Suara ketukan yang dihasilkan dari kapur tulis yang bertemu dengan papan tulis hijau terdengar memenuhi salah satu ruang belajar di Universitas Durham. Kelas matematika yang dibimbing oleh Profesor Lumiere Crowe Wysteria sedang berlangsung.
Para siswa yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki ini tampak fokus memperhatikan apa yang Lumiere jelaskan. Sang gadis begitu cakap dalam menjelaskan rumus-rumus persamaan yang bagi para murid cukup sulit untuk dikerjakan.
"Baiklah. Sampai di sini, ada yang dipertanyakan?" Tanya Lumiere setelah menyelesaikan menulis materi yang sedang ia ajarkan kepada anak didiknya.
"Profesor!" Suara ini berasal dari bangku paling atas ruang belajar ini. Seorang pria berparas tampan tampak mengangkat sebelah tangannya guna menarik atensi sang profesor muda tersebut, "Bisakah Anda menceritakan masa kecil Anda?"
Lumiere cukup terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin menanyakan sesuat
Tok! Tok! Tok!Si Gadis kecil bermata biru langit dengan perlahan membuka pintu berdaun dua tersebut setelah mendengar sahutan dari dalam. Ruang baca dengan dekorasi mewah dan seorang wanita cantik menjadi pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatan si Gadis.“Saya sudah kembali,” ujar si Gadis seraya melangkah menghampiri sang Wanita yang merupakan Countess Wysteria.“Suratku sudah kau kirimkan?” Tanya Countess Wysteria tanpa menatap si Gadis dan lebih memilih melanjutkan kegiatan membaca bukunya.Si Gadis tersenyum manis dengan kedua matanya yang terpejam. Terlihat sangat jelas bahwa senyumannya tidak begitu tulus ia keluarkan, “Ya, Ibu.”Mendengar kata ‘ibu’ yang terucap dari mulut si Gadis. Countess Wysteria mendelik tajam kepadanya, berdiri secepat mungkin dan kemudian berteriak, “JANGAN SALAH PAHAM, YA! MERAWAT ANAK YATIM PIATU ITU CUMA KEWAJIBAN SEORANG BANGSAWAN! INI TINDAKAN AMAL! MANA SUDI MENG
Setelah menganiaya Lucy, waktu terus bergulir. Matahari yang selama setengah hari duduk manis pada singgasana, menyinari Tanah Inggris dengan kehangatan sinarnya yang terkadang terasa menyengat ketika di musim panas, telah tergantikan dengan bulan yang bersinar lembut. Walaupun hari telah menjadi gelap, aktivitas masyarakat di Kota London tidaklah berhenti begitu saja.Sebagian besar masyarakat yang merupakan bagian dari ‘Kelas Pekerja’ masih beraktivitas, dan sebagian lagi yang merupakan kaum bangsawan lebih memilih beristirahat di kediaman mereka yang super mewah. Beristirahat sembari menikmati makan malam yang mewah, kemudian dilanjut tidur di kasur yang empuk dan hangat.Termasuk Keluarga Wysteria yang saat ini sedang menikmati makan malam mereka. Berbagai menu makanan mewah tersedia di hadapan mereka yang berjumlah empat anggota keluarga. Dimulai dari daging steak yang berkualitas tinggi, olahan Jamur Truffle Putih yang pada saat ini harganya men
“Bisa-bisanya ketiduran tanpa mengerjakan tugas! Kalian mengira kasta kalian sedikit lebih tinggi dari kami karena menjadi anak angkat keluarga ini!?” seru seorang wanita tua berpakaian pelayan tajam. Menatap Lucy dan Lucian yang sedang menaiki tangga untuk membersihkan tempat lilin di sepanjang koridor rumah.“Hei, Underclass! Pokoknya, pagi ini 550 tempat lilin harus sudah digosok!” Satu orang pelayan lain menambahkan dengan nada mencemoohnya yang terdengar menjengkelkan bagi Lucian.“kami mau tidur dulu!” ujar si Wanita tua tersenyum meremehkan pada Lucy yang memasang wajah memelas. Dua pelayan ini kemudian pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang berkutat dengan tempat lilin.“Kalian tidur saja yang nyenyak, sana!” Suara seorang anak laki-laki terdengar dari gelapnya kegelapan lorong karena hampir semua lilin yang terpasang di setiap sisi tembok telah dimatikan apinya.Pelayan wanita tua yang terkejut lantas mengarahkan
Lumiere menatap bingung salah satu bangku yang biasanya diduduki oleh salah satu mahasiswa terpintar kini telah kosong. Padahal, mahasiswa tersebut tak pernah absen untuk mengikuti jadwal kelas profesor muda ini. Tentu saja hal ini mengundang pertanyaan di benak Lumiere.“Tumben sekali Darius tidak hadir,” ujar Lumiere menyebutkan nama mahasiswa tersebut, “Apakah dia sakit?”“Profesor,” panggil Vincent yang kembali mengikuti kelas Lumiere, “Aku mendapatkan kabar kalau semalam Darius kembali ke rumahnya sebentar karena ayahnya meninggal dunia.”“Maksudmu Baron Ellard?” Mahasiswa yang duduk bersebelahan dengan Vincent melontarkan pertanyaan, “Bukankah beliau sedang berada di Swiss untuk urusan bisnis?”Alis Lumiere terangkat sebelah, namun tidak sedikit pun ia bersuara untuk bergabung ke dalam obrolan tersebut.“Eh? Jadi maksudmu, Darius berbohong?” tanya Vincent.“Lalu, apa tujuan Darius terhadap kepergiannya semalam? Bukankah kelas
Kaki ramping Lumiere yang terbalut celana bahan berwarna hitam melangkah dengan anggun menyusuri deretan rak buku perpustakaan Universitas Durham. Mata biru langitnya menerawang setiap deretan judul buku. Lumiere membutuh waktu yang cukup lama untuk menemukan buku yang ia cari. Bukan tanpa alasan Lumiere mencarinya sendiri karena petugas perpustakaan sedang tidak ada di tempat. Alhasil, mau tidak mau Lumiere harus mencarinya sendiri. Buku tebal bersampul coklat. Terlihat usang di mata Lumiere namun, isinya sangat membantu proses investigasinya.Dari penjelasan Vincent saat istirahat tadi, ada lima dosen yang menjadi penyokong Anne Rovein untuk menjaga tempatnya agar tidak dilengserkan oleh siapa pun. Namun, hanya satu dosen saja yang berani melakukan pembunuhan ini. Bisa dapat Lumiere simpulkan bahwa, keempat dosen lainnya hanya melakukan manipulasi nilai terhadap Anne Rovein.Buku usang itu kemudian dibuka. Sang Profesor muda ini mulai membaca satu persatu kalimat dal
Semilir angin menghantarkan beberapa helai daun yang telah menguning, musim gugur telah tiba di London. Langit London pun yang semula gelap dengan perlahan memunculkan warnanya ketika sang Fajar dengan malu-malu keluar dari persembunyiannya. Pukul setengah lima pagi, angin pagi hari yang berembus dingin, menusuk sampai ke tulang bagi siapa pun yang beraktivitas di luar pada jam ini. Namun, seorang pemuda bertubuh mungil tampaknya tidak merasa kedinginan oleh sang Angin. Pemuda itu duduk di atas balkon lantai tiga yang membuatnya bisa melihat Kota London dengan leluasa. Di tangannya terdapat sebuah secarik kertas, bertuliskan bahwa sudah waktunya dia kembali beraksi. Wajahnya tanpa ekspresi pada saat membaca isi dari telegram tersebut. Walaupun begitu, matanya memancarkan binar kegembiraan yang tidak bisa ia pendam. “Tuan Archenar juga pasti mendapatkan ini, bukan?” Di sisi lain Kota London. Di sebuah penginapan yang seluruh sudut ruangannya masih gela
Lumiere menatap bingung pada Anne yang berdiri di hadapannya dengan senyuman manis yang mengembang. Bel bertanda kelas akan kembali dilaksanakan sudah sepuluh menit yang lalu berdering. Namun, sampai sekarang muridnya ini belum mengatakan sepatah kata pun tentang tujuannya menemui Lumiere.“Nona Rovein... jika tidak ada yang ingin dikatakan, bergegaslah bergabung dengan kelas Anda selanjutnya,” perintah Lumiere mulai merasa jengkel melihat tingkah murid Peringkat Pertama ini yang cukup membuang waktunya.“Profesor ...” Akhirnya Anne bersuara, memanggil Lumiere yang menaikkan sebelah alisnya sebagai respons. Memang terlihat tidak mencerminkan seorang pengajar atau pun wanita bangsawan. Tapi, ini adalah cara Lumiere menunjukkan emosinya kepada orang yang membuatnya jengkel, “... Profesor tahu apa yang Anda lakukan kemarin?”“Kemarin? Tentu saja saya tahu. Saya melakukan ujian mendadak yang selalu Saya lakukan di setiap kel
The 1st Rank Cursed Act 5Dor!Suara letusan senjata api terdengar nyaring karena sunyinya keadaan di sekitar mereka. Air wajah Albert menunjukkan emosi yang campur aduk. Dadanya naik turun, hembus nafas terlihat memburu hanya karena menembakkan satu peluru ke arah gadis cantik bersurai coklat madu.Mata hijau milik Albert kembali membulat begitu menyadari peluru yang ia tembakkan berakhir sia-sia. Lumiere berhasil menghindari peluru tersebut cukup gesit. Seakan-akan ia sudah memprediksi serangan tersebut.“Wah... wah ...” ujar Lumiere kembali menegakkan tubuhnya setelah membungkuk bak pemain film aksi hanya untuk menghindari tembakan, “Agresif juga ya? Sepertinya Vincent harus berterima kasih pada dosen favoritnya ini.”Tanpa bicara lagi, Albert kembali menembakkan pelurunya pada Lumiere. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga hal tersebut cukup membuat putri sulung Kelu