Share

Bab 2

Setelahnya, lelaki itu berbalik. Mata merahnya menatap para pengikutnya dengan tatapan menusuk. Mata sipitnya layaknya seorang yang berasal dari tanah Asia menjadi daya tarik tersendiri dari wajahnya. Lelaki itu menyeramkan sekaligus tampan, begitulah tatapan para pengikut wanitanya yang masih setia memandangi Tuan mereka.

“Tetaplah setia, maka kalian akan kupastikan selalu aman.” Janjinya. 

Kedua dunia yang berbeda, namun tak ada yang tahu bahwa mereka memliki jalan takdir yang sama. Lelaki itu boleh saja memiliki rencana. Tetapi, diatasnya ada yang lebih bisa mengatur itu semua. Dan tanpa ia sadari janjinya itu akan terulang dimasa yang akan datang. Janji itu akan menjadi sumpah yang tak terbantahkan oleh siapapun. Janji itu pula yang akan membawanya pada belahan jiwanya yang entah berada dimana. 

“Kalian makhluk tak berjiwa, kita akan menyatukan kekuatan untuk melawan para manusia. Mereka makhluk lemah yang tak memiliki rasa kasihan. Kita harus merebut kembali tempat yang seharusnya menjadi milik kita.”

EMPTY

Hamparan benda dingin berwarna putih berangsur-angsru turun dari atas langit.Jalanan beraspal keras terlihat layaknya sebuah kasur yang diselumuti beribu pon kapas yang jatuh dari langit. Pada saat seperti ini tak banyak orang yang menikmati suasana dingin itu diluar rumah. Merek lebih memilih untuk menikmati secangkir coklat panas dan duduk didepan perapian yang hangat.

Ya, hanya ada satu setidaknya yang harus menerobos dinginnya benda putih itu. langkah kecilnya membuat beberapa jejak tercipat diatas sana. Napas orang itu terlihat beigut jelas keluar dari hidung dan mulutnya. Tangannya sudah bersiap melindungi tubuhnya dari udara dingin. 

Last Town. 

Musim dingin di kota terpencil itu memang menjadi topik yang hangat. Kota pinggiran Amerika itu hampir tak pernah bermandikan sinar matahari. Tanaman yang semula berwarna hijau, kini berubah menjadi putih pucat. Tentu karena benda dingin yang turun di sisa bulan akhir tahun. 

“Ah... Sialan. Harusnya si Tuan Jenkins tak meminta hal yang aneh-aneh.” Ucap orang itu. Perjalanan yang ia tempuh cukup jauh untuk sampai ke kota. Last Town hanya segelintir kota yang hampir tak ada penghuninya. Orang-orang lebih memilih untuk merantau dan meninggalkan rumah mereka disini dari pada harus menetap tapi dalam keadaan kelaparan. 

Langkah orang itu semakin cepat ketika ia melangkahkan kakinya ke perbatasan Last Town dan kota tetangga. Semua yang pernah datang ke tempat ini selalu mengatakan bahwa kota Last Town memiliki daya magis yang mengerikan. Banyak dari mereka merasa diintai dan diawasi selama 24 jam. 

Ketika sampai tak jauh dari bangunan yang sudah ia tempati sejak kecil, orang itu pun mulai menajamkan matanya. Didaerah ini hanya ia yang tinggal, tetangganya yang lain memilih untuk bertransmigrasi ke kota lain. Ya, tentu hanya dia sendiri. Namun entah mengapa pandangannya menjadi aneh. Ia melihat sosok wanita berambut pirang tengah berdiri didepan rumahnya. Kaki-kakinya yang jenjang nampak menghentuk ke atas lantai kayu terasnya. 

“Mikhaela?” Orang itu bergumam ragu. Tentu ia kenal betul siapa yang memiliki struktur tubuh seperti itu. ia terlalu mengenali saudara kembarnya itu. Akan tetapi suatu hal mengganjalnya untuk mengenali orang itu. Seingatnya saudaranya itu tak pernah memiliki penyakit serius dan ia tampak selalu cantik setiap saat. Namun apa yang kini berada didepannya bukanlah Mikhaela, meski mereka memiliki bentuk tubuh yang sama. 

“Mikhaela!” 

Kini wanita berambut pirang itu membalikkan tubuhnya. Seketika tubuhnya menegang ketika melihat apa yang sudah berubah pada tubuh wanita itu. Mikhaelanya, tentu itu dia. Tapi, ada yang salah disana. Mikhaela tidak memiliki penyakit seperti yang ia ketahui. Kakak kembarnya begitu sehat dan kuat seperti sapi jantan. Tapi..

“Mayya..” wanita itu tersenyum penuh keteduhan. Matanya yang berwarna abu-abu nampak menyala terang begitu melihat sosok kembarannya yang baru saja pulang entah dari mana. Hatinya membuncah kuat melihat wajah serupa dengannya itu sudah berada didepannya. Beribu perasaan seakan berani menghujam jantungnya dengan keras.

“Mikhaela...” Mayya berjalan semakin cepat menuju saudaranya, bahkan ia sudah mulai berlari. Mata berrwarna hazelnya mulai berembun. Rambut hitam legam yang membungkai wajahnya nampak berterbangan bersama angin saat ia berlari. Tak peduli dingin yang mulai menusuk kulit putih pucatnya. Ia hanya ingin memeluk saudaranya yang sudah tinggal jauh lama di kota Seattle. 

BUK

Mayya menubrukkan tubuhnya ke arah kakak kembarnya itu. mereka saling berpelukan erat seperti tak pernah bertemu untuk sekian lama. Dalam dua puluh tahun hidupnnya, Mayya tak pernah merasa sesesak ini. Bayangan tentang beratnya hidup dengan bekerja serabutan kalah dari apa yang ia rasakan saat ini.

Mikhaela,

Kakaknya, 

Saudara kembarnya. 

Kini wanita itu berada tepat didepannya, dalam pelukannya. 

“Hiks..Hiks...Hikss...” Mayya terisak hebat. Ia begitu merindukan Mikhaela hingga dadanya seperti akan meledak. Kepergian wanita itu lima tahun yang lalu membuatnya kesepian. Ia memilih untuk tetap berada di Last Town lantaran tak ingin meninggalkan rumah peninggalan mendiang ibunya. Satu-satunya tempat yang selalu mengingatkannya akan sosok sang ibu yang tak pernah ditemuinya. 

“Mayya..” Mikhaela menjauhkan tubuh mereka. Mata abu-abunya menatap wajah adik kembarnya dalam-dalam. Ia membelai wajah itu dengan lembut dengan tangan hangatnya. 

“Mikhaela, aku begitu merindukanmu.” Rengeknya. Mayya memang memiliki fisik yang mneyerupai seorang anak laki-laki. Suaranya pun tak selembut suara wanita berusia 20 tahun pada umumnya. Tapi sebenarnya ialah yang memiliki perasaan paling rapuh dan mudh menangis. 

“Aku pun begitu.” Sahut Mikhaela lembut.  

Tak lama tatapan Mayya jatuh pada perut Mikhaela yang membuncit. Keharuan dirinya seperti menguap ketika melihat bagian tubuh saudara kembarnya itu. Ia memang tak pernah melihatnya secara langsung, namun ia tak bodoh. Ia tahu ada sebuah kehidupan yang baru akan dimulai disana. 

“Mikhaela, kau..”

Air mata wanita itu pun mulai berjatuhan. Perasaan sedih mengingat ia mengalami kondisi mengenaskan seperti ini. Ia tak mau saudaranya melihat keadaannya yang seperti ini. Tapi Mikhaela tak bisa berbuat banyak. Bersama Mayya, ia meyakini bahwa itulah tempat berpulang yang paling ia inginkan. 

“Mayya, Disini ada Jackson.”

Mayya menautkan alisnya. Lalu wanita itu bersimpuh didepan Mikhaela. Wajahnya menatap langsung ke arah perut buncit saudaranya itu. Pandangan matanya berubah sendu saat merasakan bahwa bayi didalam sana hidup dengan baik. Manusia kecil itu kini berlindung pada hangatnya tubuh sang saudara. 

Diletakkan tangannya diatas permukaan itu. Ia pun mendekatkan bibirnya ke arah perut Mikhaela dan membisikkan sesuatu disana. 

“Halo, I’m your Auntie.” 

Mikhaela nyaris menumpahkan air matanya lagi. Ia terlalu sesak merasakan dadanya seperti ingin meledak. Ia menyesal bagaimana dulu ia tega meninggalkan adik kembarnya sendirian disini hanya demi beberapa lembar dollar. Ia memilih untuk berkehidupan layak bergelimang uang dari pada hidup bahagian bersama Mayya. Ia sungguh menyesal. 

Jackson, bayi ini mungkin takkan pernah merasakan kehidupannya yang dulu. Bayi ini akan lahir disini, di tanah dimana dirinya lahir. Ia takkan membiarkan anaknya memilih jalan sepertinya. 

“No. You are also his mother.” Sanggah Mikhaela dengan suara bergetar. 

Mayya tak ingin bertanya bagaimana, kenapa, dan siapa mengenai bayi ini. Ia cukup tahu siapa yang ikut andil dalam kehadiran bayi ini ke dunia. Ia cukup sadar bahwa lelaki itu tak mungkin menginginkan Jackson. Itu sudah pasti. Kedatangan Mikhaela  hari ini telah menjawab segala pertanyaan yang seharusnya ia tanyakan. Kediaman saudaranya itu cukup memenuhi rasa penasarannya. 

“Kita akan jaga dia disini.” Ucap Mayya dengan janji penuh harapan. Ia pun mangkit dan berdiri didepan Mikhaela. Mata Hazelnya yang menyala menyiratkan berjuta perasaan untuk kakaknya dan juga calon keponakannya. Ia akan berusaha melindungi keduanya meski harus mempertaruhkan nyawanya sekalipun. 

Berbeda dengan Mikhaela. Ia memandang wajah yang serupa dengannya didepannya itu dengan arti lain. Kedatangannya hari ini tentu bukan untuk memulai kehidupannya yang baru, melainkan memberikan kehidupan yang baru itu kepada adiknya. Ia, takkan pernah menjadi bagian dari kehidupan Jackson atau pun Mayya. Sebentar lagi ia akan pergi, meninggalkan semua yang sudah pernah ia jalani. Ia hanya ingin anaknya tumbuh dengan sosok ibu, dan Mayya mampu melakukannya.

 

“Ya, Tentu saja.” Maafkan aku, Mayya. 

...

Bulan April. 

Gugus bunga berguguran dengan kuncup bunga yang nampak bersemi. Diatas semua itu, udara yang sejuk membawa bayangan nolstagia yang indah bagi siapa saja yang merasakannya. Tumbuhan yang semula hanya berwarna putih pucat kini nampak terlihat keanekaragamannya. Begitu menyejukkan dan indah. 

Mayya Castella. 

Wanita yang memiliki rupa seperti laki-laki itu berjalan ke arah sebuah area pemakaman tua yang berada di Last Town. Letak tempat itu tak jauh dari rumahnya. Disana, didalam sebuah nisan berbentuk persegi panjang berwarna hitam, telah tertidur untuk selama-lamanya sosok yang sangat ia cintai. Kepergian sosok itu bagaikan badai yang sudah menghancurkan seluruh bangunan dihatinya.

Mikhaela Castella. Wanita itu pergi membawa sejuta misteri yang tak pernah ia jelaskan. Wanita itu pergi dalam senyuman setelah berhasil melahirkan bayi merah yang kini terlelap dalam pelukannya. Mikhaela tertidur dan meninggalkannya yang masih tak tahu apapun tentang tahun-tahun terakhir yang terjadi padanya. Hanya Jackson, bayi laki-laki dengan pipi berah itu yang ia punya. Mata birunya yang terbuka ketika dua hari setelah kelahirannya telah mengguncang dunianya untuk sekali lagi. 

Begitu langkahnya sampai didepan nisan Mikhaela, Mayya meletakkan bunga Lily yang berada ditangannya. Ia begitu hati-hati meletakkan bunga itu lantaran ada Jackson yang terlelap ditangannya. Ia tak cukup kaya untuk menyewa seseorang mengasuh bayi itu. Hingga kini Mayya hidup bergantung atas semua uang yang berada dalam rekening saudarinya itu. 

“Mikhaela, lihatlah! Bukankah ia sangat tampan.” Mayya sengaja membawa Jackson yang sudah berusia lima bulan itu ke tempat peristirahatan terakhir Mikhaela. Anak itu berhak mengenal sang ibu.

“Hari ini ia sudah memasuki bulan ke lima. Andai kau ada disini, aku yakin kau akan sangat mencintainya. Kau takkan pernah berhenti tersenyum melihatnya berbicara bahasa yang takkan pernah aku mengerti.”  Kata Mayya. 

Hidup itu sangat rumit. Ia bisa merasakannya. Namun hidup takkan menjadi lebih rumit jika memiliki seseorang yang bertahan dalam susah mau pun senang. Jackson, bayi itu bagaikan kado terindah dalam hidupnya. Kehadirannya membuat hari-hari Mayya berubah total. Merawat bayi itu dalam beberapa waktu sudah mengubah pola pikirnya. Ia saja sampai berpikir untuk memanjangkan rambutnya. Ia tak mau Jacklyn malu dihadapan teman-temannya nanti memilikinya yang nyaris tak ada fisik perempuan yang melekat ditubuhnya. Bokong dan dadanya tak menojol seperti yang lain. Apalagi dengan penampilannya yang jaug dari barang-barang yang sering dipakai Mikhaela dulu. 

“Mungkin aku harus belajar banyak darimu, Mikhaela.”

...

Mayya berjalan diatas aspal yang menuju ke rumahnya. Setelah keluar dari area pemakaman, Jackson terbangun begitu saja. Mata birunya tampak senang begitu melihat Mayya didepannya. Beberapa kali tangan-tangan mungil itu mencoba meraih wajah sang ibu. Tawa khas bayi menggelegar kencang disepanjang jalan. Itu bukanlah tawa yang menyebalkan. Bayi tampan itu memiliki senyuman terindah yang pernah dimiliki oleh siapapun. Mikhaela begitu baik menurunkan gen terbaiknya. 

TAP TAP TAP

Mayya terhenyak mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia menoleh segala arah dengan rasa takut yang luar biasa. Namun tak ditemukannya satu pun orang disana. Tak ada satu pun yang berjalan ke arahnya. 

TAP TAP TAP

Suara kaki yang mengehentak tegas kembali terdengar. Suara yang membuat bulu tubuhya berdiri terdengar seperti sekumpulan bala tentara yang siap berperang. Wanita itu mulai mengeratkan pelukannya pada selimut yang membungkus Jackson. Ia tak mau terjadi sesuatu pada bayi mungilnya, tidak untuk melukainya seujung kuku pun. 

“Siapa kalian?” 

Hening. Tak ada jawaban selain suara ranting pohon yang bergoyang. Namun angin itu pun terlihat aneh di mata Mayya. Last Town tak memiliki angin sekencang itu. Kota itu hanya berhujan dan bersalju kencang, tak ada angin yang berhembus sekencang itu di musim semi ini. 

“Mikhaela..” suara berat itu diperdengarkan ke Mayya. Seketika tubuh wanita itu menegang. Suara berat itu terdengar mengalun lembut. Nada suara itu memiliki irama dan bersahaja. Akan tetapi Mayya ketakutan setelah mendengarnya. Suara itu membuat dingin pada tubuhnya merayap. 

“Mikhaela, tatap aku.” Suara itu kembali terdengar dan terkesan mengiba. Tapi Mayya tak melihat siapapun disana. Tak pernah ada seorangpun yang berada didekatnya. 

“Mikhaela.” 

“Siapa kau?” tanya Mayya dengan mencoba mempertahankan keberaniannya. Kalau ia lemah, maka ia takkan pernah bisa melindungi bayinya. Jackson pasti menjadi yang paling lemah disini.

“Mikhaela, aku disini.” Mayya tergidik ngeri. Sosok bayangan hitam terbentuk didepannya. Asap-asap itu entah datang dari mana mulai berkumpul dan menggumpal menyerupai siluet yang tinggi. Mayya menatap tak percaya atas apa yang ada didepannya. Perlahan asap itu pun memiliki warna. Tampaklah sebuah wajah seorang lelaki yang samar-samar menjadi nyata. 

“Mikhaela.” Sosok lelaki yang tercipta dari gumpalan asap hitam itu berdiri tegak didepannya. Mayya melihat wajah tampan itu memiliki mata merah menyala bagaikan kobaran api. Kulit pria itu berwarna senada sepertinya, tapi lebih pucat. Terpaan sinar matahari yang sedikit mengintip dari dahan daun yang lebar membuat lelaki itu terlihat berkilau bagaikan kristal. Mempesona, namun tak lama. 

“S-Siapa kau?”

Lelaki itu tersenyum, namun bukan senyuman yang ramah. Langkahnya pelan, namun seakan mengancap dirinya. Mayya takut. Ia tak tersepsona lagi akan sosok itu. Aura dingin yang memancar dari mata merah itu membuatnya takut. 

“Mikhaela.” Panggilnya lagi. Tangannya terulur untuk menyetuh wajah wanita didepannya. Namun seketika tangannya berhenti diudara, matanya melebar ketika melihat ada yang berbeda disana. Mata hazel itu, Mikhaela tak memilikinya. Mata wanita itu berwarna abu-abu. Mikhaela tak mungkin mengubah warna matanya sendiri. 

“Siapa kau?” Tangan lelaki itu menyentuh wajah Mayya, bukan meremasnya kuat. Amarahnya menguat ketika melihat sosok didepannya bukanlah Mikhaela. Ia mau Mikhaela-nya. 

“Siapa Kau?” teriaknya di depan wajah Mayya. Tangan lelaki itu semakin kuat meremas wajahnya hingga Mayya mengernyit kesakitan. 

Tiba-tiba perasaan takut menyergapnya. Entah mengapa ia juga tak lagi mendengar suara Jackson. Saat tatapannya turun ke bawah, mata biru anak itu tengah menatap lelaki didepannya. Kedua alisnya nampak menyatu, garis keras diwajah mungilnya membentuk ekspresi serius yang seharusnya tak dimiliki oleh bayi sepertinya. 

Entah mendapat kekuatan dari mana, akhirnya ia bisa menghempaskan tangan lelaki itu kencang. Mayya berjalan mundur. Ia melangkahkan kakinya kencang berlari melewati lelaki itu. Dan ia ketakutan sekarang. Lelaki itu begitu mnyeramkan. Ia takut. Mata merah itu, tak biasa. Itu bukan mata manusia. Ia tahu benar. Larinya semakin kencang ketika melihat pintu rumahnya. 

Ia harus masuk ke dalam sana. Ia harus melindungi dirinya. Ia harus memeriksa apa yang salah pada bayinya. 

Dengan kasar, Mayya membuka dan menutup pintu itu hingga berbunyi dentuman yang keras. Napasnya menderu kasar sambil menyandarkan tubuhnya pada daun pintu. Ia ketakutan hingga dadanya terasa kesakitan. Tatapnnya pun turun ke bawah. Dengan napas yang tersengal, ditatapnya wajah mungil itu. Jackson, bayi itu tidak menangis atau pun berteriak. Dia hanya diam menatap wajah Mayya. 

Kini ia ketakutan. Sebenarnya apa yang telah terjadi pada kakaknya. Mengapa ia berurusan dengan lelaki aneh dan melahirkan anak yang bahkan tapi bisa disebut normal itu. 

“Jacky, kau kenapa?” Mayya menyentuh wajah mungil itu, memeriksa mungkin ada yang salah padanya. Akan tetapi tak ada satu pun. Bayi itu baik-baik saja, terlepas dari raut wajahnya yang menegang sekarang. 

BRUK

Mayya merasakan punggungnya bergetar kuat. Suara tendangan pada daun pintunya begitu kuat. Dengan langkah cepat, ia berlari menaiki anak tanggan menuju kamarnya. Didekapnya tubuh mungil Jackson di dadanya. Mereka harus bersembunyi. 

“Aku tahu kau didalam!” teriak suara itu lagi. 

“Keluarlah..! atau aku akan memaksamu.” 

Mayya memasukki kamarnya. Ia kembali bergelung pada rasa takutnya. Ini menakutkan. Sangat menakutkan. Ia ketakutan, sungguh sangat ketakutan. 

“Ya Tuhan!” 

Tidak ada jalan lain. Ia tak bisa lari, tidak mungkin dirinya lompat terjun ke bawah sana. Kamarnya berada dilantai dua. Dan lagi, tak mungkin ia membawa Jackson untuk melakukan hal berbahaya itu. 

Hanya jendela. Satu-satunya hanya itu. ya, hanya itu. Beruntung ia tak pernah memasang tralis besi pada jendelanya.

Sekali lagi Mayya memandangi Jackson dengan seksama. Bayi itu menatapnya dengan mata biru besarnya, seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ya, dia harus tetap hidup demi bayinya. 

“Nak, kita akan segera pergi. Kau siap?”  tanya Mayya berbisik. 

BRAK

Pintu kamar itu terbuka. Lelaki tadi bersama beberapa orang dibelakangnya memandang Mayya dengan penuh amarah. Semuanya bermata merah, dan ia yakin semuanya pun bukan manusia. 

“Tetap disana, atau aku akan membunuhmu.”

Antara rasa takut dan kenekadan. Akhirnya Mayya mengangkat sebelah kakinya menaiki jendelanya. Hanya ini satu-satunya. Ia tak mau mati sia-sia. Kalau pun ia harus mati, setidaknya orang diluar sana akan melihat bayinya dan datang menolongnya. 

“Nak, ibu akan menolongmu.”

Mayya melompat terjung ke bawah sambil mendekap kuat Jackson kecil dalam pelukannya. Dalam posisi yang terlentang, Mayya menerjunkan dirinya ke bawah. Ia menutup kedua matanya ketika merasakan udara disekitarnya berhembus kencang hingga mampu menerbangkan rambutnya sendiri. Kalau pun memang ia harus mati, setidaknya tidak dalam tangan lelaki itu.

 

“Mayya, aku tahu kau mampu menjaganya.” Mikhaela duduk ditepian kasur. Sudah berjam-jam wanita itu mengalami kontraksi hebat dan wajahnya perlahan memucat seperti mayat. 

“Tidak. Kita, kita yang akan menjaganya, Mikhaela.” Mayya terus berada disamping saudari kembarnya. Ia mengecupi tangan Mikhaela yang sudah mulai dingin itu. 

Mikhaela menggeleng pelan. Ia tahu ini akhirnya, hanya saja hatinya tak sanggup mengatakannya pada Mayya. Ia yakin sama seperti lelaki itu, Mayya juga akan memintanya menggugurkan bayi ini. 

“Mikhaela, bertahanlah.” Pinta Mayya dengan wajah yang sudah sembab. Entah sudah berapa lama air matanya tak berhenti mengalir. 

“Berjanjilah apapun yang terjadi, kau akan tetap menyelamatkan anakku. Berjanjilah kalian akan tetap hidup untukku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status