"Gila! Kau sudah gila, Grace!"
Aku berteriak, membanting pintu, mengacak semua benda yang terlihat. Bodoh, aku sungguh bodoh!
Bisa-bisanya kulepaskan tiga pemuda yang dengan sukarela memberikan segalanya untukku, hanya karena bayang Jonathan yang terus hadir. Bahkan, melihat wajah para laki-laki muda itu saja, seolah-olah tengah melihat pria yang menguncirkan rambutku dengan tali sepatunya!
Jam sudah hampir menunjuk ke angka dua belas, saat tubuhku terasa begitu remuk redam. Inilah mulanya. Jika aku tetap di sini, bisa jadi aku akan berakhir mengenaskan. Antara menjadi objek penelitian manusia serakah atau hidup di hutan untuk waktu yang lama.
Sial!
Kuraih tas jinjing serta mantel untuk menutupi bagian belakang tubuh. Perlahan, punggungku akan melebar bak bahu kekar lelaki pada umumnya. Belum lagi, jika rambutku berubah layaknya kobaran api yang tak akan padam.
Aku hanya punya waktu sejam, untuk menyelesaikan apa yang telah kumulai. Gilanya, aku telah berjanji pada sebuah delusi!
Kulangkahkan kaki tergesa, menuju ke pinggiran kota. Ah, tidak, aku harus pergi sejauh mungkin dari kota.
Aku hanya perlu mencari mangsa di jalanan: menghentikannya di bahu jalan, membuang memori dalam kamera dashboardnya, lalu membawanya ke tempat di mana ia tak akan pernah ditemukan untuk kuhisap darahnya hingga tak bersisa.
Kali ini, aku akan menggunakan mobil mewah untuk menarik perhatian para pelaku kejahatan. Dengan begini, janjiku di masa lalu juga tak akan merasa dikhianati.
Kereta besi dengan empat roda itu mengkilat diterpa cahaya lampu. Jika saja aku tak sedang menyembunyikan wajah, akan kugunakan semua fasilitas kemewahan ini untuk bersenang-senang.
Terang saja para masyarakat awam tahu betul siapa yang kaya dan miskin, rupanya dalam diam mereka mengambil gambar. Tentu saja mereka melakukannya untuk kepentingan pribadi. Selain untuk lebih menamatkan wajah agar bisa menyapa di lain kesempatan, bisa jadi mereka juga setengah memata-matai.
Maklum, kehidupan pribadi para bangsawan sering dipertanyakan. Apalagi, wanita muda tanpa keluarga sepertiku akan sangat dicurigai. Mana mungkin mampu menghasilkan banyak pundi-pundi yang layaknya air terjun. Mengalir deras tanpa batas.
Aku masih menyetir, membelah jalanan yang sepi saat teringat kejadian di salah satu vila milikku. Salah satu dari pria muda lainnya bertanya tentang malam yang panjang.
"Jadi, kita akan bersenang-senang bersama? Berempat?"
Aku tersenyum menanggapi pertanyaan salah satunya. Ya, mereka kuajak untuk datang ke vilaku tak jauh dari pusat kota. Di sini, akan menjadi ladang terakhir ketiganya.
Aku bangkit, meraih sebotol anggur dari meja. Kuambilkan pula tiga gelas wine yang berdiameter lima senti.
Kini, aroma lezatnya gairah serta bau darah begitu kentara meski belum kumulai. Wanginya bercampur menjadi satu bersama dengan bau wine yang menggoda.
Kulangkahkan kaki jenjangku ke arah mereka dengan gemulai, mencoba menarik minat ketiganya secara bersamaan. Terdengar siulan mulai menggema, tanda mereka menikmati sajian yang kuberikan.
Aku duduk di tengah mereka, berlaku layaknya babu yang memuja tuannya. Kutuang wine pada masing-masing gelas, lalu menyuapi mereka bergantian.
Beginilah sisi lain hidupku yang bisa dikatakan sama dengan penjaja gairah. Sayangnya, mereka benar-benar menuntaskannya, sedangkan aku, untuk disentuh lebih jauh pun tak sudi rasanya.
Segelas wine berusia dua puluh tahun membuat para pria muda itu kian panas. Salah satunya, mulai memegang tengkuk dan menuntunku mendekat.
Hingga jarak terkikis, kami masih saling pandang. Lekat. Sampai sosok yang pernah menyebut nama Jean hadir di antara kami.
Aku terkejut, lalu mendorong dada pria muda yang akan jadi mangsa menjauh. Bukan inginku, tetapi hanya karena sosok Jo yang tiba-tiba muncul.
"Kukira kita akan bersenang-senang," kata pria muda itu. Terlihat jelas ia tengah kecewa.
"Ma-maaf. Mungkin aku sedang mabuk. Saat akan menerimamu, ada sosok yang hadir di antara kita."
Para pria muda tadi saling berpandangan, lantas bergidik ngeri dengan mengedikkan bahu. "Kau menakuti kami?"
"Kau mau main-main?"
Kuhela napas panjang. Tak mungkin rasanya untuk menjelaskan apa yang sedang kurasa. Namun juga tak mungkin bila aku harus rela kehilangan mereka. Bukan karena cinta dan nafsu semata, melainkan untuk masa depanku juga.
Mereka ragu untuk sekadar mendekat. Salah satunya mulai berbisik, entah memprovokasi apa. Yang jelas, mereka mulai menjaga jarak.
Demi mendapat kembali mangsaku yang hampir lepas, segera kubuka baju pelan. Bagaimanapun juga, aku akan membuat mereka tetap di sini sampai nanti.
"Ini dia pertunjukannya."
Suara sorak sorai terdengar lantang, lalu siulan kembali memenuhi ruang. Mereka memutar musik, lalu aku mulai menari. Tanpa sadar ketiganya pun mulai menggoyangkan badan, mengikuti irama yang berdendang.
Kami masih asyik menari dengan riang saat bayang Jonathan kembali menyapa dari sudut ruangan. Aku tak ingin peduli, jadi kuabaikan tangannya yang memanggil.
Ia masih di sana, melihat kami yang mulai dimabuk gelora. Ia bersandar pada lemari tempat ratusan buku berjajar rapi.
Satu per satu pria muda itu mulai bermain-main atas tubuh yang tak lagi terbalut sehelai benang. Jemari mereka kian menari-nari tanpa kesopanan. Bersamaan dengan itu, kuhirup pula gairah yang menguar pekat.
Hingga akhirnya sosok Jonathan telah hilang dari pandangan. Ia tak lagi berada di sudut ruangan. Namun, saat hendak kualihkan pandang, tiba-tiba ia berada di hadapan.
"Kaugila, huh?! Untuk apa kemari? Bukannya kau tak terbiasa keluar hingga larut malam dengan seorang gadis? Lantas untuk apa mengikutiku sampai ke sini?"
Ia yang kumaki hanya menyimpul senyum, sedangkan tiga pria muda lainnya tampak diperam tanya. Satu per satu dari mereka mulai meraih pakaian yang ditanggalkan dan mengenakannya kembali.
"Mau ke mana kalian?" tanyaku sembari menahan mereka.
Jika kuterkam mereka sekarang, maka tak ada gunanya. Lalu, aku harus bagaimana?
"Kaugila, Nona, jadi aku tak ingin bermain-main denganmu."
Mereka telah menggunakan Hoodie dan jaket masing-masing, lalu mulai ke luar dari villa. Meninggalkanku yang telah terbuka tanpa sehelai benang, bak daging busuk yang tak pernah diinginkan manusia. Sialan!
Tiba-tiba saja, amarahku memuncak. Tanganku mengepal, sedangkan kedua mataku memicing demi mengumpulkan kekuatan.
"Jujur saja, kau menyukaiku, 'kan?"
Kualihkan pandang pada sosok Jonathan, lalu berusaha menangkapnya dengan sayap yang membentang. Ia menghindar, cepat. Tak ingin kalah, kuserang ia dengan kedua sayap. Aku akan benar-benar menjadikanmu mangsaku kali ini, Jo!
"Kau tak akan mampu membunuhku, Grace!"
"Jangan mencoba menghinaku!"
"Panggil aku: Sayang, Grace!"
"Kau gila, huh?!"
Kubanting setir saat kembali mengingat pertanyaan bayangan Jonathan. Benarkah aku mulai menyukainya?
Aku menggeleng, lalu tiba-tiba terdengar ketukan pada jendela mobil. Kubuka kacanya pelan hingga tampaklah sosok pria berhidung bangir. Ah, inilah mangsaku malam ini.
"Kau tak apa, Nona?"
Aku menggeleng sembari menunjukkan wajah mengiba. Setidaknya ini mungkin berhasil untuk menahannya di sini selama sepuluh menit terkahir.
"Kau kesakitan? Terluka?"
Aku mengangguk. Tepat saat ia menelepon unit gawat darurat, kutiup wajahnya pelan. Ia menatapku lekat, kemudian terlelap.
Nah, jika ia tertidur, tentu akan lebih mudah bagiku untu mendapatkan darahnya secara percuma.Grace mah gitu. Suka malu-malu ngakuin. Panteslah, dia kan udah luamaaa bener Gaes nggak pernah cinta-cintaan. Kalah sama anak SD jaman now yang udah manggil ayah-bunda. Ehh. Salam Hisap 💚
Kulirik jam tangan yang menunjukkan waktu terakhirku menjaga keliaran. Masih ada seperempat jam agar aku bisa menghisap darahnya hingga tak bersisa. Ya, setidaknya aku harus bertindak cepat.Hampir saja kuhisap darahnya dari leher, saat bayangan Jonathan kembali hadir tepat di sampingku. Aku mendongak, mencoba menanyakan apa inginnya."Kaulupa dengan komitmenmu sendiri? Bukankah kau tak akan membunuh manusia tak berdosa? Atau aku salah telah mempercayaimu?"Aku tergemap. Lantas, menggeleng kuat. Tanganku makin tak terkendali bahkan untuk sekadar memegang setir mobil.Perkataan Cloud seabad silam, ditambah dengan pengulangan janji Jonathan beberapa saat yang lalu membuatku putus asa. Ini sudah hampir tengah malam!Aku tak ingin berada di dalam hutan untuk kedua kalinya. Tak ada siapa pun bahkan sesuatu untuk kupermainkan di sana.Lantas, lintas kejadian mengenai janji terhadap delusi akan sosok Jonathan kembali hinggap. Sesaat set
Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat lan
Hampir sepekan aku harus bolak-balik ke kantor polisi pascakecelakaan. Seminggu pula aku tak lagi bertemu Jonathan. Entah orangnya atau bahkan bayangnya.Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman. Seolah-olah tengah gelisah, mencemaskan sesuatu yang tak kumengerti asalnya. Rasanya, ada yang tak beres dengan pikiranku."Aku sudah lelah, Pak, bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau aku dirampok? Kau bahkan sudah menginterogasi korban pria itu juga, 'kan?"Aku melipat tangan di dada, mendengkus sembari melirik ke arah jendela. Lalu berusaha menggosok talapak tangan bersamaan. Udara makin dingin tanda salju akan turun, meski tak tahu kapan tepatnya."Memang. Hanya saja, pria itu juga tak mengingat apa pun selain saat melihatmu menggigil di bahu jalan. Lagipula, jika memang dirampok, kenapa mobilmu tak hilang?""Kau sudah menanyakan itu ratusan kali, Pak! Aku sudah bosan menjawabnya. Kali ini adalah jawabanku yang terakhir, ok?"Kulihat
Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.Jonathan! Pria ini membuatku gila!Tok! Tok! Tok!Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli."Permisi, Nona."Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa."Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."A-apa? Persetan!Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu
"Apalagi yang akan kaujelaskan, Iblis?!"Aku terperangah. Bukan karena kemarahannya, tetapi karena sadar siapa diri ini sebenarnya. Kutelan air liur dengan susah payah saat moncong senjatanya kian dekat hingga tak berjarak dengan pelipis. Jika Jonathan benar-benar menembak, aku tak tahu masih mampukah diri ini selamat dari maut."Jo, ini bukan keinginanku.""Lalu kaukira menjadi yatim piatu adalah keinginanku, Grace?!"Kedua mata Jonathan membeliak. Masing-masing bola matanya seakan-akan memerah, mungkin menahan amarah."Tapi, aku yakin tak ada ya--""Tak ada saksi mata?" Lantas, tawanya menggema memenuhi ruang. Diraihnya bingkai foto yang kugenggam, lalu membelainya perlahan. "Kau ingin menghabisi kami sekeluarga, tapi malam itu, bukan anak mereka yang kau habisi. Melainkan teman yang sedang bermalam denganku."Aku tak terkejut dengan penuturannya. Memang, pagi buta dua puluh tahun silam itu menyisakan sedikit tan
"Kita bisa pergi berdua, Cloud!""Apa maksudmu?"Lekas kudekati ia dan membisikkan banyak kalimat tak terduga. Perlahan, kurasa ia mengangguk. Entah paham atau hanya sekadar respon atas apa yang kukatakan.Seusainya pembeberan rencana, dengan cepat kupeluk ia erat. Setidaknya, untuk beberapa tahun ke depan aku masih punya seseorang untuk kembali pulang. Meski bukan ibu kandung, tetapi Cloud memberi banyak hal layaknya seorang ibu pada anaknya."Idemu boleh juga. Tapi, bagaimana selanjutnya?""Kau tak perlu khawatir, Cloud. Kau tahu, 'kan, aku ini cerdik?" tanyaku sembari menjentikkan jemari hingga berbunyi.Cloud tersenyum lebar. Ada gurat yang tak bisa kuartikan. Juga binar pada kedua matanya yang kian berkaca-kaca.Sama sepertiku, Cloud pasti juga merindu. Tak akan ada orang tua yang rela dipisahkan begitu lama dengan sang anak. Bahkan, untuk mengetahui kabar mereka pun, Cloud
Prang!Keramik yang katanya berseni tinggi itu hancur, lebur bersama dengan amarah yang meninggi tanpa dihibur. Kepakan sayapku dalam apartemen membuat banyak barang pecah belah tak lagi berarti.Bak dikurung, diri ini hanya mampu mengepak di dalam sangkar emas. Ke luar pun sudah pasti akan banyak saksi mata. Dunia tak lagi kerdil, sedangkan aku makin terkucil.Ingin kubentang sayap selebar mungkin, lantas mengepaknya ke arah pepohonan rimbun demi menyaksikan ombak dedaunan yang menyejukkan. Sayang, di mana pun kini banyak mata elang yang mampu mencapai pelosok sekalipun.Terlebih dengan ribuan cahaya lampu, kamera pengintai yang juga digunakan untuk keamanan dan kepentingan para penghuni rimba, tentu saja berdampak dengan kebebasanku sendiri.Napasku terengah saat teringat kembali akan pesan yang ditinggalkan Jonathan pada salah satu gambar yang tercetak. Jean? Kenapa nama itu selalu disebut oleh Jo?Lantas, aku teringat satu ha
"Grace! Jauhi Jonathan!" Aku yang terkejut mendapati bayangan Ibu ada di depan mata pun terjengkang ke belakang. "Ini bukan ancaman atau sebagainya. Tapi, kau boleh menganggap ini sebuah peringatan! Akan ada bahaya yang mengancam!"Aku mengernyit heran, sedetik kemudian bayangan Ibu telah lesap terbawa angin malam. Napasku masih terengah, terlebih bayang perempuan yang melahirkan ku itu datang dengan rupa yang menyeramkan. Lebih menakutkan dari yang pernah kubayangkan."Ha-halo?"Aku mengerjap-ngerjap saat tersadar sosok dari balik telepon memanggil, menanti jawab. "Ya, ada apa?"Kutamatkan suaranya, lalu kembali menatap layar ponsel, mengingat-ingat kapan kali terkahir kuberikan nomor ponsel pada lain orang."Grace Houghlin?" Aku mengangguk, meski tahu ia tak akan mampu melihatku. "Aku mendapat nomormu dari Mea. Katan