saja tiba. Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik. Kapan aku bisa keluar dari sini? Aku bosan terkurung sepanjang hari." Mark menghela napas.

"Aemi belum tahu sayang. Nanti aemi tanyakan pada doktermu ya," sahutnya.

"Baiklah eomma."

"Kau ingin sarapan? Sepertinya sarapanmu sudah ada sebelum aemi tiba." Wendy berdiri mengambil sarapan untuk Mark yang telah tersedia di nakas. "Ayo dimakan," lanjutnya sembari menyodorkan sesuap bubur pada Mark.

"Terima kasih, eomma. Aku belum lapar." Mark memalingkan wajahnya tidak ingin di suapi oleh Wendy.

"Makanlah sedikit Mark." Ibunya mencoba membujuk Mark agar mau makan sarapannya. "Atau kau ingin makan yang lain?"

Baru saja Mark ingin menjawab, tapi tak jadi karena mereka kedatangan seseorang.

"Annyeonghaseyo." Seseorang membuka pintu dan membungkukkan setengah badannya.

Mark langsung berbalik melihat ke arah pintu, ia mengira Dahyun yang datang tapi ternyata bukan.

"Annyeonghaseyo." Wendy berdiri dari duduknya.

Mark memicingkan mata, lalu memasang wajah terkejut. "Omo! Kau, Lee Know? Lino?"

Lee Know atau biasa disapa Lino, tersenyum. "Bagaimana keadaanmu pagi ini Mark-ssi?" tanyanya sembari terkekeh.

"Aigoo. Kau benar Lee Know. Sunbae saat sekolah menengah atas dulu."

Lino menghampiri Mark, tidak lupa menyapa Ibunya lebih dulu.

Mark berusaha untuk duduk. "Tidak apa Mark, kau berbaring saja." Lino pun membantu Mark.

"Gwenchana. Gomawo." Mark terkekeh melihat Lino. "Aigoo kau sekarang bekerja di sini? Pantas saja, kau tidak hadir saat reuni sekolah," lanjutnya menggoda Lino.

Lino pun tertawa menanggapi ucapan Mark. Mereka berpelukan layaknya teman lama yang baru saja bertemu kembali. Mark dan Lino bersahabat sejak sekolah menengah atas. Bahkan Lino juga mengenal Karina, cinta pertama Mark.

"Aemi pergi dulu sebentar. Baik-baik Markeu-ya." Wendy menggenggam tangan Mark.

"Tidak usah mengkhawatirkanku. Ada sahabatku di sini." Mark menatap Lino dan menaikkan alisnya.

"Ne Lee ajumma. Anda tenang saja," sahut Lino sembari tersenyum menatap Wendy.

"Syukurlah. Saya titip Mark ya."

Lino menganggukkan kepalanya dan tersenyum lalu berkata, "baik Lee ajumma."

"Aemi pamit ya."

"Hati-hati eomma." Mark mencium pipi kanan kiri Wendy.

Lino membungkukkan setengah badannya. Dan Wendy melangkahkan kakinya keluar ruangan.

"Ey yo Lino! Sudah berapa lama kau tinggal di negara ini?" tanya Mark memulai percakapan.

"Kurang lebih satu tahun Mark."

"Kenapa kau baru mengunjungiku? Sahabat macam apa kau." Mark merajuk pada Lino.

"Dari awal kau di pindahkan ke sini, aku sudah mengunjungimu. Bahkan aku yang mengoperasimu saat di rumah sakit Seoul. Hanya saja kau belum sadarkan diri saat itu," ucap Lino menjelaskan.

"Aah jadi kau yang telah menyelamatkanku. Baiklah, kau di maafkan!" Mark tertawa. Begitu juga dengan Lino.

Mereka berdua mulai membicarakan saat-saat masa sekolah dulu. Hingga sebuah pertanyaan dari Lino membuat Mark tak bergeming.

"Bagaimana kabar Karina? Aku yakin, pasti dia ada di sini menemanimu terus. Bahkan saat di Seoul, dia tak pernah beranjak seinci pun saat kau melakukan operasi." Lino tertawa menggoda Mark.

Mark terdiam, bingung harus menjawab apa. Lino yang menyadari Mark tak merespon, merasa --tidak seharusnya ia bertanya--.

"Kau baik-baik saja Mark?" tanya Lino.

"Ya. Karina tidak ada di sini. Dia juga baik-baik saja aku rasa. Dan juga... dia sudah bersama laki-laki lain," sahut Mark dan memaksakan untuk tersenyum.

Lino langsung paham. Ia menepuk pundak Mark pelan. "Mianhae. Aku tidak tahu."

"Gwenchana. Eh iya, kau sudah menikah?" tanya Mark mengalihkan pembicaraan.

"Kau ini! Kau tidak lihat jika di jariku belum ada cincin nikah. Aku masih ingin fokus pada karirku, Mark."

"Aigoo Lee Know. Kau sudah pantas untuk menikah. Kenapa masih menunda?" goda Mark sambil terkekeh.

"Aku belum ingin dan belum ada yang sesuai kriteriaku," sahut Lino sambil menerawang jauh.

Mereka asik mengobrol, hingga suara pintu terbuka menginterupsi mereka.

Ssreettt~

Di ambang pintu terdapat Dahyun yang sedang berdiri.

"Lee Know sunbae."

Merasa ada yang memanggil namanya, Lino menoleh ke arah pintu.

"Eoh, dokter Kim. Kau ingin memeriksa pasien?" sahut Lino kemudian berdiri dari duduknya.

"Ne sunbae." Dahyun menutup pintunya dan melangkahkan kakinya menghampiri Mark dan Lino.

"Baiklah. Mark, kita lanjut nanti ya mengobrolnya." Lino beralih menghadap Dahyun. "Aku pulang," ucapnya.

"Ne sunbae." Dahyun menatap Lino dan Mark bergantian.

Mereka saling kenal? Bagaimana bisa?

"Eui-sa." Dahyun terlonjak kaget dan menatap Mark yang sedang menatapnya.

"Ne Mark-ssi. Bagaimana kabar Anda pagi ini?" tanya Dahyun.

"Saya baik. Saya ingin mandi tapi sepertinya belum boleh 'kan?"

"Hmm, Anda belum boleh untuk mandi. Karena jahitan di dada Anda belum kering. Saya akan mengganti perbannya," sahut Dahyun sembari mengecek aliran infusan.

"Baiklah," sahut Mark sembari mengerucutkan bibirnya.

Aigooo. Dia sangat lucu saat mengerucutkan bibirnya. Seperti anak kecil. Batin Dahyun.

"Mark-ssi. Tolong buka baju Anda jika Anda bisa melakukannya sendiri. Saya akan menggantikan perban Anda sekarang," ucap Dahyun sembari membereskan peralatan medis yang ia bawa.

"Hmm..." Mark membuka kancing bajunya satu persatu, walaupun kesulitan sedikit tapi ia berhasil.

Dahyun mulai membuka kain perban yang melilit dada sebelah kiri hingga pundak sebelah kanan dengan perlahan. Ia menahan napasnya karena wajahnya sangat dekat dengan wajah Mark.

Namun, Mark malah memperhatikan setiap gerak-gerik Dahyun yang terlihat sangat mahir dan telaten. Tanpa sadar, Mark menyunggingkan senyumnya.

Dahyun meletakkan kain perban yang telah terpakai, lalu mengoleskan obat pada jahitan bekas operasi pada dada Mark. Ia melakukannya secara perlahan agar Mark tidak merasakan sakit.

"Sshhh," desis Mark.

"Oh maaf. Apa terlalu perih?" tanya Dahyun.

Mark menggelengkan kepalanya.

"Baiklah, akan saya lanjutkan." Dahyun melanjutkan mengoleskan obat pada jahitan di dada Mark.

"Saya akan memakaikan kain perbannya. Tolong regangkan tangan sebelah kanan Anda secara perlahan."

Mark meregangkan tangannya sedikit, lalu Dahyun mulai melilitkan kain perbannya secara perlahan. Dahyun kira sudah cukup terlapisi kain perbannya, ia menyentuh pundak Mark untuk menyuruhnya meluruskan tangan perlahan.

"Bagaimana? Sakit tidak kalau di gerakkan secara bertahap seperti ini?" tanya Dahyun sembari menggerakkan tangan kiri Mark pelan.

"Masih sakit sedikit. Tapi, saya akan berlatih terus. Saya ingin cepat pulang," sahut Mark.

"Jika Anda sudah sembuh, Anda juga boleh pulang Mark-ssi. Bersabarlah sedikit," ucap Dahyun sembari tersenyum.

Mark menganggukkan kepalanya dan membalas senyum Dahyun.

Kenapa jantungku berdegup tak beraturan. Batin Dahyun.

"Dok, maaf. Apa Anda ada waktu hari ini?" tanya Mark tiba-tiba.

Mengernyitkan dahi. "Ke taman rumah sakit lagi?" sahutnya.

"Ne. Saya sangat bosan di sini," ucap Mark sembari memakai bajunya kembali.

"Baiklah, jika saya ada waktu ya."

Mark mengangguk dan tersenyum kegirangan.

-o-

Terhitung sudah hampir seminggu, Mark dan Dahyun menjadi lebih dekat. Bukan hanya sekedar hubungan pasien dan dokternya. Tapi, sebagai teman. Mark pun sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi. Ia juga lebih sering ke taman rumah sakit bersama Dahyun. Seperti sekarang, keduanya sedang duduk di kursi taman.

"Kenapa bintangnya tidak terlihat?" tanya Dahyun.

"Aku melihatnya," Mark menatap Dahyun, "ada di hadapanku sekarang," lanjutnya menggoda wanita itu. Bahkan sapaan mereka sudah non-formal.

Mark memang kerap kali menggoda dokternya itu atau menjahilinya. Karena menurut Mark, Dahyun sangat lucu dan juga ceroboh jika ketahuan salah tingkah di hadapannya.

"Aku sudah mulai terbiasa dengan gombalanmu, Mark," sahut Dahyun terkesan cuek, padahal sebaliknya.

Hampir saja aku terbawa perasaan. Entah sejak kapan, aku mulai menyukainya. Batin Dahyun.

"Yaaah. Kau tidak asik," ucap Mark merajuk.

"Gombalanmu itu tidak berpengaruh padaku, kau harus sedikit lebih kreatif Mark," sahut Dahyun dan menertawakan Mark yang sedang menggerutu.

"Aku bersyukur, di sini mendapatkan teman baru. Dan juga, aku bertemu dengan teman lamaku, Lee Know."

Mendengar nama Lee Know disebut, Dahyun jadi ingat ingin menanyakan hal ini. "Kalian saling mengenal?"

"Hmm. Aku dan Lino bersahabat sewaktu di sekolah menengah atas. Dia sebagai kakak kelasku," jawab Mark.

Dahyun menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti.

"Lalu, Lino hilang begitu saja. Bahkan saat reuni sekolah, dia tidak datang. Ternyata dia sibuk sebagai dokter di negara ini," lanjut Mark.

"Aku juga mengenal Lino sunbae sejak lama. Saat aku masih menjadi resident di rumah sakit Seoul. Lalu kami ditugaskan ke sini."

"Whoaa! Daebakk! Jadi kalian juga sudah mengenal saat di Seoul?" Mark terkejut sembari memainkan ekspresi wajahnya.

"Ekspresimu berlebihan sekali," ucap Dahyun datar.

Mark menaikkan sebelah alis matanya. Sedangkan Dahyun hanya menatapnya datar. Lalu mereka tertawa bersamaan. Mark menertawakan Dahyun yang terlihat lucu saat memasang wajah datar. Sedangkan Dahyun menertawakan Mark karena eskpresinya ketika menaikkan sebelah alis matanya. Seperti itulah mereka, menertawakan apa saja yang menurut mereka lucu, padahal belum tentu yang mereka tertawakan itu lucu menurut orang lain.

"Ayo kembali ke ruanganmu. Angin malam sudah semakin dingin, tidak baik untuk pemulihanmu."

"Itu juga tidak baik untuk kesehatanmu," sahut Mark.

Dahyun tersenyum. "Kajja!"

Dokter muda itu mengantar Mark ke ruangannya dan memeriksa sebelum pamit keluar ruangan.

Setelah Dahyun keluar ruangan. Mark mengecek ponselnya. Ternyata ada Line dari Ningning.

Aish! Kenapa dia baru menghubungiku.

Mark membuka Aplikasi Line dan melihat isi chat dari Ningning. Mark diam mematung setelah membacnya.

LINE

Ningning

|Mark!

|Minggu depan Karina akan bertunangan

|Tidak lama lagi, mereka akan menikah

Mark tidak tahu harus sedih atau bahagia. Karina dan Jeno akan segera melangsungkan pertunangan.

Semoga kalian bahagia ...

-o-

Rasa --sakit hati--dapat diterima dengan lapang dada, sebab sudah menjadi hukum alam jika berani jatuh cinta berarti berani pula untuk patah hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status