"Jadi, kau adalah Dio Rene Junior?"
Kulihat, Dio tak terkejut. Sebaliknya, ia tampak mengulas senyum. Entah mengapa, tiba-tiba saja perasaanku jadi tak enak.
"Ya, Grace. Terima kasih telah menjadi malaikat di saat yang tepat."
Malaikat katanya? Anganku melayang pada kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat menumukan Tonia Rene tengah terkapar bersimbah darah di pinggir jalan. Di tengah-tengah hutan lindung.
"To-long!"
Aku yang baru saja membuang jasad pemuda yang telah kuteguk habis darahnya demi terkendalinya iblis yang bersemayam dalam tubuh pun terkejut saat mendengar erangan wanita. Hampir saja aku pergi, jika ia tak mengancam.
"Jika aku selamat, aku akan melaporkanmu pada polisi!"
Bukan ancamannya
Dio pinter bener ya bikin orang gelagapan. Wkwkwk.
Sudah lebih dari dua hari Jonathan dirawat secara intensif di rumah sakit ternama tengah kota. Sudah selama itu pula ia mengunci bahasa, enggan menimpali tanya atau bahkan untuk sekadar mendengar informasi dariku untuk sekejap. Ia bersikukuh dengan komitmen yang dikatakan sejak tahu siapa diri ini sebenarnya.Meski begitu, aku tak bisa melepasnya begitu saja. Aku yang sudah memutuskan untuk membantunya, memberinya kesempatan hidup kali kedua, harus membuatnya percaya bahwa Jean yang ditemui akhir-akhir ini bukanlah sosok yang sebenarnya."Kau tau, Jo, Jean yang asli bahkan enggan menemuimu sebelumnya!"Tak ada gurat keterkejutan pada wajahnya yang pucat bak tanpa aliran darah. Begitu pula gestur tubuhnya yang sama sekali enggan memberi respon saat kusentuh bahunya yang kekar."Terserah jika
"Kali ini kau harus mempercayaiku, Jo! Aku memang tak tahu banyak tentang dunia lain yang ditinggali para iblis. Hanya saja, jika kau sudah pernah melihat wujudku, bukankah harusnya kau lebih percaya bahwa para iblis itu memang diciptakan di dunia yang sama?" Sembari mondar-mandir, sekali lagi kuyakinkan pada pria yang tengah berbaring di brankar tentang Jean yang ditemui adalah bukan yang sebenarnya. Melainkan seorang iblis yang tengah menyamar. "Aku percaya." Sontak saja, aku terperangah. Secepat inikah ia percaya? Ma-maksudku, bukankah pagi tadi ia belum mau bicara padaku? "A-apa? Kau percaya padaku?" tanyaku, memastikan. Ia menoleh, lalu menatapku tajam. "Aku hanya percaya pada pernyataanmu mengenai iblis yang diciptakan di dunia yang sama. Bukan padamu." Ah, tentu saja. Aku yang hampir membunuhnya, mana mungkin dipercayai begitu saja. "Setida
"Brenda? Kenapa kau kemari?"Matanya ... terpancar warna kemerahan di balik pekatnya gulita. Ia benar-benar iblis itu. Pantas saja aku tak mendapatinya masuk. Kemungkinan besar, ia dalam wujud yang berbeda saat datang."Oh, halo, Jean. Kita bertemu lagi! Aku tadi ... anu, cuma mau mastiin kalo itu kau dan Jonathan.""Ah, iya. Ini kami. Lalu kau mau apa?" tanya Jean yang melipat tangan di dada. Ia tampak terganggu."Bisa kita berbincang sebentar?"Iblis itu menoleh ke belakang sebentar, kulihat tak ada respon dari Jonathan. "By the way, aku lagi sibuk. Maksudku, Jonathan menungguku. Kau tau betul, 'kan, apa maksudku?""Ah, iya benar. Tapi, kupikir ini lebih penting!""Kau bisa tinggalkan nomor telepon, Brenda, biar kuhubungi setelah urusanku selesai, oke?" Ia mencoba memberi jalan ke luar dan mengulurkan ponsel ke
Pandanganku gelap, tak ada setitik cahaya pun yang terlihat. Kuraba-raba area sekitar, tetapi tak ada apa pun yang dapat menuntun demi mencari penerangan."Jo?"Aku tergemap lantaran suara yang ke luar menggema berulang-ulang. Untuk kali kedua aku tergemap, karena nama yang pertama kali kucari adalah Jonathan. Namun kulupakan itu barang sejenak sembari berpikir, di mana ini sebenarnya?Sekali lagi, kuraba-raba sisi bagian yang lain. Berharap menemukan sesuatu untuk menuntun langkah yang tertatih. Sesekali, ujung kakiku terantuk. Terkadang pada benda yang padat, tapi lebih sering pada sesuatu yang halus nan lembut.Perlahan kulihat cahaya yang datang dari jauh. Seperti de javu, tapi aku tak yakin ada hal seperti itu.Kupicingkan mata, lantas terbelalak saat sadar cahaya apa yang mendekat. Aku mengenalinya, tahu betul sosok yang kini tengah membulatkan kedua mata merah dengan rambu
"Apa? Enggak!"Kedua mata Jonathan melotot penuh amarah. Ia bangkit dari sofa, lalu menatap ke arah luar jendela."Dengar, Jo, kita semua dalam bahaya! Sing--""Kau siapa? Bocah sepertimu mana tahu ada bahaya apa? Aku melihatnya sendiri, ia lebur bersama angin yang berembus!"Aku dan Jean saling berpandangan, entah apa yang ada dalam pikirannya. Hanya saja, sorot matanya tampak ketakutan. Ya, apalagi setelah Dio menceritakan banyak kemungkinan tentang sang iblis yang hendak membalas dendam."Aku memang bocah, tapi kau pun tak lebih baik pula sikapnya dariku."Dio mulai lagi. Ia juga enggan merendah. Kedua tangannya masuk ke dalam saku masing-masing sisi celana."Nggak usah banyak bicara! Pergi dari sini!"Pria bermata hazel itu habis kesabaran. Dengan kasar, ia mendekati Dio dan menarik kerah bagian belakang. Menyeret
Kuderap langkah tergesa ke arah apartemen, mengabaikan sekian banyak kejadian yang memperumit. Sebelumnya, bahkan aku tak pernah mau ikut campur urusan orang lain.Aku masih tak habis pikir, kenapa takdir mempermainkan iblis selucu ini? Rahasia apa lagi yang nantinya akan jadi takdirku?Banyak pikiran yang membuatku merasa kian runyam. Terlebih, saat salah satu orang yang mungkin kupercayai memberi informasi mustahil. Apa katanya tadi? Reinkarnasi?Jika semua orang bisa hidup lagi, lalu kenapa orang-orang lain tak mengenaliku? Bukankah wajahku tak berubah sedikit pun?Aku menggeleng cepat, mengenyahkan banyak ribuan cabang tanya yang menuntut jawab. Namun, semakin kucoba, kian pusing pula rasanya.Di kamar, cepat kurebahkan diri pada sofa dudukan tiga. Berharap, semua hanya mimpi belaka. Lekas bangun, setidaknya lupakan semua kejadian yang ada.Mengenai Jo, J
"Kau bahkan tak tahu? Devil Hunter itu ayahmu!"Aku mengernyit, lantas mengalihkan pandang pada laut lepas. Ada banyak tanya yang kini menuntut jawab. "Maksudmu apa? Dua kesatuan, Devil Hunter, ayah, apa lagi nanti?"Enggan rasanya melihatnya lagi. Bukan karena apa, hanya saja aku tak ingin percaya meski pernyataannya mengusik."Kupikir, kau lebih tau segalanya. Nyatanya, tentang keluargamu saja kau tak tau apa pun."Apa katanya? Keluarga? "Diam sajalah.""Kenapa tak kau tanyakan saja padaku? Aku tau segalanya, Brenda. Tentang ibu, ayah, bahkan dunia sebelum bergantung pada alat-alat canggih.""Aku tak tertarik. Kau bisa membunuhku sekarang atau melepasmu begitu saja.""Lantas, mengapa kau mencoba menghentikanku tempo hari, huh?!"Kedua tangannya telah mencengkeram leherku dengan kuat. Sesaat ada rasa panas menjalar p
"Kau yang memanggilku?" Suara berat itu terdengar menakutkan, apalagi saat moncong senjatanya menarget kepala. Aku mengangguk sembari mencoba berbalik. "Ja-jadi, kau adalah pemburu iblis?" "Dan kau adalah iblis!" Mendengar pernyataannya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Entah apa yang akan dilakukannya pada diri ini. Padahal, ia mengungkapkan fakta itu dengan nada suara datar. Namun, terasa begitu mengintimidasi. "Kau benar." Aku memejamkan mata saat bunyi pelatuk ditekan kembali terdengar. Namun, bukannya suara letusan senjata tajam yang kudengar. Melainkan tawa yang menggelitik. Lekas kualihkan pandang ke arah belakang, melihat siapa sosok di balik pemburu iblis. Terlihat jelas seorang pria dengan iris mata kebiruan. Hidungnya yang mancung kian membuatku mengernyit heran. Wajahnya hampir mirip den