Share

Menantu yang Tak Diharapkan

"Mas masih belum tidur?" Tanya Filza hati-hati.

"Belum."

"Kenapa? Tidur aja."

"Aku gak bisa tidur."

Filza duduk di sofa. Menunggu sampai Satria bisa tidur. Sabar sekali sepertinya. Satria yang melihat Filza belum tidur, balik bertanya, "kenapa gak tidur?"

"Nunggu Mas bisa tidur." Ucapnya sejujur-jujurnya.

"Gak perlu. Aku malah seneng Kamu pulang! Gak usah di sini."

Filza sakit. Sakit hati lebih tepatnya. Dia berusaha memendam itu sendiri.

Lampu di ruangan rumah sakit itu sudah dimatikan. Pagi datang.

"Mas, sudah waktunya sarapan." Filza hendak menyuapinya.

"Gak perlu. Aku bisa sendiri."

"Tapi, Mas ...." Ucapan itu belum selesai karena tatapan tajam Satria, membuat Filza diam seketika.

Sesaat setelah kondisi mulai tenang, Filza akhinya berani membuka mulut lagi.

"Mas, aku mau berangkat ke sekolah. Mas gak papa di sini?"

"Malah aku seneng Kamu pergi."

Lagi-lagi ucapan Satria menyakitkan. Apa dia tak pernah berpikir? Tentu saja tidak.

Filza sudah tiba di tempatnya mengajar. Menjadi kewajibannya merawat Satria di rumah sakit. Di saat jam istirahat sekolah tiba, dia selalu meminta ijin untuk pergi ke rumah sakit sebentar. Hanya untuk melihat keadaan Satria. Meskipun keberadaan dirinya tak diharapkan.

Sesampainya di sana, ada Airin dan Biha. Filza menelan ludah. Entah apa yang mereka bicarakan. Saat Filza masuk, "eh, ini menantu yang tak diharapkan." Suara itu datang dari Airin.

Filza memaksakan senyuman. Walau hati sejujurnya sakit. Hendak mencium punggung tangan Biha, tapi Biha keluar dari ruangan. Bahkan tak menoleh sedikitpun pada Filza. Begitu pula dengan Airin. Dia nyelonong pergi begitu saja. Tinggal Filza dan Satria di ruangan itu.

"Mas, udah makan siang?"

"Udah."

"Mas, maaf aku gak bisa lama-lama. Bentar lagi murid-murid masuk kelas."

"Bagus."

Filza menatap ubin dingin. Agar gejolak panas di hatinya menjadi dingin pula. Kalimat yang tepat memang.

Pulang dari mengajar, Filza langsung ke rumah sakit. Buru-buru melihat keadaan suaminya. Cemasnya selangit. Padahal dokter sudah bilang bahwa Satria baik-baik saja.

"Assalamu'alaikum." Filza dengan senyumannya.

"Wa'alaikumsalam."

"Mas, maaf aku telat. Tadi masih ada urusan."

"Bagus, sekalian aja gak ke sini."

"Mas, kok bilangnya gitu, sih?" Filza sudah muak.

Tak ada jawaban dari Satria. Jelas sekali bibir Satria tertutup. Filza memaklumi. Mungkin suaminya saat ini masih belum sehat.

Seseorang mengetuk pintu kamar rumah sakit yang ditempati Satria. Filza membuka pintunya. Ternyata kerabat Satria menjenguk. Filza menyambut mereka dengan senyuman, walau tak balik disambut begitu.

Mereka langsung melewati Filza begitu saja. Tanpa bersalaman tangan. Langsung menghampiri Satria. Menanyakan keadaannya. Filza menyiapkan air bening dalam kemasan sesuai dengan jumlah kerabat yang datang.

"Hai." Sapa Filza pada seorang wanita yang juga kerabat Satria.

Bukan jawaban hai atau apalah yang lain. Tak ada jawaban dari wanita itu. Seseorang menatap Filza dengan pandangan terkesan menuduh.

"Satria, ngapain Kamu nikah sama cewek gak tau malu kayak dia?" Terang-terangan sekali pria yang duduk di sebelah Satria bertanya.

Tak ada jawaban dari Satria. Dia hanya diam mendengarkan setiap pertanyaan yang diajukan untuknya.

"Ceraiin aja!" Sahut pria yang satunya.

Sakit rasanya, remuk rasanya. Filza dengan mata nanarnya mulai tak nyaman berada di situ.

"Iya, nih. Kamu bisa cari yang lebih baik dari dia. Kenapa mesti dia, sih? Apalagi, dia yang udah bunuh ayah Kamu, kan?"

Sudah cukup! Filza tak tahan lagi. Dia berdiri dengan meredam marahnya.

"Sekali lagi saya bilang, bukan saya yang membunuh papa ...."

"Bahkan Kamu gak pantas panggil Wiroyo dengan sebutan papa!" Bentak pria di samping Satria.

Filza terdiam. Bulir-bulir bening mulai berjatuhan. Filza lari keluar. Lalu menangis sejadinya di luar ruangan.

Sudah sepi. Hanya ada Satria dan Filza. Filza sendiri tidur di sofa dengan posisi membelakangi Satria agar pria itu tak tahu Filza tengah menangis. Padahal dia tahu Satria sudah tidur sejak tadi.

Giliran Filza yang tidak bisa tidur. Dia hanya memandangi sandaran sofa dengan pandangan kosong. Di hatinya, "kapan semua ini bisa berakhir?"

Pagi, Filza memaksa menyuapi Satria. Tapi Satria tetap bersikukuh tak mau, bahkan telah terang-terangan tidak mau disuapi istrinya. Filza mengalah lagi. Dia meletakkan piring berisi nasi itu di meja kecil di samping Satria.

"Di makan, ya!" Filza tersenyum.

"Mas, aku mau ke luar cari makan."

Filza menemukan gerobak bakso di depan rumah sakit. Dia langsung menghampiri gerobak itu. Seorang penjualnya menunjukkan wajah di depan Filza.

"Bu, mau pesan apa?" Tanya penjual bakso itu dengan sopan.

"Baksonya seporsi, dibungkus, ya."

"Siap!"

Setelah beberapa detik menunggu, Filza mendapatkan menu sarapannya. Membawa kantong plastik berisi bakso itu ke dalam rumah sakit. Tak lupa mengganti bungkusnya dengan tempat bekal makan agar lebih nyaman.

"Assalamu'alaikum." Filza masuk.

"Wa'alaikumsalam. Kenapa masih di sini? Gak ke sekolah?"

"Bentar lagi, Mas."

"Cepat! Lebih cepat Kamu pergi, lebih baik aku."

Filza tertegun. Untuk yang kesekian kalinya, dirinya ditusuk ucapan tajam seperti itu. Terang-terangan sekali.

Setelah selesai sarapan, Filza berangkat. Walau sudah ijin, tak ada jawaban dari Satria. Sebenci itu, kah?

Sesampainya di sekolah ....

"Gimana sama suaminya Ibu?" Tanya Burhan, salah satu guru di sekolah yang sama.

"Alhamdulillah. Udah lebih baik, Pak."

"Semoga cepat sembuh, ya."

"Aamiin. Makasih, Pak."

"Iya, sama-sama."

Filza membuka chat suaminya. Mengetik sesuatu. "Mas, udah sarapan?" Itu yang tertulis.

Tak ada balasan dari Satria. Alhasil, Filza hanya bisa menunggu jawaban itu. Walau dia tahu tak akan pernah mendapatkannya.

Beberapa hari setelah itu, Satria boleh pulang. Filza membantunya mengemasi barang-barang di rumah sakit. Lalu pulang ke rumah. Satria duduk di sofa ruang keluarga.

"Mas, gak istirahat di kamar?"

"Enggak."

"Aku buatin apa? Teh? Susu?"

"Gak usah."

"Mas, aku mau tanya sama Kamu."

"Hm?"

"Mas, apa Mas gak mau dengerin penjelasan aku?"

"Apa?"

"Bukan aku yang bunuh papa. Apa Mas masih gak percaya? Sampai kapan aku harus begini? Aku gak bohong, Mas. Bukan aku. Saat aku dateng ke toilet itu, papa udah pingsan."

"Buktinya udah ada."

"Mas, percaya sama aku! Bukan aku, Mas."

"Terus siapa lagi? Gak ada orang lain, kan?"

"Semoga Kamu menyadari sebelum semuanya terlambat." Filza pergi ke kamarnya begitu saja setelah mengatakan itu.

Tertegun, tapi Satria berusaha tenang. Dia menganggap itu hanya sandiwara Filza saja. Menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Lalu melupakan kalimat Filza tadi.

Di kamarnya, Filza merosot, menangis lagi. Tak tahu lagi mau meyakinkan Satria dengan cara apa. Dia hanya bisa membela diri dengan ucapan, bukan tindakan. Sebab memang tak punya bukti apapun untuk meloloskan dirinya dari kebencian Satria dan yang lainnya. Filza tidur, lebih tepatnya memaksakan diri tidur.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
lina ardiana
si filza bikin capek ya,udah ga dihargain masih aja ngotot,kalo aku udah ku tinggal suami bego itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status