Share

Perasaan Asing

Pagi telah datang. Seperti biasa, saat ini Erina tengah menyiapkan sarapan. Apron merah muda bertengger ditubuh mungilnya. Ia berusaha menjadi istri yang baik dan membuktikan pada siapa pun jika dirinya bisa bersanding dengan most wanted sekolah.

Aroma masakan menggugah selera membangunkan sang suami. Perlahan Dimas bangun lalu membersihkan dirinya. Setelah selesai dengan ritual paginya, ia pun keluar dengan wangi mint menguar. Seketika bau tersebut membuat Erina terpana. Ia tahu pemuda itu sudah berada dekat dengannya.

"Selamat pagi, Dimas. Ayo sarapan dulu" ajaknya seraya menoleh ke belakang, di mana sang suami berdiri tepat di depan meja makan lengkap dengan seragam sekolahnya.

Dimas pun mengangguk seraya tersenyum. Kemudian netranya memandangi makanan lezat tersaji di sana. Tidak lama kemudian ia duduk di salah satu kursi kosong dan mulai menikmati sarapan.

"Bagaimana rasanya?" tanya Erina penasaran dan mendudukan dirinya di depan sang suami.

Dimas mengalihkan tatapannya ke arah Erina seraya menjawab, "emm, lumayan. Kamu sudah pandai memasak ternyata," jawabnya.

Mendengar pujian darinya membuat hati Erina berbunga-bunga. Ini pertama kalinya Dimas memberikan pendapat untuk masakannya. "Terima kasih, aku senang mendengarnya. Nah kalau begitu aku siapkan bekalmu, yah." Ucapnya seraya tersenyum lalu kembali berkutat dengan kesibukannya.

35 menit berlalu, setelah sarapan bersama mereka bersiap pergi ke sekolah. Tidak seperi kemarin, kini pasangan muda itu tengah bergandengan tangan keluar apartemen. Namun, keduanya harus berpisah di depan gedung dan berjalan masing-masing seperti tidak mengenal satu sama lain.

"Sampai jumpa di sekolah." Ucap Dimas sebelum keluar dari gedung apartemen.

Cup!!

Ia juga memberikan kecupan ringan di dahi sang istri. Seketika pipi putih Erina merona. Ia belum terbiasa dengan perlakuan hangat dari suaminya, meskipun mereka sudah sah sebagai pasangan suami istri. Setelah itu Dimas pun pergi terlebih dahulu.

"Aku benar-benar tidak mengerti dirinya" gumam Erina seraya memegang dahinya dan memandangi sosok Dimas.

***

Setibanya di sekolah, Rahel dibuat bingung dengan sang sahabat. Dari tadi gadis itu senyum-senyum sendiri tidak jelas membuatnya khawatir. Kerutan demi kerutan kening terlihat saat netranya memandangi Erina. Tidak biasanya ia bersikap seperti itu, pikirnya.

"Belakangan ini aku lihat-lihat perilakumu aneh sekali, Erina." Ujarnya seketika mengejutkan. Erina langsung tersadar dan memandangi sahabatnya.

"Hah? Aneh bagaimana? A...aku biasa saja." Balasnya gugup.

"Hah~" helaan napas terdengar berat, "kamu saja yang merasa begitu, tapi aku yang melihatnya terganggu. Kamu gila yah, Erina. Kemarin datang terlambat tidak seperti biasanya. Yah, ku akui meskipun kamu terkenal brutal, tapi setidaknya tidak pernah kesiangan ke sekolah. Dan sekarang kamu datang dengan muka berseri-seri." Rahel semakin menyudutkan.

Sekarang menelan ludah pun terasa susah bagi Erina. Ternyata tanpa ia sadari selama ini Rahel selalu mengamatinya diam-diam. Ia pun memutuskan pandangannya.

"Hhh, hahaha mungkin moodku saja yang sering berubah-ubah. Maaf, kamu malu yah punya sahabat sepertiku?" Balas Erina seraya mengerucutkan bibirnya.

"Yah aku malu. Jika ada sesuatu bilang padaku, jangan menyimpannya sendirian. Aku khawatir tahu."

Erina kembali tersenyum hangat dan memandanginya. "Jangan senyum-senyum seperti itu bodoh" sahut Rahel lagi.

"Rahellll. Aku menyayangimu." Erina pun memeluk sahabatnya erat, membuat perhatian seisi kelas tertuju pada mereka.

"Pagi-pagi sudah mesra-mesraan"

"Hm, dasar cewek"

Itulah celotehan para siswa melihat teman sekelasnya.

***

Istirahat tengah berlangsung, Dimas yang di bekali bekal oleh sang istri kini mulai menikmatinya. Tentu hal tersebut membuat perhatian para siswi tertuju padanya. Tak terkecuali Reina. Sedari mengeluarkan kotak bekal dalam tasnya gadis itu sudah memperhatikannya. Tidak lama beselang ia pun berjalan mendekati Dimas.

"Bekal makan siang? Siapa yang menyiapkannya?" tanya Reina penasaran.

Sadar jika tengah di awasi oleh teman gadis di kelasnya Dimas pun menatap kesekitaran dan berakhir dikedua mata keabuan Reina yang tengah berdiri di hadapannya. Senyum canggung pun terulas diwajah tampannya. Ia pun mencoba bersikap biasa.

"Ah, ini aku membelinya di jalan." Kilahnya.

"Hoiii, Dimas. Eh, bekal makan siang? Tidak biasanya, aku minta yah." Ilham yang baru datang mendekatinya dengan tidak tahu malu mencomot makanan sang sahabat. Dimas pun seketika melebarkan matanya, tercengang.

Setelah mendapatkan makanannya, pemuda itu pun langsung melarikan diri. "Hei, itu milikku" Dimas beranjak dari bangkunya lalu berjalan ke arah Ilham yang tengah berada di depan kelas tanpa menghiraukan tatapan Reina.

"Buatan diakah? Uuhhh pasangan yang serasi" bisik Ilham menggoda.

"Bodoh, diam kau!" sentak Dimas.

Reina yang tengah memandangi mereka hanya mengrenyitkan dahi, "sebenarnya apa yang kalian berdua lakukan?" tuturnya berjalan ke arah kedua pemuda tersebut.

"Eh, Reina. Ayo temani aku beli makan" tanpa permisi Ilham membawanya pergi meninggalkan Dimas.

Sepeninggalan mereka, Dimas pun bisa bebas memakan bekalnya tanpa pertanyaan yang bisa menyudutkannya lagi. Meskipun pandangan dari gadis di kelasnya masih mengintimidasi.

"Ini enak. Aku belum pernah membawa bekal ke sekolah sebelumnya. Terima kasih, Erina." Batinnya.

***

Pelajaran olahraga tengah berlangsung. Kali ini kelas XII-IPS 3 bergabung dengan XII-IPA 1. Kedua kelas tersebut kini berkumpul di aula. Para siswa tengah bermain basket. Sedangkan para siswi melakukan olahraga lain. Ada yang bermain tenis, badminton, lari dan lain sebagainya. Namun, ada juga yang hanya duduk-duduk saja melihat pertandingan basket.

Terdengar riuh sekali dibangku penonton saat Dimas si siswa pintar tengah memasukan bola ke dalam ranjang. Pesonanya terpancar saat memainkan bola dengan lihainya. Aura ketampanan pun memancar menguar dalam dirinya mengundang perhatian sekitar.

"Kkkkyyyyaaaa, Dimas keren sekali"

"Aku beruntung sekali melihatnya"

"Eum, untung saja kelas kita bisa olahraga bersama kelas IPA 1"

Terdengar teriakan heboh para gadis yang sibuk melihat pemuda tersebut. Tidak peduli dengan kelasnya, para gadis itu tetep bersorak untuk Dimas. Sedangkan di sisi lapangan, Erina yang tengah istirahat dari bermain voly melihat betapa luar biasanya permainan sang suami.

Tanpa sadar senyum pun mengembang diwajah ayunya.

"Tidak hanya pintar dia juga jago dalam olahraga. Sungguh suami idaman. Jadi, apa aku gadis beruntung itu? Hahaha kamu mikir apa? Sudahlah." Batinnya heboh sendiri.

Sesi istirahat pun tengah berlangsung. Gadis yang pernah berada di masa lalunya berjalan ke tengah lapangan memberikan handuk kecil dan sebotol air mineral pada Dimas. Tentu saja hal tersebut membuat perhatian semua orang di aula tertuju pada mereka. Termasuk Erina.

"Permainan yang bagus, ini minumlah" ucap Reina seraya memberikan 2 benda yang dibawanya.

Dimas pun menerimanya begitu saja "eum, terima kasih" balasnya lalu menegak air mineral itu.

Dari arah lain Erina yang melihat adegan tersebut pun seketika merasakan perasaan asing dalam hatinya. Ia tidak suka saat gadis itu memberikan perhatian pada suaminya. Siapa sebenarnya Reina? Keduanya terlihat akrab satu sama lain. Pikirnya.

"Aku tidak suka melihatnya. Seharusnya aku yang memberikan itu, tapi apa boleh buat status kami harus tetap di rahasiakan sebelum kelulusan tiba." Batinnya lagi. Dan tatapan itu tidak lepas dari Dimas yang tengah duduk di bangku pemain. Bersama Reina.

"Ada hubungan apa ya kira-kira Dimas dengan gadis baru itu?" Seketika pertanyaan Rahel mengangetkannya. Gadis itu tiba-tiba saja duduk di sampingnya seperti hantu tidak terdeteksi hawa keberadaannya.

"Kamu mengagetkan saja. Hah~ mungkin gadis itu seseorang yang ia kenal dari dulu." Balas Erina tanpa sadar.

"Ehh, apa yang aku katakan?" batinnya, panik.

"Mungkin juga. Yah, kitakan tidak tahu masa lalu orang lain." Lanjut Rahel kemudian menekankan kemungkinan.

Erina tersadar dengan pembicaraannya sendiri. Ia pun kembali melihat Dimas dengan Rahel. Seketika pandangannya teralih pada jari manis pemuda itu. Sebuah cincin melingkar indah di sana. Seulas senyum pun hadir begitu saja. Setidaknya masih ada hal yang membuatnya senang. Yah, pernikahan mereka. Hal itulah yang membuktikan jika Dimas sudah menjadi miliknya.

"Aku pikir dia melepasnya."

***

"Aku penasaran dengan sesuatu. Boleh aku bertanya?" Ucap Reina kemudian.

"Penasaran kenapa?" tanya balik Dimas lalu kembali menegak air minerlanya.

"Cincin yang melingkar di jarimu, itu_"

Bbrruusshh!! Pemuda itu kembali menyemburkan air minum dari mulutnya saat mendengar penuturan Reina. Ia baru sadar jika cincin pernikahannya selalu melekat di jari manisnya.

"Kamu jorok sekali." Kesal Reina.

"Maaf, maaf." Sesalnya seraya mengusap dagunya yang basah.

"Jadi cincin itu?" tunjuk Reina pada tangan kanannya lagi.

"Ahh ini pemberian dari ibuku. Tidak ada yang perlu di pikirkan, sudah yah aku harus kembali ke lapangan" balas Dimas kemudian pergi dari hadapan Reina. Tidak sengaja iris coklatnya menatap ke samping, di mana Erina tengah menatap ke arahnya.

Tatapan mereka bertemu. Sedetik kemudian keduanya berpaling ke arah lain untuk menghindar dari kecurigaan. Namun, senyum bertengger diwajah masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status