Share

Cuma Wiroyo

Sekarang hari Minggu. Filza bisa santai di rumah. Berharap Satria menemaninya pagi ini. Entah itu minum teh ataupun ngapain lagi, terserah.

"Mas, mau ke mana?"

"Kantor."

"Tapi sekarang hari Minggu. Mas gak bisa di rumah aja? Temenin aku."

"Enggak. Aku sibuk."

Filza tak berani membuka mulut lagi. Dia membiarkan Satria pergi begitu saja. Tapi saat Satria hampir saja melesat, "Mas, jangan makan di luar! Nanti aku anterin bekal makanan buat Mas." Ucapnya dari kejauhan.

"Gak perlu!"

Lagi-lagi Filza diam. Masuk kembali ke rumah. Duduk di sofa rumah tamu. Mengingat masa-masa indah bersama suaminya. Tapi mau dikata apa? Sekarang suaminya sudah berubah. Mengisi waktu luang, akhinya dia menemukan daftar keseharian baru. Tiba-tiba saja seekor anak kucing mengeong padanya.

Filza datang menghampiri anak kucing itu. Tergeletak tanpa induk. Tentunya di depan rumahnya. "Kenapa aku gak liat dari tadi?"

Filza meraih anak kucing itu dan membawanya ke dalam rumah. Tapi dia bingung mau memberi makan apa. Menelpon Nisa.

"Assalamu'alaikum." Filza yang memulai.

"Wa'alaikumsalam. Kamu baik-baik aja, Nak?"

"Alhamdulillah. Ma, aku mau tanya. Anak kucing itu dikasih makan apa, ya?"

"Kok tanya itu? Kalau kucing ya dikasih makanan buat kucing, dong."

"Belinya di mana?"

"Kok tanya itu?"

"Tadi aku nemuin anak kucing. Gak ada induknya. Kasian, kan?"

"Ya udah, jemput mama di rumah! Nanti kita beli sama-sama makanan buat kucingnya."

"Iya, Ma. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Cepat-cepat Filza menelpon Satria. Di sisi lain, Satria tengah beradu tatap dengan laptop. Ponselnya berdering. Itu dari Filza. "Gak penting banget." Gerutunya kesal.

Mematikan telponnya itu. Filza berdecak sebal. "Ih! Kok dimatiin, sih?!"

Dia berusaha menelpon Satria lagi. Tapi tetap sama. Malah kali ini sepertinya sengaja tak diangkat. Filza menyerah. Mengirim pesan.

Pesan itu berisi, "Mas, aku mau ke rumah mama. Setelah itu langsung beli makan buat anak kucing."

***

Selesai, Filza dan Nisa sampai di rumah Filza. Nisa sedikit ragu untuk masuk. Mengingat Satria tak seperti dulu lagi. "Nak, apa boleh mama masuk?"

"Boleh, lah."

"Satria marah, gak?"

"Ya enggak lah, Ma."

"Beneran, Kamu?"

"Iya."

***

Satria pulang. Tak ada orang di rumahnya. Mencari-cari Filza yang biasanya nyengir melihatnya pulang. Tapi kali ini tak ada.

Baru saja Satria duduk di sofa ruang keluarga, dirinya langsung disapa Filza dari belakang. Kaget. Membuat Filza terkekeh.

"Mas, ada apa?"

"Kamu dari mana aja?"

"Tadi aku anterin mama pulang."

"Oh, ibumu ke sini?"

"Iya. Soalnya tadi aku nemuin anak kucing di depan rumah. Gak ada induknya. Kasian, jadi aku bawa ke dalam. Gak tau kucing makannya apa, makanya aku telpon mama."

"Hm."

"Mas, mau minum apa?"

"Gak."

"Makan apa?"

"Enggak!"

Filza berusaha tetap tenang. Walau wajah Satria datar-datar dingin begitu. "Mas, tadi di makan bekal makan siang dari aku?"

"Enggak. Aku kasih ke Pak Satpam."

"Kok gitu? Itu aku yang buat, loh."

"Terus kenapa?" Satria meremas selembar koran yang dibacanya.

Filza diam. Tak berani. Sementara Satria terus memandangnya dengan pandangan benci. Dia pergi begitu saja. Masuk ke kamarnya.

Saat Satria sudah ada di kamarnya, Filza menatap pintu kamar itu dengan nanar. Malang sekali dia.

"Kenapa sih, Mas? Segitu bencinya sama aku. Padahal bukan aku yang bunuh papa Kamu. Sampai kapan aku harus begini?" Matanya makin nanar saja.

***

Filza Sampai di parkiran motor sekolah. Seragam dinasnya terlihat rapi. Sayangnya tak serapi hatinya saat ini. Kesabarannya masih banyak untuk menghadapi sikap Satria. Banyak murid-muridnya yang menyapa bahkan mengecup punggung tangannya.

Baru saja duduk, Filza mendapati ada telpon masuk. Ternyata dari Satria. Girangnya sampai ke ubun-ubun. 

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Mohon maaf sebelumnya. Apa Anda mengenal Satria?" Suara asing yang bicara.

"Iya, Beliau suami saya."

"Bu, diharap cepat datang ke rumah sakit! Pak Satria kecelakaan."

"Apa?! B ... baik, saya akan segera ke sana."

Buru-buru bahkan lupa ijin, Filza langsung menuju rumah sakit. Hingga setelah sampai di sana, dia belum menemukan suaminya. Hanya ada beberapa orang laki-laki dan perempuan.

"Saya Filza, istrinya Pak Satria. Di mana?"

"Sedang dirawat di ruang operasi. Ada luka sobekan di lengan kanannya."

Filza menangkupkan kedua tangan ke bibirnya. Terkejut, tapi dia berusaha tenang. Menelpon Nisa dan Biha.

***

"Di mana Satria?" Tanya Biha cemas.

"Masih dirawat, Tan."

"Pasti ini semua gara-gara Kamu, kan?" Biha ketus.

"Maaf, Tan. Aku gak tau apa-apa. Tapi seseorang nelpon aku lewat ponselnya Mas Satria. Dia bilang Mas Satria kecelakaan."

Biha langsung diam. Tapi dia tetap saja benci pada wanita di hadapannya itu.

"Nak, Kamu gak papa, kan?" Nisa cemas.

"Alhamdulillah. Gak papa."

"Satria gak kasar, kan? Sama Kamu?"

"Enggak kok."

***

Matanya terbuka. Di hadapannya kali ini ada Biha. Wajahnya terlihat begitu cemas.

"Kamu gak papa, Satria?" Tanya Biha.

"Alhamdulillah. Gak papa, kok."

"Kenapa bisa jadi gini?"

"Aku ngelamun saat nyetir. Jadi gini."

"Kamu sih! Jangan ngelamun pas di jalanan! Apalagi sambil nyetir! Bahaya!" Biha kesal.

"Maaf, Tan."

Filza hendak masuk. Tapi saat dia hampir masuk, tak sengaja mendengar obrolan Biha dan Satria.

"Kenapa Kamu gak ceraiin dia?" Suara Biha.

"Gak bisa."

"Tapi kenapa?"

"Papa gak bolehin aku bercerai sama dia."

"Tapi kenapa?"

"Aku juga gak tau. Kalau aja papa setuju aku cerai sama dia, aku udah cerain dia lama sebelum saat ini."

Seakan jantungnya ditusuk belati, sakit sekali. Filza memang bukan istri yang diharapkan suaminya. Tidak juga diharapkan keluarga suaminya. Hanya satu yang masih sayang sama dia, Wiroyo.

***

Setelah Biha keluar, Filza masuk. Tak ada sapaan dari Biha saat bertemu Filza di jalan.

"Mas gak papa?" Tak ada jawaban dari suaminya.

"Mas, laper gak?"

"Enggak."

"Ya udah. Kalau Mas butuh apapun. Panggil aku, ya! Kalau perlu aku bisa di sini nemenin Mas."

"Gak perlu. Pulang sana! Lagian aku gak butuh bantuan apapun dari Kamu."

Filza tertegun. Sakit memang, tapi dia berusaha tegar. Di dalam hati, "ah! Udah biasa Mas kayak gini."

Sudah malam, tentu waktunya Satria makan malam. Filza datang membawa makanan dari rumah sakit.

"Mas, makan dulu, ya." Sambil duduk di samping terbaringnya Satria.

"Makan aja sendiri."

"Aku suapin."

"Gak mau! Tante ...." Memanggil Biha yang ada di luar ruangan.

Biha datang. "Iya? Kenapa?"

"Tante mau gak, nyuapin aku?"

"Boleh." Merampas makanan di tangan Filza.

Sakit, kan? Banget. Tapi mau bilang apa lagi? Sudahlah, kali ini Filza hanya bisa mengalah. Dia keluar dari sana. Duduk di tempat yang sengaja disiapkan. Matanya kembali meneteskan air mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status