Share

Luka yang Belum Sembuh

Ternyata dayang istana yang membawa pergi bayi pangeran ketika peperangan tinggal di rumah Pak Beni dan istrinya. Rumah sederhana yang begitu tertata. Tampak dayang istana masih terbaring lemas.

“Maaf, saya merepotkan kalian” tiba-tiba dayang istana membuka matanya setelah koma selama tiga hari.

“Tidak sama sekali wahai utusan istana” suara lembut bu Ratna istri pak Beni yang tengah duduk di samping dayang istana. Sudah turun temurun, semua orang yang berkaitan dengan istana pasti akan dihormat walau hanya seorang pembersih kebun. Itulah hal istimewa yang didapatkan dari semua orang yang berhubungan dengan istana. Mereka memiliki pangkat dan dihormati oleh warga sekitar. Bahkan bangsawan pun ikut menghormatinya.

“Di mana supir delman?” sambil melihat sekeliling. Berharap sang supir juga ada ditempat yang sama dengannya.

“Mohon maaf, dia telah tiada. Lukanya cukup parah. Nyawanya tidak dapat tertolong” Jawaban itu memaksa dayang membuka ingatan mengenai kejadian waktu itu. Kejadian yang sangat mengerikan dan menakutkan harus berhadapan dengan anak panah.

Tampak ekspresi dayang istana sangat sedih. Terlihat dari sorot matanya yang layu, menahan sakit di lengannya. Ditambah mengetahui kenyataan pahit yang menimpa supir delman.

“Aduh sakit” dayang istana hendak bangkit dari tidurnya, namun tangannya ternyata masih sulit untuk digerakkan. Ketika di gerakkan pun rasa sakit hadir.

“Tetap tidur saja dayang”

“Saya mau berusaha duduk”

Dengan bersusah payah sang dayang berusaha untuk duduk. Dengan di bantu Bu Ratna akhirnya ia berhasil untuk duduk dengan badannya bersender pada dipan sederhana.

“Sebentar, saya ambilkan makanan dulu”

“Tidak perlu, cukup air putih saja. Aku belum lapar”

Bu Ratna beranjak dari duduknya untuk mengambil air. Tak butuh waktu lama, bu Ratna kembali dengan membawa segelas air putih dan obat tradisional untuk mengobati luka di lengan dayang.

“Sebentar, saya obati terlebih dahulu luka ini supaya cepat sembuh”

“Sungguh baik sekali keluarga ini. Terima kasih banyak” jawab dayang istana sambil meminum air.

Bu ratna masih mengoleskan obat tradisional dengan hati-hati. Dayangmemulai obrolan.

“Lantas sekarang di mana keberadaan putra mahkota..”

“Kalian pergi bersama putra mahkota?”

“Iya, kami pergi bersama bayi putra mahkota kerajaan yang baru lahir, ketika pengejaran, sebelum kami tertangkap dengan beruntungnya seorang petani dan keluarganya melintas di jalan. Demi keselamatan putra mahkota kuserahkan ia kepada mereka. Semoga saja pasukan Bahara tidak menemukan bayi itu. Saya akan amat merasa sangat bersalah dan berdosa pada kerajaan jika bayi pangeran tertangkap dan di bunuh” cerita dayang istana. Karena sedih air matanya tak tertahankan dan tumpah membasahi pipinya yang sudah sembab.

“Semoga saja, mereka berhasil menyembunyikan bayi istana” Bu Ratna menjawab sambil merasa sangat prihatin dengan musibah yang dialami istana.

“Sudah selesai, istirahatlah kembali supaya segera lekas sehat dan dapat kembali ke istana dan mencari bayi pangeran”

“Baiklah..”

“Saya tinggal ke belakang ya, beristirahatlah dengan nyaman. Panggil saya jika ada kebutuhan. Saya akan selalu siap jika dayang panggil ”

“sekali lagi saya ucapkan terima kasih...”

***

“Suamiku..” suaranya terdengar berat

“Mengapa engkau tampak khawatir wahai permaisuriku?”

“Bagaimana nasib putra kita, masih belum ada kabar juga. Saya begitu khawatir akan keselamatannya”

“Istriku, kita doakan saja semoga ia baik-baik saja. Yang tenang wahai istriku,” raja berusaha menenangkan istrinya.

“Lapor paduka..” seorang ajudan raja datang.

“Di luar terdapat seseorang yang mengaku telah bertemu dengan supir dokar dan dayang istana”

“Suruh dia masuk” jawab Raja dengan tegas.

“Semoga ia juga membawa kabar mengenai putraku,” sang ratu sambil menatap ke suaminya dengan menaruh penuh harapan. Matanya berbinar-binar.

“Semoga saja istriku..”

Ajudan kerajaan segera pergi memanggil orang tersebut. Tak lama kemudian ia kembali bersama seorang lelaki berusia lanjut.

“Izin menghadap rajaku,” dengan penuh hormat lekaki tersebut menghadap.

“Sampaikanlah semua yang engkau ketahui wahai rakyatku”

“Baiklah Raja” jawab lelaki itu.

“Izin melapor, hamba Ki Ageng. Sesepuh di desa Serjamulya. Prajurit pembawa dokar telah meninggal karena terluka selama pengejaran. Ia terkena anak panah tepat di dadanya. Sementara sang dayang sedang dirawat di rumah Pak Beni, salah satu warga kami, keadaannya masih sangat lemah”

“Apakah anda mengetahui keberadaan dan kabar putra pangeran?” tanya Raja. Sang permaisuri terlihat sangat menunggu jawaban Ki Ageng.

“Mohon maaf sekali Rajaku..”

“Telah terjadi apakah gerangan dengan putraku?” Sang Raja segera melempar pertanyaan sebelum ki Ageng selesai berbicara.

“Apakah putraku di tangkap?” tanya Ratu dengan wajah penuh kekhawatiran dan ketakutan. Matanya mulai mengeluarkan air mata. Tak kuasa menahan kesedihan.

“Mohon maaf sekali untuk putra pangeran saya tidak mengetahui keberadaannya. Saya hanya menerima laporan warga jika mereka menolong dua orang utusan istana.”

“Baiklah rakyatku. Terima kasih banyak atas kabar ini. Sekarang engkau boleh keluar wahai rakyatku”

“Terima kasih banyak paduka raja, hamba mohon pamit”

Ki Ageng keluar istana dengan di antar oleh Ajudan kerajaan. Kini ratu merasa makin khawatir dengan keselamatan putranya setelah mengetahui bahwa utusannya telah terluka oleh pasukan Bahara. Bahkan supir dokar telah tiada. Hatinya semakin resah. Tampak dari gurat garis yang tergambar di wajahnya.  

“Sungguh malang nasib putraku” suaranya terdengar sangat lirih, namun masih dapat didengar oleh Raja.

“Bersabarlah, aku yakin putra kita masih hidup dan baik baik saja”

***

Setelah mendapat kabar dari Ki Ageng mengenai keberadaan dayang, Raja segera mengutus pasukan untuk menjemput Sang Dayang pulang ke istana. Raja Reja memang begitu perhatian dengan warga istana dan semua rakyatnya. Sayangnya Raja sudah semakin tua. Harusnya sudah sejak lama Raja sudah turun jabatan.

Berhubung belum dikaruniai seorang anak laki-laki maka sang raja menunda untuk turun jabatan. Sang Raja juga tidak tega jika putri Aleta memimpin kerajaan, menurutnya usia putrinya masih terlalu belia, selain itu ia juga seorang wanita. Ia baru menginjak usianya yang ke 16 tahun. Sungguh tidak tega jika ia harus mengemban beban yang sangat berat untuk memimpin kerajaan. Dengan kelahiran putra pangeran, Raja dan warga istana sungguh bahagia. Mereka lega akhirnya ada calon penerus Raja Reja.

 Namun sayang kelahirannya tidak disambut baik oleh keadaan. Perang di malam kelahirannya telah membuat putra mahkota diasingkan dari istana. Bayi kecil yang  seharusnya mendapat peluk kehangatan dari orang tuanya, terutama ibu yang mengandungnya. Sungguh malang nasib bayi pangeran. Demi mempertahankan nyawanya, ia harus di asingkan jauh dari keluarga. Dan kini keberadaannya masih belum diketahui. Pastilah hal ini sangat membuat sedih kerajaan terutama Raja Reja yang mengharapkan penerus kekuasaannya. Ditambah lagi belum melihat wajah putranya walau hanya satu detik. Rombongan istana segera pergi berduyun-duyung ke desa Serjamulya untuk menjemput dayang. Warga desa merasa kaget dengan pasukan istana yang tiba-tiba mendatangi desanya.

“Di mana rumah pak Beni? Tolong antar kami ke sana” tanya salah satu pasukan kepada warga

“Baiklah utusan, mari saya antar”

Tak butuh waktu lama. Rombongan sudah sampai di depan rumah Pak Beni. Mendengar orang mengetuk pintu bu Ratna segera membuka pintu. Kebetulan pak Beni sedang berada di ladangnya.

“Sebentar” teriak bu Ratna. Setelah pintu terbuka, ia begitu kaget.

“Kami datang kemari dengan maksud untuk menjemput dayang istana yang engkau rawat.”

“Baiklah, silahkan silahkan masuk. Ia sedang berbaring. Lengannya belum sembuh total”

Empat orang pasukan istana segera masuk ke rumah bu Ratna dang mengkuti bu Ratna dari belakang. Sementara pasukan lainnya tetap menunggu di depan.

“Dayang, kami ke sini karena kehendak Raja. Raja menyuruh kami untuk menjemput engkau”

“Baiklah..” Sang Dayang berusaha untuk berdiri.

“Pelan-pelan” kata bu Ratna sambil membantu sang dayang berdiri. Dengan di bantu bu Ratna dan seorang utusan istana dengan perlahan sang dayang keluar dari rumah bu ratna dan Segera duduk di dalam delman kerajaan. Tubuhnya masih sangat terlihat lemas.

“Terima kasih bu Ratna telah merawat saya untuk beberapa hari ini”

“Sudah menjadi kewajiban hamba wahai warga istana” jawabnya dengan sangat sopan.

“Terimalah bingkisan ini sebagai tanda terima kasih kami” kata salah satu pasukan sambil menyerahkan bingkisan tersebut.

“Tidak perlu wahai utusan, hamba benar benar ikhlas”

“Ini adalah amanat dari Raja, tolong terimalah .. sampaikan salam Istana kepada suami anda” lanjut salah seorang pasukan sambil menyerahkan bingkisan itu.

“Karena ini perintah Raja, saya terima”  

Rombongan pasukan istana segera pergi dari kediaman Pak Beni dan Bu Ratna.

***

Istana sudah menunggu kehadiran dayang istana. Banyak hal yang akan Raja tanyakan mengenai kejadian malam itu. Ratu juga sangat menunggu kehadiran sang dayang. Ia ingin mendengar apa yang terjadi pada putra pangeran pada malam itu.

“Tolong bantulah dayang masuk ke Istana. Segera bawa ke kamarnya” instruksi salah satu pasukan. Dayang-dayang yang menunggu kembalinya rombongan pasukan sedari tadi pun segera membantu dayang yang terlihat sangat lemas. Mereka segera membawanya ke kamar.

Raja dan ratu mendatangi kamar dayang. Mereka hendak melihat keadaannya lebih jauh dan ingin mengetahui cerita lengkap mengenai apa yang terjadi kala itu, terutama mengenai putra kerajaan.

“Wahai Dayang, apa yang terjadi pada waktu itu sehingga engkau terluka dan sopir dokar meninggal. Lantas bagaimana nasib putra pangeran?. Kalian tertangkap pasukan Bahara?”

“Mohon maaf sekali Paduka Raja. Pada malam itu kami berhasil tertangkap. Roda dokar terkena anak panah mereka sehingga kami berhasil dikejar. Kemudian mereka menyerang kami dan nyawa sopir delman tak bisa di selamatkan.” Jelasnya.

“Lantas bagaimana dengan putra pangeran? Apakah mereka menangkapnya dan membawa pergi?”

“Tidak wahai tuanku. Untunglah sebelum kami tertangkap. Terdapat keluarga petani yang sedang melintas. Aku berikan bayi putra pangeran kepada ibu petani, dan sang ibu terlihat langsung pergi menuruni bukit bersama salah satu putrinya. Sementara pak tani dan seorang anaknya tetap melanjutkan perjalanannya supaya pasukan Bahara tidak curiga. Semoga saja sang ibu petani tidak di kejar pasukan Bahara” jelasnya sambil merasa bersalah.

“Paduka.. bagaimana nasib putra kita” deraian air mata membasahi pipi Sang Ratu. Kedua tangan Ratu memegang tangan kanan Raja. Tampak ratu sangat khawatir dan sedih.

“Kita doakan saja istriku.. semoga pangeran tidak tertangkap dan baik-baik saja keadaannya bersama keluarga petani.”

“Besok kita kirim utusan untuk mencari petani tersebut” lanjut Sang Raja

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status