Aku mondar-mandir di depan ruangan kepala kafe. Ketukanku sama sekali tak digubris, meski beberapa pengunjung saling berbisik sembari melirik ke arahku.
Jonathan! Pria ini membuatku gila!
Tok! Tok! Tok!
Telepon pada meja bar terdengar menggema kali ini. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan amat lambat. Aku tak lagi peduli.
"Permisi, Nona."
Kugigit kuku jemari yang mengepal dan menyangga dagu. Rasanya, ada sesuatu yang buruk. Atau, lebih dari itu. Namun, jika memang Jonathan tahu siapa diri ini, kenapa ia tak melapor pada pihak berwajib?
Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa pada lengan. Aku semringah, mengharapkan pemilik manik hazel yang menyapa.
"Maaf, Nona, Tuan Deers tak ingin menemuimu. Kau bisa datang lagi jika sudah membuat janji."
A-apa? Persetan!
Kuhela napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah. Lalu
Hai, haloo. Yuk kasih tau Otor gimana kelanjutan cerita ini menurut kalian. Kali aja bisa kuikuti maunya kelean. Wkwkwk. Hayo, penasaran kan? Kan? Kan? Ikuti Grace terus, ya. Salam hisap 💚
"Apalagi yang akan kaujelaskan, Iblis?!"Aku terperangah. Bukan karena kemarahannya, tetapi karena sadar siapa diri ini sebenarnya. Kutelan air liur dengan susah payah saat moncong senjatanya kian dekat hingga tak berjarak dengan pelipis. Jika Jonathan benar-benar menembak, aku tak tahu masih mampukah diri ini selamat dari maut."Jo, ini bukan keinginanku.""Lalu kaukira menjadi yatim piatu adalah keinginanku, Grace?!"Kedua mata Jonathan membeliak. Masing-masing bola matanya seakan-akan memerah, mungkin menahan amarah."Tapi, aku yakin tak ada ya--""Tak ada saksi mata?" Lantas, tawanya menggema memenuhi ruang. Diraihnya bingkai foto yang kugenggam, lalu membelainya perlahan. "Kau ingin menghabisi kami sekeluarga, tapi malam itu, bukan anak mereka yang kau habisi. Melainkan teman yang sedang bermalam denganku."Aku tak terkejut dengan penuturannya. Memang, pagi buta dua puluh tahun silam itu menyisakan sedikit tan
"Kita bisa pergi berdua, Cloud!""Apa maksudmu?"Lekas kudekati ia dan membisikkan banyak kalimat tak terduga. Perlahan, kurasa ia mengangguk. Entah paham atau hanya sekadar respon atas apa yang kukatakan.Seusainya pembeberan rencana, dengan cepat kupeluk ia erat. Setidaknya, untuk beberapa tahun ke depan aku masih punya seseorang untuk kembali pulang. Meski bukan ibu kandung, tetapi Cloud memberi banyak hal layaknya seorang ibu pada anaknya."Idemu boleh juga. Tapi, bagaimana selanjutnya?""Kau tak perlu khawatir, Cloud. Kau tahu, 'kan, aku ini cerdik?" tanyaku sembari menjentikkan jemari hingga berbunyi.Cloud tersenyum lebar. Ada gurat yang tak bisa kuartikan. Juga binar pada kedua matanya yang kian berkaca-kaca.Sama sepertiku, Cloud pasti juga merindu. Tak akan ada orang tua yang rela dipisahkan begitu lama dengan sang anak. Bahkan, untuk mengetahui kabar mereka pun, Cloud
Prang!Keramik yang katanya berseni tinggi itu hancur, lebur bersama dengan amarah yang meninggi tanpa dihibur. Kepakan sayapku dalam apartemen membuat banyak barang pecah belah tak lagi berarti.Bak dikurung, diri ini hanya mampu mengepak di dalam sangkar emas. Ke luar pun sudah pasti akan banyak saksi mata. Dunia tak lagi kerdil, sedangkan aku makin terkucil.Ingin kubentang sayap selebar mungkin, lantas mengepaknya ke arah pepohonan rimbun demi menyaksikan ombak dedaunan yang menyejukkan. Sayang, di mana pun kini banyak mata elang yang mampu mencapai pelosok sekalipun.Terlebih dengan ribuan cahaya lampu, kamera pengintai yang juga digunakan untuk keamanan dan kepentingan para penghuni rimba, tentu saja berdampak dengan kebebasanku sendiri.Napasku terengah saat teringat kembali akan pesan yang ditinggalkan Jonathan pada salah satu gambar yang tercetak. Jean? Kenapa nama itu selalu disebut oleh Jo?Lantas, aku teringat satu ha
"Grace! Jauhi Jonathan!" Aku yang terkejut mendapati bayangan Ibu ada di depan mata pun terjengkang ke belakang. "Ini bukan ancaman atau sebagainya. Tapi, kau boleh menganggap ini sebuah peringatan! Akan ada bahaya yang mengancam!"Aku mengernyit heran, sedetik kemudian bayangan Ibu telah lesap terbawa angin malam. Napasku masih terengah, terlebih bayang perempuan yang melahirkan ku itu datang dengan rupa yang menyeramkan. Lebih menakutkan dari yang pernah kubayangkan."Ha-halo?"Aku mengerjap-ngerjap saat tersadar sosok dari balik telepon memanggil, menanti jawab. "Ya, ada apa?"Kutamatkan suaranya, lalu kembali menatap layar ponsel, mengingat-ingat kapan kali terkahir kuberikan nomor ponsel pada lain orang."Grace Houghlin?" Aku mengangguk, meski tahu ia tak akan mampu melihatku. "Aku mendapat nomormu dari Mea. Katan
"Tunggu!"Pergelangan tanganku dicekal, ditahan sebelum bisa masuk ke gedung Daily News. Kau mengernyit, menatapnya lekat-lekat. Kutamatkan pandangan pada wajahnya yang tampak tak asing, meski lupa di mana mengenalnya."Kau tak ingat?" Kedua alisnya bertaut, lalu kedua sudut bibirnya menyimpul senyum. "Kau putus asa juga?"Aku terperangah, lalu mengangguk pelan. "Kamu?"Hampir saja aku tersenyum, jika saja tak mengingat kejadian lebih dari sepekan yang lalu. Dia mengenaliku!"Ah, maksudku kamu siapa?"Senyum pada wajahnya hirap seketika setelah mendengar pertanyaanku. Ya, begitulah seharusnya.
Dari jarak kurang lebih 130 kaki, aku masih mampu melihat senyum yang terpancar dari raut Jonathan untuk perempuan itu. Mungkin dialah pemilik nama Jean. Nama yang membuat jantungku berdetak tak keruan.Aku masih menatap keduanya, menikmati hunjaman pada dada akibat senyum yang terpatri pada pahatan wajah Jonathan di seberang jalan. Sedikit lagi, aku bisa melihat sosok Jean jika saja pria bermata hazel itu tak mengajaknya berbincang terus menerus.Sementara tatapanku masih awas, terdengar suara dentingan yang terasa begitu dekat. Lekas, kutatap sumber suara. Dio rupanya.Astaga! Aku sampai lupa padanya!"Ada apa?""Kau juga kesepian?"Aku mencebik, lantas meneguk air mineral dalam gelas hingga tandas. "Aku hanya butuh air. Kurang konsentrasi."
"Aku tak percaya! Kau hanya main-main, 'kan?" Dio menatapku tajam. Lantas berjalan menuju ke arah belakang tubuhku. Secara langsung, entah bagaimana caranya ia sampai bisa menyentuh pada kedua sisi punggung. Mungkin menjingkatkan kaki. "Di sini, titik tumpu kedua sayapmu." Aku terdiam. Bahkan, bukan hanya terkejut, tapi semua gerakanku seolah-olah terpaku akan kemampuannya yang bisa tahu sedetil itu. "Ka-kau benar-benar tau?" "Dengarkan aku, Rosalie. Hmm ... maksudku, Grace." Ia telah berdiri di depanku, dengan gaya yang sama seperti sebelumnya di kafe. Gayanya yang bagaikan orang dewasa, memang membuatku sangsi sedari tadi. "Kau tau, terkadang ada hal-hal yang memang terjadi di luar jangkauan dan kendali k
Kuedarkan pandang, mencari sosok yang kata Dio adalah pemilik aroma anyir nan lezat. Namun, sejauh mata memandang tak kudapati pria bermata hazel itu di sekitar. "Siapa yang kau cari?" Fokusku buyar saat mendengar pertanyaan Frederick. "Sorry, kupikir tadi ada yang memanggilku." Frederick menautkan alisnya, lantas turut memandang sekitar. Mungkin, ikut mencari. "Memangnya siapa namamu?" "Grace," ujarku sembari mengulurkan tangan kanan. "Cantik." Tak kuhiraukan pujian Frederick, saat aroma itu kembali semerbak. Kembali kuhirup dalam-dalam demi memuaskan hati mengenai ingin yang tertunda. Sekali lagi, kuedarkan pandang, mencari orang yang berdarah, atau mungkin yang terluka.