Share

Nightmare

Happy Reading

Sean memijat keningnya pelan, berkas yang menggunung di hadapannya membuat kepalanya teramat pusing. Dengan kesal, dia membolak-balikkan kertas di hadapannya, lalu menorehkan tanda tangan. Tiba-tiba...

BRAKKKK

Suara pintu terbuka keras mengalihkan perhatiannya, menampakkan wajah Dastan sahabatnya.

"Pintu kantor ku jauh lebih mahal dibandingkan dirimu sialan." geram Sean menatap ke arah pria yang menjadi sumber kekesalannya.

Dastan memasang wajah tanpa dosa, dengan santai dia mendudukkan dirinya di sofa empuk.

"Kau sibuk?" tanyanya basa basi. Dastan sebenarnya hanya menggoda pria workholic itu, tanpa bertanya dia sudah bisa menyimpulkan sendiri bahwa sahabatnya sedang bertarung dengan segunung berkas.

"Terimakasih untuk basa-basinya." ujar Sean datar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.

"Kau memburu mangsaku." celutuk Dastan langsung.

Kalimat itu sukses mendapat perhatian dari Sean, dia mengangkat wajahnya dari kertas putih, menatap bingung pria yang tengah duduk di sofa mewahnya.

"Kesya." Dastan menambahkan, menjawab kebingungan yang terlukis di wajah pria itu.

Sean mulai tertarik mendengar nama yang belakangan ini mengusik hidupnya, dia menyandarkan punggungnya di kepala kursi.

"Kau menyukainya?"

"Dia menarik."

"Ya atau tidak." ucapnya menuntut kejelasan dari pria itu.

Dastan memandangi lama wajah lawan bicaranya.

"Ya, aku menyukainya." ujar Dastan dalam sekali tarikan nafas.

Sean menyembunyikan kepalan tangan di bawah meja, dia sangat terusik dengan pengakuan sahabatnya.

Brengsek! makinya dalam batin

Sean berdehem menormalkan raut wajahnya.

"Sejak kapan kau mengetahui identitas penari itu?"

"Aku sudah mengetahuinya jauh sebelum kau mengetahuinya." balas Dastan cepat.

Sialan! Dia mendahului langkahku. kesal Sean membatin

"Lalu kenapa kau bertanya pada Baron waktu itu?" tukas Sean, mengingatkan kembali ke percakapan mereka beberapa saat lalu.

"Aku ingin membawanya keluar dari sana, Baron tidak ingin melepaskan Kesya, dia harta karun club' itu." ujar Dastan.

"Bukankah jalang memang berada di tempat kotor? Kenapa kau malah ingin membebaskannya." sindir Sean tajam, hatinya panas mendengar pembelaan dari sahabatnya. Dia tidak suka ada yang mendekati gadis itu selain dirinya.

"Dia bukan jalang!" desis Dastan, tidak terima atas penghinaan sahabatnya.

Niatnya kesini untuk meminta bantuan dari sahabatnya untuk mengeluarkan Kesya dari tempat terkutuk itu, tapi sepertinya kedatangannya tidak disambut dengan baik.

"Kalau dia bukan jalang, berarti pelacur." ucap Sean enteng.

BRAKKKK

Dastan menggebrak meja di hadapannya, bibirnya bergetar menahan amarah.

"Tutup mulutmu Kingston, Kesya adalah wanita baik-baik!" sentak Dastan dengan tatapan membunuh.

Sean membalas datar tatapan pria yang mengarah padanya.

Ada pertunjukan menarik sebentar lagi. Sean membatin.

"Wanita baik-baik? Apa wanita baik-baik akan membuka pahanya lebar-lebar bagi semua pria?" ujar Sean remeh, semakin menyulut amarah pria itu.

Dastan tertawa.

"Jangan terlalu mudah percaya dengan penglihatan mu Sean, karena yang kau lihat belum tentu kebenaran." cercah Dastan memperingati pria sombong itu.

"Mata tidak pernah salah Dastan." balas Sean dengan senyum miring.

"Kau benar mata memang tidak pernah salah, tapi manusia yang terlalu cepat menghakimi tanpa mencari tahu kebenaran terlebih dulu." lirih Dastan.

deg!

Kenapa kalimat itu membuat hatiku ngilu. batin Sean

"Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya, ada apa denganmu?" tanya Sean, rasa penasaran menghantui benaknya melihat kegigihan sahabatnya membela gadis yang sama sekali tidak selevel dengan mereka.

"Kau akan mengerti jika kau sudah merasakan." Dastan memberi jawaban menohok, membuat pria itu bungkam seketika.

"Aku pergi, ceramahku cukup sampai disini." celetuk Dastan setelah mengusir keheningan sesaat diantara mereka.

Dia harus menelan kekecewaan, usahanya gagal kali ini.

Sean sama sekali tidak mendengar perkataan pria itu, pikirannya masih berkelana mencari jawaban dari teka-tekinya.

Merasa tidak ada balasan dari lawan bicaranya, Dastan bangkit dari duduknya.

"Jangan menyakiti Keysa, dia sudah banyak menderita. Jika kau hanya ingin menjadikannya obsesi nafsumu, aku akan maju merebutnya, tapi jika kau menginginkannya karena cinta, aku akan mundur. Kebahagiaan Kesya adalah prioritas ku. Aku akan melupakan persahabatan kita jika kau menyakitinya, camkan itu baik-baik." jelas Dastan dengan nada mengancam, sebelum meninggalkan pria itu dengan sejuta pertanyaan.

Cinta? Apa aku mulai mencintainya?. bisik Sean dalam batin.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, tidak terasa hari berlalu begitu cepat. Seluruh pegawai Kingston Corp bersorak ria menyambut damai malam yang mulai menampakkan cahayanya.

Tapi tidak halnya dengan seorang pria tampan yang berdiri di balik jendela kaca, sebelah tangannya memegang gelas berisi alkohol, matanya menatap kosong binar malam kota itu. Pikirannya masih berkecamuk dengan percakapan mereka tadi siang.

"Lama-lama aku bisa gila." kesal Sean mengutuk dirinya sendiri, dia benar-benar bingung mencerna perkataan sahabatnya, ini pertama kalinya seorang Kingston sibuk memikirkan orang lain, dan sialnya dia adalah gadis itu. Hidupnya berubah total saat mengenal gadis itu.

Sean meneguk habis alkoholnya, dia ingin pergi ke suatu tempat.

Selang beberapa menit, Sean sampai di parkiran mewah perusahaan Kingston, keningnya berkerut mendapati tangan kanannya berdiri di sudut mobilnya.

"Apa yang kau lakukan disini." ujar Sean mendekati pria itu.

"Tuan Charles meminta anda untuk datang ke mansion malam ini juga tuan muda." jelas Ben, menyampaikan pesan majikannya.

Sean berdecak kesal, waktunya tidak tepat.

"Katakan pada ayah, besok aku akan datang." tolak Sean langsung.

"Tapi tuan muda, tuan Charles ingin....

"Tutup mulutmu Ben, atau ku tembak kepalamu!" sentak Sean, membuat nyali pria itu menciut.

"B-baiklah tuan muda." Ben menjawab terputus-putus, degup jantungnya berdetak kencang mendengar ancaman tuannya.

"Minggir dari mobil ku." perintah Sean, mengusir pria yang menghalangi langkahnya.

"Silahkan tuan muda." ucap Ben membawa tubuhnya menjauh.

Sean memasuki mobilnya, menghidupkan mesin lalu membelah jalanan dengan kecepatan tinggi .

"Hufffttt, akhirnya lepas dari singa lapar, semoga saja raja singa juga akan melepas ku nanti." ujar Ben meramalkan doa.

Kesya tertawa terpingkal-pingkal menonton acara TV, seperti biasa jika dia tidak bekerja maka dia akan menghabiskan waktu untuk menonton TV. Setidaknya, sedikit bisa mengusir kebosanan, aktivitasnya terganggu saat mendengar bunyi ponselnya.

"Siapa ini?" gumam Kesya melihat digit nomor tak dikenalinya terpampang di benda pipihnya. Dia segera melarikan ibu jarinya, menggeser layar merah menolak panggilan tersebut. Matanya kembali ke layar televisi di depannya.

Kekesalannya semakin menjadi saat ponselnya kembali berbunyi dengan nomor yang sama, dengan cepat dia menggeser layar hijau ponselnya.

"Siapa ini?" ketus Kesya, menempelkan ponselnya di telinga.

"Aku yakin kau pasti sangat cantik dengan wajah marah mu." balas suara pria di balik panggilan itu.

Sean? ini suara si brengsek itu, darimana dia dapat nomor ponsel ku?. batin Kesya bertanya-tanya

"Kau?! darimana kau dapat nomor ponselku." geram Kesya

Suara tawa membuncah terdengar di seberang sana.

"Aku bahkan mengetahui semua tentangmu, jangan lupa aku adalah seorang Kingston, tanyakan hal yang masuk akal." ujar Sean sombong.

Kesya merutuki kebodohannya.

"Aku tutup." balas Kesya, hampir saja jarinya menggeser layar merah sebelum suara di balik ponsel itu mengurungkan niatnya.

"Aku disini, keluar, jika kau tidak ingin terjadi keributan di kompleks kumuh ini." perintah Sean.

"Brengsek kau Kingston." Kesya mengumpat kesal, saat panggilannya berakhir sepihak.

Sean terkekeh pelan menatap layar ponselnya, dia sepertinya sudah gila, bukannya marah dia malah tertawa bahagia mendengar nada amarah gadis itu. Dia mengangkat wajahnya saat mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya, senyum kecil terbit di wajahnya melihat kedatangan wanita yang sedari tadi di tunggunya.

Kesya menghentakkan kakinya mendekati pria yang bersandar di punggung mobil.

"Apa yang kau lakukan disini." Kesya langsung melontarkan pertanyaan, setelah berdiri di hadapan pria itu.

Sean menegakkan punggungnya, meneguk ludah kasar melihat kaki jenjang mulus di hadapannya.

"Kau sangat panas malam ini." ujar Sean menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan matanya.

Bagaimana tidak, gadis itu keluar dengan kaos oblong tipis berwarna putih, memakai hotpants hitam, rambutnya digelung keatas menampakkan leher jenjangnya. Pria mana yang tahan menolak suguhan seperti itu.

Kesya memutar bola matanya jengah.

"Apa isi otak mu itu hanya selangkangan?

"Aku pria normal, wajar jika aku tergiur dengan kemolekan." celutuk Sean, membela diri.

"Tutup mulut mu, katakan untuk apa kau datang kesini." tuntut Kesya, menagih jawaban atas pertanyaannya.

"Aku lapar, ayo kita makan." ajak Sean, menarik lengan kurus gadis itu.

Kesya menepis tangannya dari genggaman pria itu.

"Ini bukan tempat makan, pergi dari sini sekarang.

Sean mengangkat sebelah sudut bibirnya melihat penolakan gadis itu.

"Kau lupa bahwa aku memiliki rahasia mu, kau tidak ingin bukan seisi kompleks ini mengetahui identitas mu yang tidak lain adalah seorang penari striptis." ancam Sean, penuh kemenangan.

Kesya bungkam, tidak bisa berkutik sama sekali, dia menarik nafas panjang mengusir kegundahan yang singgah di benaknya.

Si brengsek ini, selalu saja membuatku mati kutu. kesal Kesya membatin

"Baiklah aku akan menuruti mu." putus Kesya mengalah, dia tidak ingin ancaman pria dihadapannya menjadi kenyataan.

Sean menyeringai, akal bulusnya berjalan mulus.

"Ayo pergi."

"Tidak perlu." balas Kesya cepat.

"Apa maksud mu." geram Sean

"Kita makan malam di rumah ku saja, aku akan memasak." ujarnya, Kesya berbalik memasuki rumah.

"Not bad." gumam Sean mengangkat kedua bahunya, mengikuti langkah gadis itu.

"Kau bisa duduk." Kesya menawarkan kursi kayu panjang di ruang tengah, dia segera memasuki dapur yang terletak di sebelah kiri ruang tamu.

"Kau tidak butuh bantuan." seru Sean, membaringkan tubuhnya di kursi panjang itu.

"Tidak, tunggu saja disitu." tolak Kesya cepat.

"Baiklah kalau begitu."

Setengah jam berkutat dengan dapur, Kesya membawa hasil masakannya pada pria yang sedang berbaring tidak nyaman di atas kursi kayu. Dia menahan tawa sedari tadi, melihat pria itu kesakitan.

"Kursi apa ini, badanku sakit semua." adu Sean bangkit dari posisi telentang, memijit punggungnya yang berkali kali lipat pegal dari sebelumnya.

Kesya menggigit bibirnya menahan tawa.

Rasakan itu Kingston, siapa suruh kau datang ke gubuk ku. batin Kesya.

"Makanlah, aku sudah menyiapkannya untuk mu." kata Kesya meletakkan nampan di atas meja.

Sean menatap ngeri makanan dihadapannya.

"Makanan apa ini?" tanya Sean mengamati bentuk makanan yang baru sekali dilihatnya.

Kesya mendengus kesal.

"Itu Indomie telur, jika kau tidak tahu."

"Apa?! Kau menghabiskan hampir satu jam hanya untuk memasak makanan aneh ini?" seru Sean, menatap tak percaya gadis yang sudah duduk di hadapannya.

"Kalau tidak mau buang saja." dengus Kesya.

Sean mengendurkan otot wajahnya.

"Baiklah aku akan memakan karena kau yang memasak." balas Sean mulai mencicipi kuah mie itu.

Kesya tersenyum iblis, batinnya mulai menghitung.

1

2

ti..

"Brengsek! pedas sekali." seru Sean tiba-tiba, mengipas-ngipas lidahnya yang terbakar cabai.

Kesya tertawa terpingkal-pingkal, melihat wajah pria dihadapannya memerah. Dia sudah menaruh cabai lima sendok di dalam mie itu, rencananya berjalan sukses.

"Hahhahaha, wajahmu lucu sekali." celutuk Kesya di sela-sela tawanya.

"Wanita sialan, kau mengerjai ku." geram Sean tak terima.

Bukannya sakit hati, tawa Kesya semakin membuncah, dia bahkan memegangi perutnya, melihat pria tanpa celah itu meneguk tandas segelas air seperti orang kesetanan.

Tiba-tiba suara kilat petir menyapa pendengaran mereka, membuat kedua manusia itu berjengkit kaget. Sedetik kemudian langit menangis deras membasahi bumi.

"Bagaimana caranya kau pulang?" tanya Kesya, setelah berhasil lolos dari keterkejutannya.

Sean tersenyum licik, kesempatan emas tidak boleh di sia-siakan.

"Hoammm.... aku mengantuk." Sean menghiraukan pertanyaan gadis itu, dia merenggangkan otot-ototnya, membaringkan tubuhnya kembali.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Kesya.

"Tidur, apa lagi." balas Sean singkat.

"Jangan gila, pulang sana." perintah Kesya.

"Kau yang gila, diluar hujan deras." celutuk Sean memejamkan matanya.

Kesempatan ini tidak boleh hilang begitu saja, aku tidak apa-apa meski punggungku terasa ngilu. batin Sean

"Terserah kau saja, aku tidak tanggungjawab jika kau sampai masuk rumah sakit besok." terang Kesya, membiarkan pria itu tidur menahan sakit di punggungnya.

Kesya melirik jam dinding, tidak terasa sudah pukul 10 malam, waktunya untuk membungkus diri dalam selimut. Dia melirik sebentar ke arah pria itu.

"Sepertinya dia sudah tidur". gumam Kesya kecil.

Kesya beranjak dari duduknya menaiki gundukan kayu menuju kamarnya, mengambil selimut lalu menuruni anak tangga. Dia menyelimuti pria yang berbaring di kursi panjang, memandangi wajah rupawan yang melekat di pria itu.

"Kau sangat manis saat tidur, selamat malam." gumam Kesya tersenyum kecil meninggalkan pria itu.

Sean membuka kelopak matanya, dia hanya pura-pura memejamkan mata dari tadi.

"Ku harap mimpi mu adalah wajah manis ku, selamat malam juga Kesya." monolog dirinya sendiri, merapatkan selimut beraroma khas tubuh Kesya, bersiap menuju alam mimpi.

Seorang lelaki paruh bayah berjalan sempoyongan menuju kamar yang terletak di ujung tangga, menggedor-gedor pintu bercat putih, seorang gadis remaja terkesiap mendapati pria mabuk berdiri di depan pintu kamarnya.

"Mau apa kau!" seru gadis itu marah

Mata pria itu berkilat marah mendengar seruan gadis kecil dihadapannya, tanpa menunggu lama lagi dia mendorong gadis itu ke dalam kamar, membanting tubuhnya di atas kasur, lalu menindihnya.

"Lepaskan, lepaskan aku brengsek." gadis itu meronta-ronta melepaskan diri dari pria di atasnya.

"Nikmati saja sayang." ujar si pria mulai melancarkan aksinya, menjilati leher mulus gadis itu, sebelah tangannya menahan kedua tangan gadis itu di atas kepalanya, sebelah tangannya tak tinggal diam, dia menggerayangi tubuh gadis itu yang dari luar baju tidur. Nafsu birahinya semakin meningkat mendengar jeritan gadis kecil di bawahnya.

Gadis itu menangis menjerit-jerit, menendang-nendang kakinya di udara, jantungnya berdetak kencang saat lidah pria itu mulai menjelajahi dadanya yang sudah tidak terlindung apapun.

"Lepaskan aku, ku mohon lepaskan aku brengsek!" teriak gadis itu sekuat tenaga, dia mulai kelelahan menghadapi tenaga pria diatasnya, suaranya berubah serak.

Entah kekuatan dari mana dia berhasil mendaratkan lututnya tepat di milik pria.

"Ahrggghh...

ku bunuh kau jalang." teriak pria itu memegangi miliknya.

Gadis itu bergetar ketakutan, dia segera turun dari ranjang sambil membenarkan letak bajunya, berlari menggapai pintu sebelum kakinya ditarik hingga membuat keningnya terbentur di lantai.

"Lepaskan aku, lepaskan aku!"

"Tolong!!!"

"Tolong!!!!"

"Tolong aku!!!" teriak si gadis tidak memperdulikan dari yang merembes dari keningnya.

"Siapapun tolong aku!"

Pria itu tertawa mengerikan.

"Teriak saja, tapi ku pastikan semua usaha mu akan sia-sia." ujar si pria menyeringai tajam, dia memanggul tubuh kecil itu di bahunya, melemparnya kembali di atas kasur.

Dia menindih kuat tubuh berontak gadis itu di bawah kungkungannya.

"Mari kita bersatu dalam kehangatan." bisik si pria menyeringai dengan suara serak.

"Tidakkkkkk........."

Kelopak Kesya terbuka seketika, matanya melotot menatap ke atas langit-langit, tubuhnya bergetar ketakutan, nafasnya tercekat, keringat dingin mengucur deras dari dahinya, bibirnya bergetar menahan isakan.

Sean terbangun saat mendengar suara isakan dari lantai atas, dengan cepat dia menyibakkan selimutnya menuju asal suara itu.

"Kesya, buka pintunya!" seru Sean mengetuk pintu kayu itu.

"Kesya!"

"Kesya!"

"Buka pintu mu sialan!"

Sean tak lagi bisa menahan sabar, rasa takut, gelisah, khawatir melanda benaknya, dalam sekali tendangan pintu itu terbuka.

Sean membeku saat melihat tubuh gadis itu bergetar di atas ranjang, manik coklatnya ketakutan menatap ke atas langit kamar, isakan- isakan kecil lolos dari bibir mungilnya.

Sean duduk di sisi ranjang, mengangkat bahu bergetar itu dari posisi terlentang.

"Kau bermimpi buruk?" tanya Sean setelah gadis itu duduk di hadapannya.

Kesya memandangi wajah pria itu lekat, keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya, getar badannya semakin kuat, tiba-tiba tangisnya pecah, dia menangis histeris, menangis sekencang-kencangnya, suasana kamar berubah mencekam, jeritannya begitu menyayat hati.

Sean terdiam, hatinya diiris-iris mendengar tangisan pilu gadis itu.

"Tolong aku!"

"Ku mohon tolong aku!"

"Bawa aku pergi"

"Aku sudah tidak sanggup lagi."

"Bawa aku pergi!" jerit Kesya bertubi- tubi, meremas kuat kemeja pria dihadapannya.

Air matanya berjatuhan membasahi gaun tipisnya.

Sean membawa gadis itu ke pelukannya, mengelus lembut surai hitam cantiknya. Dia tak kuasa melihat wajah menderita gadis itu.

"Tenang, itu hanya mimpi, aku disini." bisik Sean berulang kali menenangkan gadis itu.

Kesya masih menangis di ceruk leher pria itu, dia semakin membenamkan kepalanya di pelukan pria itu.

Sean tidak peduli bajunya yang sudah basah air mata, dia tidak pernah menduga bahwa gadis sombong di hadapannya menyimpan banyak luka. Perkataan Dastan kembali terngiang di benaknya.

Kau sangat menderita sepertinya, apa yang ku lewatkan darimu." batin Sean

Hampir setengah jam mereka berada di posisi seperti itu, Sean tak henti-hentinya mengelus sayang gadis itu, suara tangis tak lagi terdengar, hanya tersisa isakan kecil dari bibir mungil gadis itu, dia bahkan menyandarkan wajahnya di puncak kepala gadis itu.

"Sean." panggil Kesya tiba-tiba

"Hm?" gumam Sean.

Hening.

"Jangan tinggalkan aku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status