"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."
Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati.
"Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."
Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut.
"Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."
Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
"Grace, tunggu!"Kuhentikan langkah dan segera menoleh pada sumber suara. Lagi-lagi, wanita yang sama."Ada apa?""Bisakah kaupertimbangkan lagi tawaranku tempo hari?" tanyanya yang telah mendekat, sembari mengatur napas.Terang saja, bisa jadi dari ujung jalan ia membuntutiku sambil berlarian kecil."Ah, tidak, Deasy. Tak ada alasan bagiku untuk mempertimbangkannya. Masih banyak, kok, benih model yang lebih mumpuni.""Ayolah, Grace, kaki jenjang dan tulang selangkamu itu pasti akan sangat begitu menggoda."Kulangkahkan kaki hendak menjauhi, tapi tekad kembali membawanya berlarian kecil menyamakan langkah. Tingginya yang hanya sepertiga dari tinggi badanku, membuatku sedikit geli. Apalagi rambutnya yang kribo sering mengenai ujung lengan."Aku tak tertarik menjadi bagian dalam dunia entertain, Deasy.""Kau hanya perlu berpose, Grace, lalu pundi-pundi uang akan mengalir begitu saja mengisi hari-harimu."
"Rosalie monster!""Aku bukan monster!""Kau bahkan lebih buruk dari monster!""Kau jelmaan iblis!""Aku manusia biasa!""Lalu, sayap apa di belakangmu itu? Jika bukan manusia dan iblis, apa kau akan mengatakan bahwa kau adalah malaikat, huh?""Aku tak per--"Aw. Bau anyir menguar dalam sekejap, saat salah satu kawan panti mulai melempariku dengan berbagai benda padat. Lantas, mereka mulai berbaris sejajar untuk berpasang-pasangan. Menenggak gairah yang seharusnya tak disalurkan. Hampir saja, para kawan itu terserap habis energinya, saat seseorang memanggilku lembut."Rosalie ...."Mentari masih bersinar penuh malu, saat kubuka mata perlahan. Silaunya cahaya kembali mengingatkanku bahwa hidup harus terus berjalan. Mengabaikan tiap kenangan kelam yang selalu datang saat mataku tertutup rapat. Meski hendak kuakhiri hidup, tak akan ada yang terjadi. Semua luka perlahan membaik kembali dalam waktu yan
Untuk pertama kalinya, aku harus menghapus banyak rekaman dalam kurun waktu bersamaan. Beruntung beberapa toko dan rumah, penjaganya tak begitu memperhatikan hingga membantuku leluasa menyabotase hasil kamera pengintai. Sayanganya, dari beberapa rekaman, tak juga kutemukan di mana sosok ibu Rose berada.Saat urusanku dengan segala tetek bengek kamera pengintai usai, kuarahkan langkah ke sebuah kafe di seberang jalan. Gadis kecil itu masih setia menanti di depan toko mainan tempat di mana ia percaya, ibunya akan kembali menemui. Ada rasa haru yang merebak dalam dada, saat mengingat hidupku yang tanpa orang tua.Sebelum ke sini, ada keinginan untuk kembali mendekatinya, tapi urung kulakukan. Mengingat umur yang mungkin akan mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Lebih baik, aku tetap di sini. Mengamatinya dalam diam hingga sosok yang dipanggilnya ibu kembali menjemput pulang.Tak terasa, mentari kian beranjak naik. Kupesan lagi sebuah minuman din
Setelah puas mereguk banyak energi dari motel kelas menengah, lantas aku melangkah menuju apartemen. Dalam perjalanan pulang, aku baru ingat bahwa esok adalah bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Itu berarti besok waktunya untuk menyerap energi serta darah seorang pemuda hingga tak bersisa. Layaknya kawan lama seperti dahulu kala.Kuputar otak untuk mencari mangsa, setidaknya semoga esok akan ada pemuda yang mendekat. Pernah sekali kulewati bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Bukan tanpa sengaja, tapi karena kota baru yang kutempati tak memiliki cukup banyak pemuda. Membuatku tak leluasa memperdaya bahkan menculik salah satunya.Akibatnya, selama setahun penuh aku harus tinggal di dalam hutan, karena sayap dan ekor yang terus muncul dan tak mampu mengendalikan rasa lapar. Meskipun beberapa kali telah kucoba memangsa para pemuda setelahnya, masih saja tak mampu memberiku kendali penuh atas sayap dan ekor yang meruncing. Dalam setahun
Hidup di hutan selama satu tahun penuh memberiku banyak pelajaran. Tentang arti kelaparan yang sesungguhnya, atau selera makan yang mau tak mau harus berubah demi melanjutkan hidup. Yang jelas, tahun ini dan selanjutnya aku tak lagi ingin hidup dalam kungkungan rimba.Sepintas suara bariton itu kembali terngiang, seakan-akan memanggilku untuk mendekat."Hai, Grace!"Lekas kugerakkan tungkai kaki lebih cepat, berharap mampu menghindar sejauh mungkin. Agar suaranya tak lagi berputar dalam telinga, setidaknya biar kujauhkan diri dari segala bayang tentang pria yang baru kukenal."Grace, tunggu!"Kini suaranya kian jelas terdengar, seolah-olah ia benar-benar tak jauh dari tempatku berada. Lantas, kuhentikan langkah sekejap saat tiba-tiba sebuah telapak tangan meraih bahuku erat. Genggamannya terasa begitu kuat mencengkeram."Ini aku, Jonathan."Kuembuskan napas kasar, saat wajahnya telah berada tepat di hadapan. Sama persis de