Setelah puas mereguk banyak energi dari motel kelas menengah, lantas aku melangkah menuju apartemen. Dalam perjalanan pulang, aku baru ingat bahwa esok adalah bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Itu berarti besok waktunya untuk menyerap energi serta darah seorang pemuda hingga tak bersisa. Layaknya kawan lama seperti dahulu kala.
Kuputar otak untuk mencari mangsa, setidaknya semoga esok akan ada pemuda yang mendekat. Pernah sekali kulewati bulan purnama pertama selepas tanggal kelahiran. Bukan tanpa sengaja, tapi karena kota baru yang kutempati tak memiliki cukup banyak pemuda. Membuatku tak leluasa memperdaya bahkan menculik salah satunya.
Akibatnya, selama setahun penuh aku harus tinggal di dalam hutan, karena sayap dan ekor yang terus muncul dan tak mampu mengendalikan rasa lapar. Meskipun beberapa kali telah kucoba memangsa para pemuda setelahnya, masih saja tak mampu memberiku kendali penuh atas sayap dan ekor yang meruncing. Dalam setahun itu pula-lah, kembali kurasakan darah segar para hewan liar setelah hampir seabad lamanya, selepas ulang tahun ketujuh belas.
Sejak saat itu, aku tak lagi ingin mengabaikan perkataan Ibu yang datang lewat mimpi di hari pertama diri ini berubah. Pandanganku melayang jauh kala mengingat awal mula perubahan wujudku untuk pertama kali, lebih dari seabad yang lalu.
Pagi itu, sehari sebelum hari ulang tahunku, Bibi May memberi roti kering dan sup jagung untuk sarapan semua anak-anak panti. Tentunya satu porsi untuk tiap kepala. Namun, kali itu satu porsi terasa begitu sedikit bagiku. Tak ada rasa kenyang yang menjalar meski telah kuhabiskan hampir lima porsi sarapan.
“Bibi May, bisakah kauberi aku seporsi lagi? Aku masih terasa sangat lapar.”
“Maafkan aku, Rosalie, tapi yang kaumakan itulah porsi terakhir. Pergilah ke sekolah cepat, hari sudah mulai siang.”
“Tapi, Bibi May, aku masih lapar.”
“Kau sudah memakan lima porsi dan masih lapar?” Aku mengangguk, sedangkan Bibi May menggeleng sembari berdecak.
Terpaksa, pagi itu meski perut masih terasa belum terisi, aku tetap berangkat ke sekolah. Dengan langkah gontai, kususul beberapa kawan yang telah berjalan jauh di depan sana. Di sekolah, jangankan untuk berpikir. Bahkan untuk mendengar pun rasanya sudah terlalu susah untuk berkonsentrasi.
Saat jam makan siang tiba, dengan langkah tergesa kuderap langkah cepat menuju kantin sekolah. Berusaha mengantre dengan tertib agar segera mendapat seporsi makanan.
“Paman Ben, bisa beri aku porsi makan sedikit lebih banyak dari biasanya? Aku sangat lapar,” pintaku pada si juru masak sekolah.
“Tentu saja bisa,” ucapnya yang tersenyum ramah.
Dengan telaten, ia memberiku porsi makan sedikit lebih banyak, hingga menggunung. Kini, aku tak lagi merasa cemas kehabisan tenaga, beberapa teman melirik tak suka. Bahkan mengataiku sedemikian rupa karena porsi makan yang tak sesuai dengan tubuh.
“Aku yakin, kau tak akan menghabiskan makanan itu! Aku bahkan berani bertaruh!” Sontak semua yang mendengar celotehnya ikut mengiyakan, menertawakan.
Aku tak ingin menghabiskan sisa tenagaku hanya untuk mendebat mereka. Lekas kucari tempat duduk dan menyantap makanan hingga tandas. Masih merasa lapar,maka sekali lagi aku mengantre untuk mendapat makanan. Mengabaikan tatapan mereka yang heran nan tak percaya tentang porsi makan yang jauh berubah.
Sayangnya, tiba-tiba mataku berkunang dan hampir saja aku kehilangan kesadaran saat, Steve, guru bahasa dengan cekatan membopongku ke unit kesehatan sekolah. Sayup-sayup, terdengar pembicaraan keduanya meski mataku tak mampu lagi terbuka. Entah mengapa, hanya untuk membuka kelopak mata saja, rasanya begitu susah.
“Bagaimana, Dok?”
“Kondisinya lemah, terkesan pucat tanpa tenaga. Bahkan ia sampai kehilangan kesadaran. Ini kondisi serius, akan kupanggilkan ambulans untuk perawatan lebih optimal di rumah sakit terdekat.” Setelah itu, semua benar-benar gelap.
Kupicingkan mata saat cahaya mentari yang silau itu menerpa wajah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, nuansa putih dengan bau obat-obatan. Ini rumah sakit? Kualihkan pandangan pada samping kanan kasur, ada Bibi May yang tertidur pulas di lantai. Tiba-tiba saja hasrat buang air menyapa, lekas kuturuni kasur dari sisi kiri hingga slang infus terlepas.
“Aw! Sakit!” pekikku pelan.
Dengan cepat kujingkat kaki dan pergi ke luar dari kamar inap, berharap tak mengganggu kepulasan Bibi May. Hey! Aku tak selemas kemarin. Bahkan perutku terasa lebih kenyang meski tak makan. Aku mencoba mencari bilik kamar mandi terdekat, saat tiba-tiba aroma yang belum pernah kuhirup sepanjang hidup merebak masuk dalam indra penciuman.
Kuikuti ke mana bau itu membawa, hingga sampai di ujung lorong dengan pintu bertuliskan kamar mandi. Kuhentikan aksi untuk membuka daun pintu saat terdengar suara napas yang memburu dari baliknya. Kurapatkan telinga pada pintu, memastikan apa yang terdengar.
Benar saja! Desah dan erangan itu terdengar persis dari dalam bilik kamar mandi. Kini, perutku terasa kenyang seketika.
Saat itulah aku tahu satu hal, makanan manusia bukan lagi asupan bagi tubuhku. Melainkan energi positif dari kegiatan asusila sepasang manusia yang tengah asyik mereguk rasa bersamalah yang mampu mengenyangkan.Namun, bagaimana caraku untuk memenuhi asupan setiap harinya? Haruskah aku mencari pasangan yang tengah mereguk rasa dan diam-diam menyerap energi bejat mereka?
Sore harinya, dokter telah memperbolehkanku untuk pulang, mengingat kondisi yang kian membaik. Di panti, semua berjalan normal seperti biasa. Bahkan pesta telah disiapkan meski tak begitu meriah. Sebuah kue hias kecil dan berbagai balon warna-warni, serta aunan lagu telah menyambut kedatanganku.
“Selamat ulang tahun!” seru David padaku.
Awalnya semua tampak biasa saja dan berjalan sesuai rencana Bibi May dan kawan-kawan, sayangnya itu tak berlangsung lama. David, ia mengajakku pergi ke halaman belakang berdua.
“Kau sudah dewasa, Rosalie, akan kutuntun kau untuk sebuah kenikmatan,” ucapnya.
“Maksudmu apa, Dav?” tanyaku malu-malu.
David memanglah salah satu kawan pria idaman. Beberapa kawan mengaku telah menerima segala perlakuan lembutnya untuk memanjakan wanita, kecuali aku yang memang masih dipandang sebelah mata karena usia yang masih belum dianggap dewasa. Dengan cepat, ia merengkuhku begitu erat. Bibirnya dengan rakus melumat tiap jengkal leher jenjang, lalu beralih pada bibir mungilku.
Perlahan, tapi pasti kuikuti kemauan David. Selain itu, perutku seakan terus terisi hingga benar-benar kenyang, membuatku sedikit merintih karena sakit tak terkira mulai terasa di punggung. Semakin lama energi David kian terserap banyak olehku, membuat tubuhku kian terasa penuh dengan energi.
Tiba-tiba saja, kulit punggungku terasa dibelah sedemikian rupa. Aku memekik dalam rakusnya lumatan, tapi sama sekali tak menghentikan aktivitas dengan David. Aku ingin lebih! Masih kuserap semua energi yang diberi David, hingga terdengar sebuah kepakan sayap yang menggema hebat. Sontak, kubuka mata hingga membeliak saat terlihat kondisi David yang terlihat sangat buruk. Ia tampak kurus kering, hanya serupa belulang terbalut kulit, lantas terkulai di tanah.
Sementara itu, dari pantulan kaca di rumah panti, terlihat wujud baruku yang mencengangkan. Beberapa suara derap langkah terdengar kian mendekat, membuatku takut ketahuan. Lekas kuderap langkah tergesa sembari berharap, semoga David baik-baik saja dan sayap ini pergi dengan cepat.
“Siapa aku sebenarnya?”
Ini ceritanya, si Grace lagi nostalgia, Ges. Namanya seabad yang lalu itu Rosalie.
Hidup di hutan selama satu tahun penuh memberiku banyak pelajaran. Tentang arti kelaparan yang sesungguhnya, atau selera makan yang mau tak mau harus berubah demi melanjutkan hidup. Yang jelas, tahun ini dan selanjutnya aku tak lagi ingin hidup dalam kungkungan rimba.Sepintas suara bariton itu kembali terngiang, seakan-akan memanggilku untuk mendekat."Hai, Grace!"Lekas kugerakkan tungkai kaki lebih cepat, berharap mampu menghindar sejauh mungkin. Agar suaranya tak lagi berputar dalam telinga, setidaknya biar kujauhkan diri dari segala bayang tentang pria yang baru kukenal."Grace, tunggu!"Kini suaranya kian jelas terdengar, seolah-olah ia benar-benar tak jauh dari tempatku berada. Lantas, kuhentikan langkah sekejap saat tiba-tiba sebuah telapak tangan meraih bahuku erat. Genggamannya terasa begitu kuat mencengkeram."Ini aku, Jonathan."Kuembuskan napas kasar, saat wajahnya telah berada tepat di hadapan. Sama persis de
"Grace!"Kualihkan pandangan pada sumber suara. Di sana, Jo tampak berdiri mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah dengan deru napas yang seolah-olah tengah memburu, menahan amarah. Kudorong pria bertubuh tambun itu menjauh agar terlepas dari kungkungannya. Meski energi gairahnya masih kuisap perlahan. Meski akulah yang memancingnya sedari awal.Jo mulai melangkah, mendekati kami yang sedari tadi telah sibuk mengulur gairah dalam keremangan pagi. Dalam sekian detik, ia melayangkan bogem mentah pada si tua keladi. Tubuh tambunnya meringkuk di tanah, darah segar mengalir dari kedua lubang pernapasan."Kurang ajar!""Kau yang tak tahu diri, Pak Tua!"Otot-otot dari lengan Jonathan yang kekar tampak menegang. Telunjuknya yang mengacung pun terlihat gagah."Siapa kau hingga berani memukulku?" tanya si Tua Keladi yang bangkit sembari membetulkan ikat pinggang.Entah mengapa aku tertawa. Sepertinya akan ada drama kolosal yan
Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan."Kau marah padaku?"Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?Argh! Aku tak peduli."Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku t
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.Jonathan! Pria ini membuatku gila!Tok! Tok! Tok!Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli."Permisi, Nona."Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa."Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."A-apa? Persetan!Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu