Share

Bab 3

MATAHARI 


Di sebuah ruang yang gelap, sosok-sosok itu berjalan bak bala tentara yang siap berperang. Hanya sebuah obor yang dipasang di setiap dinding bata hitam yang menjadi penerangan satu-satunya lorong-lorong itu. Sepasang kaki-kaki itu berjalan senada satu sama lainnya. Tepat berada di depan mereka, sosok pria besar menjadi pemimpin jalannya mereka

     “Wanita itu harus kutemukan, harus!” Entah terdengar seperti apa kalimat yang baru saja tercetus dari bibir sang pemimpin itu. mata merahnya menyala penuh tekad yang kuat. Pundaknya yang tegak menyiratkan betapa kerasnya kepala pria itu. Ia harus segera menemukan apa yang ia inginkan, kalau tidak ia akan berbuat lebih jauh dari ini.

     “Tapi, Tuan.. selama wanita itu masih bersama bayinya, kita tidak akan pernah menemukannya.” Sela salah seorang pengikutnya yang merupakan kaki tangannya. Sejujurnya ia takut melakukan hal itu. Namun itu harus dilakukannya agar mereka bisa menjalankan misi ini dengan baik.

    Pria itu menghentikan langkahnya. Ia membalikkan wajahnya dan melihat si pemiliki suara yang berani menyelanya. Mata merahnya menusuk tajam ke arah waniah pengikut prianya yang pucat pasi.

     “Tidak akan ada yang bisa bersembunyi dariku.” Geramnya. Gigi-gigi putihnya berbunyi gemeretuk seperti berdecitan. Ujung Bibirnya yang merah-semerah darah nampak naik sebelah. Ia takkan membiarkan mangsanya lewat begitu saja. Tidak ada yang boleh mencoba berlari dari jangkauannya. Tidak wanita itu, tidak juga bayinya. Keduanya harus berada ditangannya. Ia harus memastikan keduanya diketemukan dalam keadaan hidup.

     “Kalian mulailah berpencar. Dan kau, Marlon..” tunjuknya pada kaki tangannya tadi. “Kau harus berhasil menembus jantung kota Last Town. Misi kita untuk merebut kota itu belum berakhir.”

     “T-Tapi..” Pria bernama Marlon menatap tak percaya pada pemimpinnya itu. mata merahnya terbelalak tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bagaimana bisa ia menembus pertahanan kota Last Town yang kuat itu. Apalagi mereka memiliki Rowman sebagai tameng. Pria itu takkan mudah melakukannya selama Rowman masih berdiri tegak.

     “Kau bisa. Rowman memang kuat, tapi ia lemah. Kau bisa menyusup sebagai mata-mata disana.” Jelasnya. Dalam otaknya sudah tersusun berbagai rencana yang telah ia siapkan untuk menggempur kota itu. Ia takkan bisa melewatkan begitu saja kesempatan emas ini. Clan yang berasal dari Last Town begitu istimewa. Mereka memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh Clannya, yang hanya merupakan vampir biasa.

     “Bagaimana jika mereka berhasil mengetahui penyamaranku?” Tanya Marlon. Sebenarnya ia merupakan sosok pemberani, namun berhadapan dengan Clan Vampir merupakan hal yang sangat menyeramkan baginya. Tuannya boleh saja berkata demikian, namun menerobos jantung kota itu adalah hal tersulit yang ia pernah rasakan.

    Pemimpin itu pun maju selangkah. Ia menempatkan tangan kirinya pada pundak Marlon dan meremasnya kuat. Mata merahnya menyala bagaikan bara api yang siap membakar siapa saja.

     “Vampir-vampir itu akan menguntungkan kita. Kita bisa menggunakan kekuatan mereka untuk menguasai dunia. Aku takkan membiarkan kaum kita musnah begitu saja.”

...

     Kata orang ketika kematianmu, maka ada beberapa orang yang telah tiada akan menjemputmu. Mereka akan memberikan pangkuan terakhir dan mengajak kita bersama mereka. Namun tidak banyak, hanya satu orang yang benar-benar spesial dihatimu. Orang itu akan berdiri didepanmu dengan wajahnya yang bersih tanpa cela. Mereka akan memberikanmu cinta terakhirnya yang terbaik sebelum kematianmu.

    Mayya

    Nama itu diberikan oleh seorang wanita yang baru saja akan meregang nyawanya setelah melahirkan bayinya. Beberapa menit ia mampu merasakan sensasi debaran yang menyenangkan kala melihat bayi bermata hazel itu. Bayi itu tak ubahnya bayi lain. Ia terus menangis ketika lahir ke dunia. Ia mengepalkan tangannya seakan menantang siapa yang berani memisahkannya dari relung hangat rahim sang ibu.

     “Anakku..” ucap Celeste lirih.

    Beberapa wanita menatap haru ketika melihat Celeste mampu melahirkan kedua bayinya setelah kurang lebih sepuluh jam melewati masa kesakitan yang luar biasa. Mereka pun sama halnya seperti Celeste. Tepat didalam dada mereka, ada debaran halus ketika melihat bayi-bayi itu. Namun debaran itu berubah menyenangkan ketika mata mereka jatuh pada bayi berwarna mata hazel. Walaupun bayi itu sangat rewel, namun wajahnya dapat memikat siapa saja yang melihatnya.

     “Akan kau namakan apa si bungsu ini?” tanya salah seorang ibu-ibu yang membantunya bersalin kedua gadis mungilnya.

     Mata hazel bayi itu selayaknya sebuah sinar matahari. Memancarkan sinarnya yang tak terduga.

     “Nama yang bagus, seperti matahari.” Ucap para wanita itu.

    Celeste mendaratkan berbagai ciuman diseluruh wajah Mayya kecil. Mungkin untuk terakhir kalinya ia akan melihat sepasang mata yang bersinar layaknya matahari itu. Ia takkan pernah menyaksikan kedua putri kembarnya tumbuh dewasa. Namun satu hal yang ia sudah jamin, mereka akan selamat meski tidak keduanya. Ia sudah menjamin bahwa putri-putrinya akan tumbuh dewasa dengan takdir mereka yang berbeda.

     “Ibu sangat menyayangi kalian.” Bisik Celeste di telinga Mayya.

...

    Suara kicauan burung mengganggu indera pendengaran yang dimiliki oleh salah seorang yang kini tengah terbaring di atas rerumputan. Sinar yang masuk di sela dahan daun seakan mengingatkannya bahwa hari telah beranjak pagi. Dengan malas orang itu menerjabkan matanya, yang langsung berhadapan dengan matangnya sinar mentari pagi.

    DEG

    Orang itu langsung terduduk begitu menyadari di mana dirinya. Rerumputan hijau dengan air terjun yang mengalir di depannya, tentu ini bukanlah rumahnya. Ia ingat betul ingatan terakhir kali sebelum semuanya gelap. Terakhir ia nekad terjun dari jendela rumahnya dan..

     “Oh Astaga!” orang itu langsung menengok ke kiri dan ke kanan mencari sesuatu yang terakhir bersamanya. Namun pandangannya jatuh pada sosok mungil yang kini tengah merangkak mengikuti arah lompatan kelinci putih. Sosok mungil itu nampak gembira bermain dengan mainan barunya. Tawa khas bayi terdengar ketika bayi itu menarik telinga panjang hewan berbulu di depannya.

     “Jacky..” panggilnya.

    Bayi itu pun membalikkan tubuhnya ke belakang. Bibir mungilnya langsung terbentuk senyuman lebar ketika melihat siapa yang memanggilnya. Jacky merangkak ke arah orang itu dengan semangat. Bahkan kelinci yang tadi ia kejar pun sudah tak di pedulikannya lagi.

     “Oh Jacky..” Mayya, gadis itu langsung memeluk tubuh gempal sang putra yang tampak senang tubuhnya ditangkap. Bayi mungil itu menepukkan tangannya diwajah sang ibu dengan senang. Tawa bayinya kembali terdengar saat mata biru putranya bertemu pandang dengannya.

    Seakan tersadar, Mayya kembali memutar pandangan ke sekelilingnya. Ini memang bukan halaman rumahnya. Ini lebih mirip disebut hutan. Ia tak tahu bagaimana dirinya bisa sampai disini. Ia tak mengerti mengapa harus di tempat ini. Dan lagi, Mayya tak merasakan sedikitpun kesakitan pada tubuhnya. Semua berjalan seperti tak pernah terjadi apapun pada dirinya dan juga Jackson. Bayi mungil itu pun terlihat mulus tanpa luka. Bahkan bayinya kini tengah asyik bermain di hutan ini.

    Dengan pelan, Mayya bangkit dan berdiri sambil menempatkan Jacksonn didalam kain merah muda, membungkus tubuhnya. Matanya terus mengedar kesana dan kemari memperhatikan pepohonan disekitarnya. Perlahan ia pun berjalan menyusuri kedalaman hutan itu. Tempat ini sangat aneh, namun ia tak merasa takut. Malah, ia begitu menikmati panorama indahnya. Dan beberapa hewan jinak seperti rusa nampak terlihat berlarian kesana kemari. Semakin ia berjalan maju, maka semakin indah pemandangan hutan disekitarnya.

    Beruntung pikirnya. Andai itu harimau atau macan mungkin ia takkan berani berjalan sejauh ini.

    Dilihatnya Jackson yang sedang bermain saat kupu-kupu kecil berterbangan diatas kepalanya. Tangan-tangan mungilnya mengepal, menggapai hewan-hewan kecil itu. Mulutnya sesekali terbuka dan memperdengarkan Mayya dengan bahasa bayi yang tak dimengertinya.

     “Siapa yang membawaku ke tempat ini...” Kalimatnya yang menggantung di udara lebih mirip dengan sebuah bisikan. Suaranya sendiri nampak tenggelam bersama suar kicauan burung yang menggema di sepanjang langkahnya menyusuri hutan. Ia menjadi sangsi ada hewan buas disekitar sini.

    Langkah kaki Mayya terhenti ketika melihat ujung dari hutan itu. Terdapat akar-akar yang merambat menutupi jalan di depanya. Akar-akar yang di tumbuhi dedaunan itu seperti sebuah pintu masuk yang menghubungkannya dengan sesuatu di balik sana.

     “HU..HU...” tangan mungil Jackson menari-narik tumbuhan itu. Anak itu terlihat senang dengan suatu asing yang berada di depannya. Mayya tersenyum melihat keaktifan yang ditunjukkan Jackson. Bayi itu termasuk anak yang pandai. Ia sudah bisa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan bayi-bayi yang berusia lebih tua darinya.

     “MIKHAELA!”

    DEG

    Seketika aliran darah Mayya membeku disertai dengan detak jantungnya yang tiba-tiba saja berhenti. Suara gaungan kencang itu terdengar hampir diseluruh hutan. Burung-burung yang tadi tenang berkicau, semuanya berterbangan. Seperti panik akan datangnya seorang penyusup. Tangan Mayya sontak melingkar posesif pada tubuh mungil Jackson

    Ia harus segera pergi dari tempat ini. Takkan dibiarkannya orang-orang itu berusaha untuk menyakitinya dan juga bayinya.

    SRAAK

    Akar-akar itu terjatuh ke tanah ketika Jackson menariknya kuat. Sontak mata Mayya membulat melihat ada jalan disana. Sebuah goa gelap, namun setidaknya ia bisa bersembunyi di dalam sana. Dengan langkah cepat, Mayya membawa tubuhnya masuk ke sana.

     “Tenanglah.. kita akan aman disini.” Ucap Mayya sembari mengusap punggung putranya.

     “HU..HU..” meski gelap Mayya masih bisa melihat gerakan tangan putranya. Jackson nampak menunjuk ke arah sesuatu. Tepat ditempat yang ditunjuknya Mayya melihat ada seberkas cahaya yang ada diujung sana. Ia tak tahu apa, namun kaki-kakinya berjalan sendiri ke arahnya tanpa perintah. Mungkin ini lebih baik daripada harus mati ditangan orang-orang jahat itu.

    Mayya terus berjalan, tanpa melonggarkan sedikitpun pelukan lengannya pada tubuh mungil putranya. Ia merasa semakin dirinya berjalan, maka semakin terasa ada aura kehidupan di sana. Mayya berpikir ia bukanlah sosok yang telah mengetahui seluk beluk kota Last Town. Dirinya yang tinggal di perbatasan antara kota besar tetangga dengan Last Town, tak cukup tahu bahwa ada tempat seperti ini. Ia yakin ini masih di Last Town. Namun penampakan yang ia lihat layaknya bayangan saat ia membaca novel bergenre fantasi.

    Sesampainya diujung goa itu, Mayya kembali dibuat terperangah dengan apa yang dilihatnya. Sebuah perumahan elit berdiri disana. Bisa dilihatnya jejak rem mobil yang masih basah terlihat di jalanan yang sudah beraspal sebagian. Namun yang membuatnya heran, mengapa jalanan itu basah, dan lagi tetesan air yang berasal dari awal tampak jatuh membasahi jalanan itu.

    Tapi siapa peduli. Yang terpenting saat ini ia dan bayinya selamat. Mereka bisa menemukan tempat untuk bersembunyi malam ini.

    Jackson bertepuk tangan dengan gembira ketika melihat apa yang ada didepannya. Bayi mungil itu tampak senang melihat apa yang baru saja ditemukannya.

     “Jacky, kau membawa kita ke tempat yang aman.” Pekik Mayya dengan hati senang. Matanya tertuju langsung pada salah satu rumah yang memiliki desain minimalis namun lebih besar dari yang lainnya. Rumah itu bersinar di antara yang lain. Mungkin di rumah itu ia bisa meminta perlindungan sementara dari orang-orang jahat itu.

     “Jacky, kita sudah selamat.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status