Share

Bab 1

PERMULAAN

Kata orang, tetesan air hujan yang turun pertama kali membasahi tanah di bumi merupakan air mata yang diteteskan oleh Dewi di langit. Hujan yang identik dengan awan yang menggelap menjadi penggambaran rasa hati yang dipendam oleh sang Dewi. Ketika sang Dewi bersedih, maka para peri akan setia mengelilingi hingga sang Dewi kembali ceria. Namun apakah sama jika sang Dewi memilih untuk turun ke bumi dan menjalani kehidupannya sebagai kaum hawa. Tentu para peri takkan bisa mendampingi sang Dewi saat berada di tanah bumi. Keberadaan mereka rentan akan hawa nafsu manusia yang bisa membinasakan kaumnya. 

Sang Dewi yang memilih untuk turun ke bumi dan mengejar cintanya harus rela hidup seperti layaknya orang biasa. Tanpa keistimewaan, tanpa sanjungan, tanpa hiburan. Hanya kecantikan paras wajahnya-lah yang ia bawa hingga menjadi manusia. Akan tetapi hal itulah yang membuatnya terperangkap. Nafsu manusia yang terkadang tak terkendali menjebaknya hingga ia harus memilih dua kehidupan yang berat. Sampai pada saat itu sang Dewi takkan pernah bahagia hingga ia dapat menemukan cinta sejatinya. 

...

Seorang lelaki berbadan besar nampak menyandarkan punggungnya pada rongga pintu. Iris abu-abu matanya memandang tajam wanita yang kini duduk bersimpuh dibawahnya. Tak ada suara, hanya keheningan yang menemani suara rintik gerimis yang jatuh membentuk jarum kecil dari langit. Lelaki itu bersedekap, napasnya yang kasar terdengar tak bersahabat ditelinga siapapun yang mendengarnya. 

“Celeste, kau hanya memiliki dua pilihan yang harus kau pilih.” Ujar lelaki itu dengan nada dingin. 

“Arion, Aku tak bisa melakukannya. Bagaimana bisa kau memintaku untuk membunuh mereka?” wanita itu menangis tersedu. Hatinya sakit ketika mendengar kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir sang kakak. Padahal ia merindukan suara berat itu melebihi apapun. Namun semua rindunya seakan kandas seiring dengan kata-kata yang dilontarkan pria itu untuknya.

 

“Memilih untuk mati dan membiarkan mereka terlantar, atau kau bunuh mereka dan kembali bersamaku.” Arion menegakkan tubuhnya. Nada bicaranya yang mengancam mampu menyiutkan nyali siapa saja yang mendengarnya. Ditambah sepasang mata abu-abu itu nampak menusuk tajam menatap adik perempuannya. 

Arion berjalan mendekati Celeste dan berjongkok didepan wanita itu. Keduanya memang memiliki rupa yang menawan. Baik Celeste maupun Arion sama-sama terlahir di waktu yang sama. Namun biar pun begitu, Arion dan Celeste tak memiliki kesamaan fisik. Hanya sepasang mata abu-abu milik mereka saja yang mampu mengingatkan keduanya bahwa mereka adalah saudara. 

“Celeste, aku tak mau kehilanganmu. Ibunda takkan pernah memaafkanku jika sampai terjadi sesuatu padamu.”

Celeste menghapus air matanya kasar. Mendengar nama wanita yang telah melahirkannya disebut, emosi dalam jiwanya seakan bangkit. Jadi, wanita itu yang meminta kakaknya datang dan memaksanya untuk menjadi pembunuh. 

Tidak.

Sampai kapanpun ia takkan sudi melakukannya. 

Ia tak mau menjadi pembunuh sekalipun  nyawanya sebagai taruhannya. Celeste takkan sudi membunuh bagian dari dirinya. Kedua nyawa itu harus tetap hidup dalam dirinya, suka atau tidak. 

“Aku takkan pernah mau melakukannya. Takkan pernah.” Ucapnya dengan penuh penekanan diakhir. Mata abu-abu yang serupa dengan lelaki itu nampak memancarkan aura kelam. Tak lama setelah ia mengucapkan kalimat itu, terdengar suara petir yang menggelegar. Arion hanya bisa menutup matanya, merasakan kemarahan saudara perempuannya itu. 

“Kau takkan pernah tahu apa yang akan terjadi. Kau bukan Tuhan, Celeste!” Hardik Arion dengan tegas. Lelaki itu bangun dan berdiri dengan frustasi. Rambut keperakkan miliknya menjadi sasaran pelampiasannya. Tangan-tangan besarnya menarik kasar helaian perak itu hingga terdengar hembusan napasnya yang kasar. 

“Coba kau lihat, dimana laki-laki sialan itu? Dia bahkan tak mau menunjukkan batang hidungnya dihadapanku.”

Celeste tersenyum getir. Disaat seperti ini, tentu ia hanya akan menghalau kemarahan kakaknya sendirian. Pria itu mana mau berdiri disampingnya, memberinya dukungan layaknya pasangan normal lainnya. Pria itu hanya ingin menanamkan benih lalu setelah itu pergi. Celeste tahu apa yang ada dalam benak pria itu. Aliran darah yang mengalir dalam tubuhnya memiliki daya magis yang bisa membuatnya semakin bertambah kuat. 

Dengan keistimewaannya itu, Celeste mampu melahirkan sosok baru yang kuat dan tangguh. Namun nyawanya yang akan melayang. Celeste tak mampu melahirkan bagian dari dirinya itu. Ia sadar bahwa Arion mungkin mencemaskan dirinya. Saudara lelakinya itu pasti khawatir dengan kondisinya yang semakin melemah. Tapi ia takkan pernah memilih jalan untuk membunuh bayinya. Kedua nyawa yang ada dalam tubuhnya harus selamat. 

“Dengarkan aku, sekali saja.” Kali ini  suara Arion terdengar lemah. Lelaki itu sudah kehabisan akal mencegah kelahiran sosok yang hanya tinggal tiga puluh hari lagi. Ia yakin Celeste takkan mampu bertahan. Anak-anak itu semakin lama semakin memakan habis tubuh adiknya. Bahkan dimatanya Celeste lebih mirip manusia yang memiliki penyakit parah. Tubuhnya kurus, namun perutnya menjadi bagian yang paling menonjol dari wanita itu.

 

“Tidak Arion. Aku akan tetap melahirkan bayiku. Mereka hidupku.”

Celeste tetap pada pendiriannya untuk melahirkan anak-anaknya. Andai saja ia bisa meminta Arion untuk membawa mereka, mungkin Celeste akan merasa tenang dalam kematiannya. Akan tetapi sayangnya dunia mereka takkan menerima makhluk immortal. Bayi-bayinya takkan pernah mendapatkan tempat dimana pun. Tidak di dunia, maupun dilangit yang luas diatas sana.

 

“Baiklah. Silahkan kau lahirkan anakmu. Tapi satu yang harus kau ingat.”

Putusnya. Arion sudah tak bisa lagi melakukan apapun. Ia menyerah. Ia tahu betapa kerasnya keinginan saudara perempuannya itu.

“Apa itu?”

Arion membisikkan sesuatu ke telinga Celeste. Semua wanita itu hanya mengangguk dengan wajahnya yang masih dalam kebingungan. Namun ketika Arion selesai mengutarakan lisannya. Sepasang mata abu-abu itu pun terbelalak. Mana mungkin ia melakukannya. 

“Aku tidak bisa melakukannya, Arion. Aku tak sekuat itu.” 

Arion mengangguk pasti. “Kau bisa. Kita memilikinya. Lakukan saja setelah kau melihat wajah mereka. Aku takkan bisa lagi turun ke bumi. Waktuku sudah habis. Butuh waktu dua puluh tahun untukku kembali kesini. Kuharap kau menjaga keponakanku dari kaum itu. Jangan sampai mereka mengendus keberadaan anak-anak ini.”

Celeste hanya terdiam. Ia mengamini ucapan saudaranya itu. Setelah ia meninggal nanti, ia tak bisa begitu saja meninggalkan anak-anaknya sendirian di bumi ini. Jika ia mengharapkan pria itu akan datang menolongnya, mungkin ia hanya bisa berdongeng. Meminta bantuan pria itu sama saja menyerahkan anak-anaknya untuk dibunuh. Tidak, ia takkan membiarkan hal itu terjadi.  

“Baiklah. Aku akan mencoba melakukannya.”

...

Tak lama intan berlian itu pun lahir. Sepasang mata abu-abu dan sepasang mata coklat terang mewarnai muka bumi ini. Tangisannya begitu kuat hingga membuat siapa saja yang mendengarnya memilih untuk menutup rapat telinga mereka. Kedua bayi hawa itu siap menatap dunia. Dengan dua takdir yang berbeda, mereka telah memiliki garis hidupnya masing-masing. Garis yang baik maupun yang buruk. 

“Mereka sudah lahir.” Ucap salah seorang wanita yang membantu persalinan kedua bayi tersebut. Namun seketika tatapan mereka berubah sendu. Alangkah malangnya kedua bayi ini mengingat mereka tak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Ibu yang telah melahirkan mereka baru saja meregang nyawa. 

“Andai Celeste bisa melihat wajah mereka, mungkin ia akan menjadi yang paling bahagia disini.” Wanita itu memandang wajah Celeste yang sudah memutih. Meskipun nyawanya sudah tak tadi berada dalam jasad itu, namun senyumannya tetap abadi. Celeste meninggalkan dunia ini dengan penuh rasa bahagia. Perjuangannya untuk bisa melahirkan kedua putrinya sudah tercapai. 

Tepat pada hari itu, langit langsung berubah cerah. Tak ada awan gelap yang menyelimuti kota Last Town, yang sudah diguyur hujan selama satu tahun lamanya. Kota itu bermandikan cahaya matahari yang terang. Semua bersuka cita menyambutnya, kehidupan mereka bisa dimulai dari awal lagi. Mereka akan kembali menjalankan hidup seperti layaknya manusia normal lainnya. Tak ada tangisan karena air bah yang mengalir deras, tak ada derai air mata karena tubuh mereka telah basah. Semuanya kembali seperti semula. 

Akan tetapi, tak ada yang mengetahuinya jika itu adalah pertanda akhir kehidupan mereka. Kaum-kaum yang setia bersembunyi dari balik tanah yang mereka pijak sudah menunggu lama datangnya hari ini. Mereka tersenyum menakutkan mendengar suara riuh orang-orang yang sedang bersuka cita. Bagi mereka suara-suara memekakkan itu merupakan nada indah ditelinga mereka. 

“Kita akan naik sebentar lagi. Kita akan memiliki kota ini.” Ucap salah seorang dari beberapa laki-laki disana. Mata merahnya nampak menyala dan menusuk ketika melihat betapa gembiranya orang-orang itu.

“Tapi Tuan, kapan itu akan terjadi?” tanya salah seorang yang berdiri di belakangnya. 

“Tidak lama. Hanya menunggu saat yang tepat. Saat dimana mereka semua telah lengah.” Mata merah itu menyala, menakutkan sekaligus mempesona siapapun yang melihat, termasuk para pengikutnya. 

“Kami akan ikut denganmu, Tuan.” Ucap beberapa orang dibelakang lelakit itu secara bersamaan. Nada kesungguhan yang keluar dari bibir mereka menjadi satu kekuatan yang menguatkan kelompok mereka. 

“Ya, harus. Karena akan aku pastikan kalian mengalami kematian kedua kalian jika ada yang berani membantahku.” 

Setelahnya, lelaki itu berbalik. Mata merahnya menatap para pengikutnya dengan tatapan menusuk. Mata sipitnya layaknya seorang yang berasal dari tanah Asia menjadi daya tarik tersendiri dari wajahnya. Lelaki itu menyeramkan sekaligus tampan, begitulah tatapan para pengikut wanitanya yang masih setia memandangi Tuan mereka.

“Tetaplah setia, maka kalian akan kupastikan selalu aman.” Janjinya. 

Kedua dunia yang berbeda, namun tak ada yang tahu bahwa mereka memliki jalan takdir yang sama. Lelaki itu boleh saja memiliki rencana. Tetapi, diatasnya ada yang lebih bisa mengatur itu semua. Dan tanpa ia sadari janjinya itu akan terulang dimasa yang akan datang. Janji itu akan menjadi sumpah yang tak terbantahkan oleh siapapun. Janji itu pula yang akan membawanya pada belahan jiwanya yang entah berada dimana. 

“Kalian makhluk tak berjiwa, kita akan menyatukan kekuatan untuk melawan para manusia. Mereka makhluk lemah yang tak memiliki rasa kasihan. Kita harus merebut kembali tempat yang seharusnya menjadi milik kita.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status