Jam sudah menunjuk ke angka tujuh waktu setempat, saat aku dan Jonathan telah kembali ke kafe miliknya. Setengah jam lagi matahari akan terbenam, sedangkan aku belum juga mendapat alasan untuk mengajaknya pergi hingga tengah malam.
Dua gelas smoothie buah telah tandas, saat kupikirkan berbagai alasan. Sayangnya, Jonathan bukan pria sembarang yang mampu kuajak bersenang-senang. Padahal, aku tahu betul, pagi buta tadi ia menatapku penuh minat. Ke mana tatapan penuh pujanya tadi?
"Apa lagi yang kaupikirkan, Grace?"
Aku membuang muka, menatap ke luar jendela saat suara bariton itu kembali terdengar. Enggan menjawab, aku hanya menggeleng pelan.
"Kau marah padaku?"
Hei, untuk apa aku marah? Untuk gairah yang hanya kau tarik ulur? Atau karena pengakuanku atas kepemilikan pagi tadi hanya sebatas teman? Atau karena ada rasa tak biasa yang tercipta di dada?
Argh! Aku tak peduli.
"Bukan inginku untuk menolak, Grace. Hanya saja, aku tak terbiasa keluar hingga larut malam bersama seorang gadis."
Aku mengernyit, lantas menyilangkan tangan di dada. Tunggu, jadi maksudnya ia tak pernah pergi dengan gadis hingga larut malam?
"Aku terbiasa bekerja, Grace, bahkan sejak masih usia dini. Itulah mengapa, aku bisa jauh lebih sukses di usia muda. Kau tak tahu 'kan berapa usia bos muda sepertiku?"
Dari bayangannya di jendela kaca, aku bisa melihat mimik wajahnya yang kocak. Senyum disemat, dengan kedua alis yang dinaikturunkan. Sayangnya, aku tak ingin tertawa. Jika ia lepas, lalu siapa mangsaku nanti?
Aku berdiri hendak beranjak dari kafe besar milik Jonathan, saat tangannya menggenggam lenganku erat. Anehnya, pandangannya tak teralihkan. Ia tetap melihat pada arah yang sama di mana aku duduk sebelumnya.
"Kau mau ke mana?"
"Aku hanya ingin pulang. Aku lelah. Jika kau berubah pikiran, hubungi saja aku."
Kuempas tangannya kuat, lalu segera berlalu dari sana. Aku tak ingin membuang waktu dengan berlama-lama mencari alasan. Bukankah lebih baik aku mencari mangsa baru? Jika saja ia nanti berubah pikiran, mudah saja bagiku melepas salah satunya.
Dalam perjalanan pulang, beberapa pemuda yang kutemui tampak bersiul hendak menggoda. Terang saja, kusambut godaan mereka dengan senyuman panas. Beberapa dari mereka berani menyapa, sedangkan yang lain hanya mengedipkan sebelah mata. Mungkin, mereka berharap akulah yang akan mengejar.
Mudah saja bagiku untuk mendapat target mangsa yang baru. Matahari belum terbenam saat kudapatkan dua pemuda yang bersedia menemaniku hingga tengah malam nanti. Meski harus mengorbankan sedikit ulah yang membakar gairah, setidaknya aku punya persembahan demi wujudku satu tahun ke depan.
Aku sudah sampai di apartemen saat matahari telah sepenuhnya kembali ke peraduan. Berganti dengan temaram sinar rembulan yang cantik bak penguasa malam. Jika saja bintang-bintang itu bisa terlihat lebih besar, mungkin keindahan bulan pun akan tergantikan.
Sama halnya denganku yang lebih cantik nan menggoda daripada manusia pada umumnya. Selain bentuk badan yang tak pernah berubah, pengalaman yang banyak membuatku mampu mencapai segalanya dengan mudah. Terlebih mengenai tatacara menjerat pria hidung belang.
Kubuka seluruh pakaian yang sedari tadi menemani berkeliling kota. Tiba-tiba saja tercium aroma minyak wangi yang menyegarkan. Lantas, kuedarkan mata ke segala penjuru ruangan setelah membuang baju atasan sembarang.
Tak ada siapa pun selain diriku di sini. Lalu wangi parfum siapa tadi?
Sontak saja, aku teringat kejadian tadi di bus tingkat tanpa atap. Lekas kuderap langkah kembali ke kamar dan menciumi baju atasan yang baru saja kutanggalkan. Rupanya benar dugaanku barusan. Wangi ini adalah sisa air atar milik Jonathan.
Lihat! Kenapa aku jadi gila sekarang? Hanya karena wewangiannya yang menempel kuat pada baju, aku jadi kembali mengingatnya sedemikian rupa. Ah, bukan. Pasti bukan karena minyak wanginya, tapi apa?
Segera kutanggalkan pakaian yang tersisa, lantas masuk ke bilik pemandian. Kubuka keran untuk mengisi bak mandi. Mungkin dengan berendam, aku bisa sedikit rileks dan melupakan kejadian akhir-akhir ini. Sayangnya, meski telah berendam air panas, kilas kejadian tadi kembali hadir tanpa diminta.
"Kenapa pake baju minim gini? Nggak dingin apa?"
Aku yang masih asyik menikmati semilir angin, lantas terganggu dengan pertanyaannya. Bukankah para pria itu suka melihat wanita-wanita cantik dengan pakaian minimnya?
Aku menghela napas panjang, lalu menoleh ke arahnya. Wajah rupawan ya tampak diperam tanya. Alisnya hampir bertaut pertanda heran tengah melanda. Sementara aku, masih enggan menguntai kata.
Kami masih saling berhadapan, saat ia menaikturunkan kedua alisnya dengan cepat. Sebenarnya aku ingin tertawa, tetapi entah apa yang membuatku menahannya setengah mati. Lama ia bersikap demikian, hingga akhirnya menyerah karena tak mendapat tanggapan.
"Kau! Kenapa susah sekali membuatmu tertawa?!"
Kuulas senyum saat melihatnya frustasi: menyugar rambut cepaknya beberapa kali, llau mengusap hidung yang tak gatal. Kemudian, saat melihatku tersenyum, ia ikut menarik simpul pada kedua sudut bibirnya.
"Kau memang wanita misterius. Digoda tak tertawa, aku berhenti malah tersenyum."
Aku masih mendengar gumamannya, ketika kuncir rambutku terbuka. Sontak saja, ribuan helai rambutku diterbangkan angin yang disibak oleh bus bertingkat ini.
Hendak kusisihkan anak rambut yang menghalangi pandangan, saat Jonathan terlihat tengah membungkuk. Mungkin barangnya terjatuh. Lantas ia berdiri dan berlalu.
Sementara itu, tak berselang lama, kurasakan sebuah sentuhan pada kulit kepala. Lantas rambutku tersugar hingga ke belakang, kemudian diikat entah dengan apa.
Aku mendongak, mencari tahu siapa yang mau bersusah payah mengikatkan rambutku saat bus masih berjalan. Ditambah lagi, angin yang menerbangkan mereka tak akan mau mengalah. Rupanya, sosok yang baru kukenal kemarinlah dalang dibalik semuanya.
Tanpa sadar, kutatap wajahnya yang memang menawan. Dari sudut pandang inilah, baru kusadari bahwa wajahnya memang paripurna. Tak ada celah sedikit pun di sana. Terlebih, mimik wajahnya yang tampak antusias kian membuatku berbunga tanpa sebab.
Tiba-tiba saja ia menatapku lekat, kemudian menyimpul senyum yang tak kupahami maknanya. Cepat kualihkan pandangan karena malu telah tertangkap basah mengamati wajah Jonathan. Lantas, tanpa aba-aba sebuah jaket denim yang tadi kulihat dipakai oleh calon mangsaku itu telah berpindah haluan.
Hendak kubuka jaket yang disampirkannya pada bahu, saat dicengkeramnya lengan ini. "Pake aja, aku nggak mau temen baruku ini masuk angin."
Aku tersipu, sungguh. Lalu kubuang muka pada jalanan yang padat merayap. Sepagi ini, telah kudapatkan perlakuan manis dari sosok yang akan kusesap darahnya hingga tak bersisa. Mampukah aku menjadikannya tumbal tahunan?
Tidak! Tidak!
"Kenapa?" tanya Jonathan. Ia meraih bahuku, mengguncangnya pelan.
"Eng-enggak, aku nggak papa."
"Wajahmu memerah?"
Sontak kututup wajah dengan kedua tangan, berharap warna jambon pada kedua pipi seperti yang dikatakan Jonathan lekas menghilang. Sementara itu, ia malah terbahak. Ia memegangi perutnya yang mungkin ikut terguncang akibat tawa yang membahana.
"Tak bisakah kau pelankan suaramu, Jo? Lihatlah, mereka semua tengah memandang kita!"
Aku mengernyit heran. Apa yang kiranya membuat pria itu tertawa lepas tanpa beban. Padahal, kupikir tak ada yang kocak.
"Rupanya, wanita yang susah tersenyum pun bisa tersipu malu."
Mendengar jawabannya aku kembali membuang muka, tetapi tanpa sadar senyum hadir menghias wajah. Itu terlihat jelas saat sebuah truk tengah membawa cermin melintas sejajar. Hei, kenapa aku tersenyum?
"Kau masih malu?"
Aku menoleh padanya sembari mencebik. "Tidak! Jangan bicara padaku jika kau hanya ingin menggoda!"
Kulipat kedua tangan di dada, kemudian menatap jalanan yang mulai lengang. Kulirik penunjuk waktu yang melingkari tangan. Rupanya sudah waktunya jam kerja, pantas jalanan kembali sepi.
"Jadi, kau tak suka jika digoda pria sepertiku? Kau lebih suka digoda pria dengan ...."
Demi mendapat kalimat yang digantung Jonathan, aku menoleh padanya. Ia memposisikan badannya bersandar pada bahu kursi, lantas kedua tangannya membentuk setengah lingkaran di perut. Kemudian, disibaknya rambut ke belakang, dan mulai memonyongkan mulut.
"Sialan!"
Jonathan kembali terbahak saat umpatan itu terucap. Kupukul pahanya keras, lantas mencubitnya karena geram. Di sela tawanya ia mengaduh kesakitan, tetapi aku tak peduli. Bisa-bisanya ia mengingatkanku pada pria tua keladi pagi buta tadi.
"Oke-oke, sorry." Kulepas cubitan di pahanya, lalu kembali melipat tangan di dada.
Sementara Jonathan, ia menyilangkan kaki kanannya pada sisi yang lain. Terlihat, sepatunya tak dilengkapi temali. Aku mengernyit, lalu mengintip sepatu yang lain. Lengkap. Ke mana tali sepatu satunya?
"Kenapa?" tanyanya.
"Ke mana tali sepatumu yang ini?" Kutunjuk sepatunya dengan dagu, lantas menatapnya penuh tanya.
Ia tersenyum lebar. Sejak kapan ia kehilangan salah satu tali sepatunya?
"Kau ingin tau?"
Aku mengangguk antusias, kemudian ia mendekat, mencondongkan dirinya hingga jarak kami terpangkas. Aku terkesiap saat deru napasnya begitu dekat. Ada irama jantung yang tak biasa. Semoga ia tak mendengar degup dalam dada.
"Buat nguncir rambutmu ini," bisiknya pelan.
Glodak! Bang Jo ruek, bikin meleleh iya, bikin kesel juga iya! Selamat berbucin ria, Kawan. Salam Hisap 💚
"Gila! Kau sudah gila, Grace!"Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.Sial!Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumul
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.Jonathan! Pria ini membuatku gila!Tok! Tok! Tok!Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli."Permisi, Nona."Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa."Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."A-apa? Persetan!Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu
"Apalagi yang akan kaujelaskan, Iblis?!"Aku terperangah. Bukan karena kemarahannya, tetapi karena sadar siapa diri ini sebenarnya. Kutelan air liur dengan susah payah saat moncong senjatanya kian dekat hingga tak berjarak dengan pelipis. Jika Jonathan benar-benar menembak, aku tak tahu masih mampukah diri ini selamat dari maut."Jo, ini bukan keinginanku.""Lalu kaukira menjadi yatim piatu adalah keinginanku, Grace?!"Kedua mata Jonathan membeliak. Masing-masing bola matanya seakan-akan memerah, mungkin menahan amarah."Tapi, aku yakin tak ada ya--""Tak ada saksi mata?" Lantas, tawanya menggema memenuhi ruang. Diraihnya bingkai foto yang kugenggam, lalu membelainya perlahan. "Kau ingin menghabisi kami sekeluarga, tapi malam itu, bukan anak mereka yang kau habisi. Melainkan teman yang sedang bermalam denganku."Aku tak terkejut dengan penuturannya. Memang, pagi buta dua puluh tahun silam itu menyisakan sedikit tan
"Kita bisa pergi berdua, Cloud!""Apa maksudmu?"Lekas kudekati ia dan membisikkan banyak kalimat tak terduga. Perlahan, kurasa ia mengangguk. Entah paham atau hanya sekadar respon atas apa yang kukatakan.Seusainya pembeberan rencana, dengan cepat kupeluk ia erat. Setidaknya, untuk beberapa tahun ke depan aku masih punya seseorang untuk kembali pulang. Meski bukan ibu kandung, tetapi Cloud memberi banyak hal layaknya seorang ibu pada anaknya."Idemu boleh juga. Tapi, bagaimana selanjutnya?""Kau tak perlu khawatir, Cloud. Kau tahu, 'kan, aku ini cerdik?" tanyaku sembari menjentikkan jemari hingga berbunyi.Cloud tersenyum lebar. Ada gurat yang tak bisa kuartikan. Juga binar pada kedua matanya yang kian berkaca-kaca.Sama sepertiku, Cloud pasti juga merindu. Tak akan ada orang tua yang rela dipisahkan begitu lama dengan sang anak. Bahkan, untuk mengetahui kabar mereka pun, Cloud
Prang!Keramik yang katanya berseni tinggi itu hancur, lebur bersama dengan amarah yang meninggi tanpa dihibur. Kepakan sayapku dalam apartemen membuat banyak barang pecah belah tak lagi berarti.Bak dikurung, diri ini hanya mampu mengepak di dalam sangkar emas. Ke luar pun sudah pasti akan banyak saksi mata. Dunia tak lagi kerdil, sedangkan aku makin terkucil.Ingin kubentang sayap selebar mungkin, lantas mengepaknya ke arah pepohonan rimbun demi menyaksikan ombak dedaunan yang menyejukkan. Sayang, di mana pun kini banyak mata elang yang mampu mencapai pelosok sekalipun.Terlebih dengan ribuan cahaya lampu, kamera pengintai yang juga digunakan untuk keamanan dan kepentingan para penghuni rimba, tentu saja berdampak dengan kebebasanku sendiri.Napasku terengah saat teringat kembali akan pesan yang ditinggalkan Jonathan pada salah satu gambar yang tercetak. Jean? Kenapa nama itu selalu disebut oleh Jo?Lantas, aku teringat satu ha